Bacajuga: Sabilus Salikin (161): Aurad dan Hizib Tarekat Bayumiyah. Di dalam Alquran pun kata tarekat muncul dalam konteks dzikrullah sebagai aktualisasi tauhid yang sempurna. Setelah Allâh SWT menjanjikan karunia yang banyak kepada orang-orang yang istiqamah di atas tarekat, Allâh SWT. langsung memberikan ancaman siksa yang sangat pedih
Menyajikan informasi terkini, terbaru dan terupdate mulai dari politik, bisnis, selebriti, lifestyle dan masih banyak dari Berita Hari Ini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparanIlustrasi tasawuf. Foto PixabayTasawuf erat kaitannya dengan ajaran sufi atau orang yang bertasawuf. Makna tasawuf sendiri tidak dijelaskan secara eskplisit, melainkan dari berbagai pengaruh ajaran agama atau filsafat lain yang diadopsi dan disesuaikan dengan konsep ahli tasawuf menjelaskan bahwa makna tasawuf berasal dari kata al-shuffah, atau orang yang ikut hijrah dengan Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah. Dapat juga dimaknai sebagai suf barisan, suf kain wol, hingga ke bahasa Yunani sophos hikmat.Sedangkan menurut terminologinya, para ahli seperti seorang sufi dari Baghdad, Imam Junaid berpendapat bahwa tasawuf memiliki definisi sebagai mengambil sifat mulia dan meninggalkan setiap sifat disimpulkan, istilah tasawuf memiliki makna pelatihan dengan kesungguhan untuk dapat membersihkan, memperdalam, menyucikan jiwa atau rohani manusia. Tentunya melakukan hal ini atas dasar pendekatan kepada Allah Tasawuf dalam AlquranIlustrasi tasawuf. Foto PixabayBeberapa sufi memberikan pendapatnya tentang tasawuf dilandasari dasar-dasarnya dalam ayat Alquran. Istilah ajaran tasawuf diidentikan dengan ajaran islam meski agama lain juga memiliki hal yang serupa.“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas rahmat-Nya lagi Maha Mengetahui.” Al Baqarah 115“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka jawablah, bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi segala perintah-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” QS Al Baqarah 186"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” QS Qof 16“Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” QS Al Kahfi 65

AyatAl Quran Tentang Tarikh. Feb 16, 2021. ayat ayat al qur'an yang berisi tentang tarikh beserta artinya - Brainly.co.id. al-quran berisi 5 hal pokok yaitu menyangkut akidah, akhlak, ibadah, muamalah, dan tarikh. carilah - AL-LUMA Fi Tarikh at-Tasawwuf al-Islami | Shopee Indonesia. Mengenal Kitab Tarikh al-Rasul wa al

Natasya Fhonna BAB II PEMBAHASAN Al-qur’an dan hadits dalam tasawuf Al-Qur’an merupakan kitab Allah yang didalamnya terkandung muatan-muatan ajaran Islam, baik akidah, syarah maupun muamalah. Ketiga muatan tersebut banyak tercermin dalam ayat-ayat yang termaktub dalam Al-Qur’an. Ayat-ayat Al-Qur’an di satu sisi memang ada yang perlu dipahami secara konstektual-rohaniah. Jika dipahami secara lahiriah saja, ayat-ayat Al-Qur’an akan terasa kaku, kurang dinamis, dan tidak mustahil akan ditemukan persoalan yang tidak dapat diterima secara psikis. Secara umum ajaran Islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah dan batiniah. Pemahaman terhadap unsur kehidupan yang bersifat batiniah pada gilirannya nanti melahirkan tasawuf. Unsur kehidupan tasawuf ini mendapat perhatian yang cukup besar dari sumber ajaran Islam yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah serta praktik kehidupan Nabi dan para sahabatnya. Ayat Al-Qur’an tentang tasawuf secara eksplisit Makna eksplisit adalah makna absolut yang langsung diacu oleh bahasa. Konsep makna ini bersifat denotatif sebenarnya sebagai representasi dari bahasa kognitif. Eksplisit makna/maksud diajukan secara langsung dan jelas Makna eksplisit mengacu pada informasi, sedangkan makna implisit mengacu pada emosi. Dalam Al-Maidah ayat 54 يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا مَنۡ يَّرۡتَدَّ مِنۡكُمۡ عَنۡ دِيۡـنِهٖ فَسَوۡفَ يَاۡتِى اللّٰهُ بِقَوۡمٍ يُّحِبُّهُمۡ وَيُحِبُّوۡنَهٗۤ ۙ اَذِلَّةٍ عَلَى الۡمُؤۡمِنِيۡنَ اَعِزَّةٍ عَلَى الۡكٰفِرِيۡنَ يُجَاهِدُوۡنَ فِىۡ سَبِيۡلِ اللّٰهِ وَلَا يَخَافُوۡنَ لَوۡمَةَ لَاۤٮِٕمٍ‌ ؕ ذٰ لِكَ فَضۡلُ اللّٰهِ يُؤۡتِيۡهِ مَنۡ يَّشَآءُ‌ ؕ وَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيۡمٌ Artinya ; “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah Lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas pemberian-Nya, lagi Maha Mengetahui”. Berdasarkan dasar Al-Qur’an tentang tasawuf secara eksplisit, di atas memiliki ciri-ciri yaitu 1 Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai Allah. 2 Bersikap lemah lembut terhadap orang-orang mukmin dan bersikap tegas terhadap orang-orang kafir. Sifat ini merupakan hasil kecintaan kepada Allah. Seorang yang cinta kepada Allah akan menjadi seorang yang arif bijaksana yang akan selalu gembira dan senyum, bersikap lemah lembut karena jiwanya dipenuhi oleh sifat Allah yang paling dominan yaitu rahmat dan kasih sayang. Inilah yang menghasilkan rasa persaudaraan seagama, yang menjadikannya bersikap toleran terhadap kesalahannya, lemah lembut dalam sikap dan perilakunya termasuk ketika menegur atau menasehatinya. Sikap ini yang mengantar seorang muslim merasakan derita saudaranya, sehingga memenuhi kebutuhannya dan melapangkan kesulitannya. Sedang sikap tegas kepada orang-orang kafir, bukan berarti memusuhi pribadinya, atau memaksakan mereka memeluk islam, atau merusak tempat ibadah dan menghalangi mereka melaksanakan tuntutan agama dan kepercayaan mereka tetapi bersikap tegas, terhadap permusuhan mereka, atau upaya-upaya mereka melecehkan ajaran agama dan kaum muslimin. 3 Mereka berjihad di jalan Allah Jihad disini tidak terbatas dalam bentuk mengangkat senjata, tetapi termasuk upaya-upaya membela islam dan memperkaya peradabannya dengan lisan dan tulisan, sambil menjelaskan ajaran islam dan menangkal ide-ide yang bertentangan dengannya lebih-lebih yang memburukannya. 4 Tidak takut kepada celaan pencela Mereka tidak takut dicela bahwa mereka tidak toleran misalnya jika mereka bersikap tegas terhadap orang kafir yang memusuhi islam, tidak juga khawatir dituduh fanatik atau fundamentalis jika menegakkan ukhwah islamiyah. Bahwa kemungkinan manusia dapat saling mencintai mahabbah dengan Tuhan. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam Al-Qur’an dalam surah al-Maidah ayat 54 yakni يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا مَنۡ يَّرۡتَدَّ مِنۡكُمۡ عَنۡ دِيۡـنِهٖ فَسَوۡفَ يَاۡتِى اللّٰهُ بِقَوۡمٍ يُّحِبُّهُمۡ وَيُحِبُّوۡنَهٗۤ ۙ اَذِلَّةٍ عَلَى الۡمُؤۡمِنِيۡنَ اَعِزَّةٍ عَلَى الۡكٰفِرِيۡنَ يُجَاهِدُوۡنَ فِىۡ سَبِيۡلِ اللّٰهِ وَلَا يَخَافُوۡنَ لَوۡمَةَ لَاۤٮِٕمٍ‌ ؕ ذٰ لِكَ فَضۡلُ اللّٰهِ يُؤۡتِيۡهِ مَنۡ يَّشَآءُ‌ ؕ وَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيۡمٌ Artinya ”Hai orang-orang yang beriman barang siapa diantara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir yang berjihad dijalan Allah dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah diberikan-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha halus pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui. Dari ayat diatas para ahli sufi menafsirkannya bahwa akan datang suatu kaum yang dicintai Allah dan mereka juga mencintai Allah, sebagaimana yang tercantum didalam Tafsir al-Misbah karangan Quraish Shihab bahwa Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai Allah. Cinta Allah kepada hamba-Nya dipahami para mufassir dalam arti limpahan kebaikan dan anugerah-Nya. Cinta Allah dan karunianya tidak terbatas dan cinta manusia kepada Allah bertingkat-bertingkat, tetapi yang jelas adalah cinta kepada-Nya merupakan dasar dan prinsip perjalanan menuju Allah, sehingga semua peringkat maqam dapat mengalami kehancuran kecuali cinta. Cinta tidak bisa hancur dalam keadaan apapun selama jalan menuju Allah tetap ditelusuri. Bahwa Allah memerintahkan manusia agar senantiasa bertaubat membersihkan diri dan memohan ampunan kepada-Nya sehingga memperoleh cahaya ini sesuai dengan ayat Al-Qur’an surah at-Tahrim ayat 8 yaitu يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ تُوبُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ تَوْبَةً نَّصُوحًا عَسَىٰ رَبُّكُمْ أَن يُكَفِّرَ عَنكُمْ سَيِّـَٔاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّٰتٍ تَجْرِىمِن تَحْتِهَا ٱلْأَنْهَٰرُ يَوْمَ لَا يُخْزِى ٱللَّهُ ٱلنَّبِىَّ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مَعَهُۥ ۖ نُورُهُمْ يَسْعَىٰ بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَٰنِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَآ أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَٱغْفِرْ لَنَآ ۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ Artinya ”Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya, mudah-mudahan Tuhanmu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang beriman bersama dengan dia ; sedang cahaya mereka memancar dihadapan dan disebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan,”Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami ; sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” Dari ayat tersebut dijelaskan bahwa seseorang yang bertasawuf harus bertaubat lebih dulu untuk menghapus segala kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan sebelumnya. Para sufi berpendapat bahwa untuk mencari keridhaan Allah harus bertaubat lebih dahulu dan meninggalkan segala yang menyangkut dengan kebendaan dunia dan menghiasinya dengan akhlak mahmudah, dengan demikian kita bisa menuju keridhaan Allah SWT. Dalam tasawuf kata taubat berasal dari kata taaba-yatubu-taubatan yang artinya kembali. Sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin Rahmat dari kitab Manaajil Al-saairin bahwa taubat adalah maqam yang kedua. Sedangkan maqam yang pertama adalah yaqzhah atau kesadaran. Dalam yaqzhah itu, kita tiba-tiba disadarkan oleh Allah SWT akan keburukan-keburukan yang pernah kita lakukan selama kejauhan kita dari Allah SWT. Bisa jadi kita disadarkan dengan satu musibah yang menimpa kita atau nasihat orang lain dan perenungan kita sendiri. Allah mempunyai cara untuk menyadarkan hamba-Nya. Tetapi dalam tasawuf bahkan menurut Al-Qur’an orang lebih banyak disadarkan oleh musibah.[7] Allah juga menegaskan dalam Al-Qur’an tentang pertemuan manusia dengan Allah sebagaimana yang tercantum dalam surah al-Baqarah ayat 115 yaitu وَلِلَّهِ ٱلۡمَشۡرِقُ وَٱلۡمَغۡرِبُۚ فَأَيۡنَمَا تُوَلُّواْ فَثَمَّ وَجۡهُ ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ وَٰسِعٌ عَلِيمٞ Artinya ”Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha luas rahmat-Nya lagi Maha Mengetahui.” Bagi kaum sufi ayat tersebut mengandung arti bahwa dimana Tuhan ada, di situ pula Tuhan dapat dijumpai. Maksudnya kapanpun dan dimanapun kita berada Allah selalu bersama kita karena dzat-Nya tidak dibatasi ruang dan waktu dan tidak pula dibatasi oleh tempat. Dalam Al-Qur’an juga dijelaskan tentang kedekatan manusia dengan-Nya seperti yang tercantum dalam surah al-Baqarah ayat 186 yaitu وَاِذَا سَاَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّيْ فَاِنِّيْ قَرِيْبٌ ۗ اُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ اِذَا دَعَانِۙ فَلْيَسْتَجِيْبُوْا لِيْ وَلْيُؤْمِنُوْا بِيْ لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ Artinya ”Jika hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang diri-Ku, Aku adalah dekat, Aku mengabulkan seruan orang yang memanggil jika ia panggil Aku.” Dalam surah Qaf ayat 16 juga disebutkan yaitu وَلَقَدْ خَلَقْنَا ٱلْإِنسَٰنَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِۦ نَفْسُهُۥ ۖ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ ٱلْوَرِيدِ Artinya “Sebenarnya Kami ciptakan manusia dan Kami tahu apa yang dibisikkannya kepadanya, Kami lebih dekat kepadanya daripada pembuluh darahnya sendiri.” Berdasarkan ayat tersebut kebanyakan dikalangan para sufi berpendapat bahwa untuk mencari Tuhan, orang tidak perlu pergi jauh-jauh. Ia cukup kembali ke dalam dirinya sendiri. Maksudnya kita harus intropeksi diri memuhasabahi diri kita atas apa yang telah kita lakukan dan kita perbuat dan sejauhmana kita mensyukuri anugerah Allah kepada kita. Ayat Al-Qur’an Tentang Tasawuf Secara Implisit Makna implisit adalah makna universal yang disembunyikan oleh bahasa. Konsep makna ini bersifat konotatif kias sebagai representasi dari bahasa emotif. Implisit makna/maksud diajukan tidak secara langsung dan sembunyi-sembunyi. Ada pun ayat-ayat Al-Qur’an yang menjadi landasan tasawuf secara inplisit dapat dilihat dari tingkatan maqam dan keadaan ahwal para sufi yaitu Tingkatan Zuhud yakni tercantum dalam surah An-Nisaa’ ayat 77 yaitu أَلَمْ تَرَ إِلَى ٱلَّذِينَ قِيلَ لَهُمْ كُفُّوٓا۟ أَيْدِيَكُمْ وَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ ٱلْقِتَالُ إِذَا فَرِيقٌ مِّنْهُمْ يَخْشَوْنَ ٱلنَّاسَ كَخَشْيَةِ ٱللَّهِ أَوْ أَشَدَّ خَشْيَةً ۚ وَقَالُوا۟ رَبَّنَا لِمَ كَتَبْتَ عَلَيْنَا ٱلْقِتَالَ لَوْلَآ أَخَّرْتَنَآ إِلَىٰٓ أَجَلٍ قَرِيبٍ ۗ قُلْ مَتَٰعُ ٱلدُّنْيَا قَلِيلٌ وَٱلْءَاخِرَةُ خَيْرٌ لِّمَنِ ٱتَّقَىٰ وَلَا تُظْلَمُونَ فَتِيلًا Artinya “Katakanlah kesenangan didunia ini hanya sementara dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa…” Tingkatan Tawakkal yaitu dalam surah At-Thalak ayat 3 yaitu وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مَخْرَجًا ۙ Artinya “Dan barang siapa bertawakkal kepada Allah niscaya Allah mencukupkan keperluannya.”[14] Tingkatan Syukur dalam Ibrahim ayat 7 yaitu وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ Artinya “Sesungguhnya jika kamu bersyukur pasti akan Kami menambahkan nikmat kepadamu.”[15] Tingkat Sabar berlandaskan Al-Baqarah ayat 155 yaitu وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَىْءٍ مِّنَ ٱلْخَوْفِ وَٱلْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِ ۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ Artinya “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar” QS Al-Baqoroh155. Tingkatan Ridha berdasarkan Al-Bayinah ayat 8 yaitu جَزَآؤُهُمۡ عِنۡدَ رَبِّهِمۡ جَنّٰتُ عَدۡنٍ تَجۡرِىۡ مِنۡ تَحۡتِهَا الۡاَنۡهٰرُ خٰلِدِيۡنَ فِيۡهَاۤ اَبَدًا ‌ؕ رَضِىَ اللّٰهُ عَنۡهُمۡ وَرَضُوۡا عَنۡهُ ‌ؕ ذٰلِكَ لِمَنۡ خَشِىَ رَبَّهٗ Artinya “Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga ’Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah balasan bagi orang yang takut kepada Tuhannya.” Hadist Tentang Tasawuf Secara Eksplisit Dalam hadis juga banyak dijumpai keterangan-keterangan yang berbicara tentang kehidupan rohaniah manusia. Di antaranya adalah sebagai berikut ”Senantiasa seorang hamba itu mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Maka tatkala mencintainya, jadilah Aku pendengarnya yang dia pakai untuk mendengar dan lidahnya yang dia pakai untuk berbicara dan tangannya yang dia pakai untuk mengepal dan kakinya yang dia pakai untuk berusaha ; maka dengan-Ku-lah dia mendengar, melihat, berbicara, berpikir, meninju dan berpikir.” Dari hadis ini dapat dipahami bahwa manusia dan Tuhan dapat bersatu. Diri manusia dapat lebur dalam diri Tuhan yang selanjutnya dikenal dengan istilah fana, yakni fana’-nya makhluk sebagai yang mencintai kepada Tuhan seperti yang dicintainya. Fana adalah menghilangnya daripada pengenalan ghair, baqa adalah pengetahuan Tuhan, yang di dapat oleh seorang yang sudah menghilangnya pengetahuan tentang ghair. Dalam hal ini nafs kita dalam jalan fana ubudiyyah yakni penghambaan, ibadah dan Tuhan dalam jalan baqaa rububiyyah yakni penguasaan. عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَلِكَ ِلأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْراً لَهُ Artinya “Dari Abi Yahya Suhaib bin Sinan RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda sangat mengagumkan keadaan seorang mukmin. Sesungguhnya segala keadaannya untuknya baik sekali, dan tidak mungkin terjadi demikian kecuali bagi orang mukmin. Kalau mendapat kenikmatan, ia bersyukur, maka bersyukur itu lebih baik baginya. Dan kalau menderita kesusahan ia sabar, maka kesabaran itu lebih baik baginya. HR. Muslim. Hadist tentang tasawuf secara inplisit Dari Umar bin Khattab ra., katanya Aku mendengar Rasul Allah SAW bersabda ”Semua amal perbuatan itu hanyalah dinilai menurut masing-masing niatnya, dan setiap orang hanyalah menurut apa yang diniatkan. Maka barang siapa yang hijrahnya itu kepada keridhaan Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya untuk keduniaan atau wanita yang akan dikawininya, maka hijrahnya itu pun diberi penilaian untuk tujuan apa ia hijrah tadi”. Al-Bukhari. Dari Ibnu Mas’ud ra. Dari Rasul Allah, bersabda sesungguhnya jujur itu mendorong untuk beramal saleh, dan sesungguhnya amal saleh itu menunjukkan jalan ke surga. Dan seorang yang benar-benar/terus-menerus berbuat jujur sehingga menjiwai dan berbudi, ditetapkan disisi Allah sebagai ahli jujur. Dan sesungguhnya dusta itu mendorong untuk berbuat keji dan perbuatan keji itu menyampaikan ke neraka. Dan seorang yang benar-benar/terus-menerus berdusta, ditetapkan disisi Allah sebagai ahli dusta. Mutafaq Alaih. Dalam Hadist Qudsi juga dijelaskan yaitu “Tidaklah para hamba yang beribadah kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada yang telah Aku fardhukan kepadanya. Dan hamba yang beribadah kepada-Ku dengan perbuatan-perbuatan sunat, maka Aku juga mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku adalah pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, penglihatan yang ia gunakan untuk melihat, tangan yang ia pakai memegang dan kaki yang ia gunakan untuk berjalan. Dan jika ia memohon perlindungan kepada-Ku, maka Aku akan melindunginya”.[20] Hadis ini menjelaskan bahwa sesungguhnya seorang hamba mampu meninggalkan syahwat dan tenggelam dalam ketaatan, sehingga ia hanya menggunakan anggota badannya sesuai dengan tujuan penciptaannya, sebagai taufik dan hidayah Allah SWT. Hadis ini memberi pengertian, bahwa dasar kecintaan Allah kepada hamba-Nya adalah melalui perbuatan-perbuatan yang sunat. Oleh karena itu, selama seorang hamba beribadah kepada-Nya melalui ibadah-ibadah sunat hingga sampai pada tingkatan cinta kepada-Nya, maka pada saat itu dia mampu tenggelam dengan melihat kesucian Allah, tidak melihat sesuatupun kecuali Allah berada di sisinya. Pengalaman semacam ini merupakan derajat terakhir bagi orang-orang yang menuju akhirat dan jalan pertama bagi orang yang ingin sampai kepada Allah. Dengan mengikuti sunah tercapailah ma’rifat, dengan melakukan perbuatan fardhu tercapailah qurbah dekat dengan Allah dan dengan selalu melaksanakan perbuatan sunat tercapailah mahabbah Allah.[21] Dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW, juga terdapat petunjuk yang menggambarkan bahwa beliau adalah sufi. Nabi Muhammad telah mengasingkan diri ke Gua Hira menjelang datangnya wahyu. Beliau menjauhi pola hidup kebendaan yang pada waktu itu diagung-agungkan oleh orang Arab tengah tenggelam didalamnya, seperti dalam peraktek perdagangan dengan prinsip menghalalkan segala cara.[22] Perilaku Rasul dan sahabat dalam kajian tasawuf Benih-benih tasawuf sudah ada sejak dalam kehidupan nabi Muhammad SAW. Hal ini dapat dilihat dalam perilaku dan peristiwa dalam hidup, ibadah dan perilaku nabi Muhammad SAW. Peristiwa dan Perilaku Hidup Nabi. Sebelum diangkat menjadi Rasul, berhari-hari beliau berkhalawat mengasingkan diri di Gua Hira, terutama pada bulan Ramadhan disana nabi banyak berzikir dan bertafakur dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Pengasingan diri Nabi SAW digua Hira ini merupakan acuan utama para sufi dalam melakukan khalawat. Kemudian puncak kedekatan Nabi SAW dengan Allah SWT tercapai ketika melakukan Isra Mikraj. Di dalam Isra Mikraj itu nabi SAW telah sampai ke Sidratulmuntaha tempat terakhir yang dicapai nabi ketika mikraj di langit ke tujuh, bahkan telah sampai kehadiran Ilahi dan sempat berdialog dgn Allah. Dialog ini terjadi berulang kali, dimulai ketika nabi SAW menerima perintah dari Allah SWT tentang kewajiban shalat lima puluh kali dalam sehari semalam. Atas usul nabi Musa AS, Nabi Muhammad SAW memohon agar jumlahnya diringankan dengan alasan umatnya nanti tidak akan mampu melaksanakannya. Kemudian Nabi Muhammad SAW terus berdialog dengan Allah SWT. Keadaan demikian merupakan benih yang menumbuhkan sufisme dikemudian hari. Perikehidupan sirah nabi Muhammad SAW juga merupakan benih-benih tasawuf yaitu pribadi nabi SAW yang sederhana, zuhud, dan tidak pernah terpesona dengan kemewahan dunia. Dalam salah satu Doanya ia memohon ”Wahai Allah, Hidupkanlah aku dalam kemiskinan dan matikanlah aku selaku orang miskin” Ibnu Majah dan al-Hakim. “Pada suatu waktu Nabi SAW datang kerumah istrinya, Aisyah binti Abu Bakar as-Siddiq. Ternyata dirumahnya tidak ada makanan. Keadaan ini diterimanya dengan sabar, lalu ia menahan lapar dengan berpuasa” Dawud, at-Tirmizi dan an-Nasa-i . Ibadah Nabi Muhammad SAW. Ibadah nabi SAW juga sebagai cikal bakal tasawuf. Nabi SAW adalah orang yang paling tekun beribadah. Dalam satu riwayat dari Aisyah RA disebutkan bahwa pada suatu malam nabi SAW mengerjakan shalat malam, didalam salat lututnya bergetar karena panjang dan banyak rakaat salatnya. Tatkala rukuk dan sujud terdengar suara tangisnya namun beliau tetap melaksanakan salat sampai azan Bilal bin Rabah terdengar diwaktu subuh. Melihat nabi SAW demikian tekun melakukan salat, Aisyah bertanya ”Wahai Junjungan, bukankah dosamu yang terdahulu dan yang akan datang diampuni Allah, mengapa engkau masih terlalu banyak melakukan salat?” nabi SAW menjawab” Aku ingin menjadi hamba yang banyak bersyukur” dan Muslim. Selain banyak salat nabi SAW banyak berzikir. Beliau berkata “Sesungguhnya saya meminta ampun kepada Allah dan bertobat kepada-Nya setiap hari tujuh puluh kali” Dalam hadis lain dikatakan bahwa Nabi SAW meminta ampun setiap hari sebanyak seratus kali Selain itu nabi SAW banyak pula melakukan iktikaf dalam mesjid terutama dalam bulan Ramadan. Akhlak Nabi Muhammad SAW. Akhlak nabi SAW merupakan acuan akhlak yang tidak ada bandingannya. Akhlak nabi SAW bukan hanya dipuji oleh manusia, tetapi juga oleh Allah SWT. Hal ini dapat dilihat dalam firman Allah SWT yang artinya “Dan sesungguhnya kami Muhammad benar-benar berbudi pekerti yang agung”. Qalam4 ketika Aisyah ditanya tentang Akhlak Nabi SAW, Beliau menjawab Akhlaknya adalah Al-Qur’an” dan Muslim. Tingkah laku nabi tercermin dalam kandungan Al-Qur’an sepenuhnya. Dalam diri nabi SAW terkumpul sifat-sifat utama, yaitu rendah hati, lemah lembut, jujur, tidak suka mencari-cari cacat orang lain, sabar, tidak angkuh, santun dan tidak mabuk pujian. Nabi SAW selalu berusaha melupakan hal-hal yang tidak berkenan di hatinya dan tidak pernah berputus asa dalam berusaha. Oleh karena itu, Nabi SAW merupakan tipe ideal bagi seluruh kaum muslimin, termasuk pula para sufi. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al-Ahzab ayat 21 yang artinya”Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah.”. Empat Sahabat Nabi Muhammad SAW. Sumber lain yang menjadi sumber acuan oleh para sufi adalah kehidupan para sahabat yang berkaitan dengan keteguhan iman, ketakwaan, kezuhudan dan budi pekerti luhur. Oleh karena setiap orang yang meneliti kehidupan rohani dalam islam tidak dapat mengabaikan kehidupan kerohanian para sahabat yang menumbuhkan kehidupan sufi diabad-abad sesudahnya. Kehidupan para sahabat dijadikan acuan oleh para sufi karena para sahabat sebagai murid langsung Rasulullah SAW dalam segala perbuatan dan ucapan mereka senantiasa mengikuti kehidupan Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu perilaku kehidupan mereka dapat dikatakan sama dengan perilaku kehidupan Nabi SAW, kecuali hal-hal tertentu yang khusus bagi Nabi SAW. Setidaknya kehidupan para sahabat adalah kehidupan yang paling mirip dengan kehidupan yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW karena mereka menyaksikan langsung apa yang diperbuat dan dituturkan oleh Nabi SAW. Oleh karena itu Al-Qur’an memuji mereka ” Orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama masuk islam diantara orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah sediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai didalamnya, mereka kekal didalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar”. Taubah100. Abu Nasr as-Sarraj at-Tusi menulis didalam bukunya, Kitab al-Luma`, tentang ucapan Abi Utbah al-Hilwani salah seorang tabiin tentang kehidupan para sahabat” Maukah saya beritahukan kepadamu tentang kehidupan para sahabat Rasulullah SAW? Pertama, bertemu kepada Allah lebih mereka sukai dari pada kehidupan duniawi. Kedua, mereka tidak takut terhadap musuh, baik musuh itu sedikit maupun banyak. Ketiga, mereka tidak jatuh miskin dalam hal yang duniawi, dan mereka demikian percaya pada rezeki Allah SWT.” Adapun kehidupan keempat sahabat Nabi SAW yang dijadikan panutan para sufi secara rinci adalah sbb Abu Bakar as-Siddiq. Pada mulanya ia adalah salah seorang Kuraisy yang kaya. Setelah masuk islam, ia menjadi orang yang sangat sederhana. Ketika menghadapi perang Tabuk, Rasulullah SAW bertanya kepada para sahabat, Siapa yang bersedia memberikan harta bendanya dijalan Allah SWT. Abu Bakar lah yang pertama menjawab”Saya ya Rasulullah.” Akhirnya Abu Bakar memberikan seluruh harta bendanya untuk jalan Allah SWT. Melihat demikian, Nabi SAW bertanya kepada ”Apalagi yang tinggal untukmu wahai Abu Bakar?” ia menjawab”Cukup bagiku Allah dan Rasul-Nya.” Diriwayatkan bahwa selama enam hari dalam seminggu Abu Bakar selalu dalam keadaan lapar. Pada suatu hari Rasulullah SAW pergi kemesjid. Disana Nabi SAW bertemu Abu Bakar dan Umar bin Khattab, kemudian ia bertanya”Kenapa anda berdua sudah ada di mesjid?” Kedua sahabat itu menjawab”Karena menghibur lapar.” Diceritakan pula bahwa Abu Bakar hanya memiliki sehelai pakaian. Ia berkata”Jika seorang hamba begitu dipesonakan oleh hiasan dunia, Allah membencinya sampai ia meninggalkan perhiasan itu.” Oleh karena itu Abu Bakar memilih takwa sebagai ”pakaiannya.” Ia menghiasi dirinya dengan sifat-sifat rendah hati, santun, sabar, dan selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan ibadah dan zikir. Umar bin Khattab Umar bin Khattab yang terkenal dengan keheningan jiwa dan kebersihan kalbunya, sehingga Rasulullah SAW berkata” Allah telah menjadikan kebenaran pada lidah dan hati Umar.” Ia terkenal dengan kezuhudan dan kesederhanaannya. Diriwayatkan, pada suatu ketika setelah ia menjabat sebagai khalifah, ia berpidato dengan memakai baju bertambal dua belas sobekan. Diceritakan, Abdullah bin Umar, putra Umar bin Khatab, ketika masih kecil bermain dengan anak-anak yang lain. Anak-anak itu semua mengejek Abdullah karena pakaian yang dipakainya penuh dengan tambalan. Hal ini disampaikannya kepada ayahnya yang ketika itu menjabat sebagai khalifah. Umar merasa sedih karena pada saat itu tidak mempunyai uang untuk membeli pakaian anaknya. Oleh karena itu ia membuat surat kepada pegawai Baitulmal Pembendaharaan Negara diminta dipinjami uang dan pada bulan depan akan dibayar dengan jalan memotong gajinya. Pegawai Baitulmal menjawab surat itu dengan mengajukan suatu pertanyaan, apakah Umar yakin umurnya akan sampai bulan depan. Maka dengan perasaan terharu dengan diiringi derai air mata , Umar menulis lagi sepucuk surat kepada pegawai Baitul Mal bahwa ia tidak lagi meminjam uang karena tidak yakin umurnya sampai bulan yang akan datang. Disebutkan dalam buku-buku tasawuf dan biografinya, Umar menghabiskan malamnya beribadah. Hal demikian dilakukan untuk mengibangi waktu siangnya yang banyak disita untuk urusan kepentingan umat. Ia merasa bahwa pada waktu malamlah ia mempunyai kesempatan yang luas untuk menghadapkan hati dan wajahnya kepada Allah SWT. Usman bin Affan Usman bin Affan yang menjadi teladan para sufi dalam banyak hal. Usman adalah seorang yang zuhud, tawaduk merendahkan diri dihadapan Allah SWT, banyak mengingat Allah SWT, banyak membaca ayat-ayat Allah SWT, dan memiliki akhlak yang terpuji. Diriwayatkan ketika menghadapi Perang Tabuk, sementara kaum muslimin sedang menghadapi paceklik, Usman memberikan bantuan yang besar berupa kendaraan dan perbekalan tentara. Diriwayatkan pula, Usman telah membeli sebuah telaga milik seorang Yahudi untuk kaum muslimin. Hal ini dilakukan karena air telaga tersebut tidak boleh diambil oleh kaum muslimin. Dimasa pemerintahan Abu Bakar terjadi kemarau panjang. Banyak rakyat yang mengadu kepada khalifah dengan menerangkan kesulitan hidup mereka. Seandainya rakyat tidak segera dibantu, kelaparan akan banyak merenggut nyawa. Pada saat paceklik ini Usman menyumbangkan bahan makanan sebanyak seribu ekor unta. Tentang ibadahnya, diriwayatkan bahwa usman terbunuh ketika sedang membaca Al-Qur’an. Tebasan pedang para pemberontak mengenainya ketika sedang membaca surah Al-Baqarah ayat 137 yang artinya…”Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dia lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” ketika itu ia tidak sedikitpun beranjak dari tempatnya, bahkan tidak mengijinkan orang mendekatinya. Ketika ia rebah berlumur darah, mushaf kumpulan lembaran Al-Qur’an itu masih tetap berada ditangannya. Ali bin Abi Talib Ali bin Abi Talib yang tidak kurang pula keteladanannya dalam dunia kerohanian. Ia mendapat tempat khusus di kalangan para sufi. Bagi mereka Ali merupakan guru kerohanian yang utama. Ali mendapat warisan khusus tentang ini dari Nabi SAW. Abu Ali ar-Ruzbari , seorang tokoh sufi, mengatakan bahwa Ali dianugerahi Ilmu Laduni. Ilmu itu, sebelumnya, secara khusus diberikan Allah SWT kepada Nabi Khaidir AS, seperti firmannya yang artinya…”dan telah Kami ajarkan padanya ilmu dari sisi Kami.” Kahfi65. Kezuhudan dan kerendahan hati Ali terlihat pada kehidupannya yang sederhana. Ia tidak malu memakai pakaian yang bertambal, bahkan ia sendiri yang menambal pakiannya yang robek. Suatu waktu ia tengah menjinjing daging di Pasar, lalu orang menyapanya”Apakah tuan tidak malu memapa daging itu ya Amirulmukminin Khalifah?” Kemudian dijawabnya”Yang saya bawa ini adalah barang halal, kenapa saya harus malu?”. Abu Nasr As-Sarraj at-Tusi berkomentar tentang Ali. Katanya”Di antara para sahabat Rasulullah SAW Amirulmukminin Ali bin Abi Talib memiliki keistimewahan tersendiri dengan pengertian-pengertiannya yang agung, isyarat-isyaratnya yang halus, kata-katanya yang unik, uraian dan ungkapannya tentang tauhid, makrifat, iman, ilmu, hal-hal yang luhur, dan sebagainya yang menjadi pegangan serta teladan para sufi. Kehidupan Para Ahl as-Suffah. Selain keempat khalifah di atas, sebagai rujukan para sufi dikenal pula para Ahl as-Suffah. Mereka ini tinggal di Mesjid Nabawi di Madinah dalam keadaan serba miskin, teguh dalam memegang akidah, dan senantiasa mendekatkan diri kepada Allah SWT. Diantara Ahl as-Suffah itu ialah Abu Hurairah, Abu Zar al-Giffari, Salman al-Farisi, Mu’az bin Jabal, Imran bin Husin, Abu Ubaidah bin Jarrah, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas dan Huzaifah bin Yaman. Abu Nu’aim al-Isfahani, penulis tasawuf w. 430/1038 menggambarkan sifat Ahl as-Suffah di dalam bukunya Hilyat al-Aulia`Permata para wali yang artinya Mereka adalah kelompok yang terjaga dari kecendrungan duniawi, terpelihara dari kelalaian terhadap kewajiban dan menjadi panutan kaum miskin yang menjauhi keduniaan. Mereka tidak memiliki keluarga dan harta benda. Bahkan pekerjaan dagang ataupun peristiwa yang berlangsung disekitar mereka tidak lah melalaikan mereka dari mengingat Allah SWT. Mereka tidak disedihkan oleh kemiskinan material dan mereka tidak digembirakan kecuali oleh suatu yang mereka tuju. Diantara Ahl as-Suffah itu ada yang mempunyai keistimewahan sendiri. Hal ini memang diwariskan oleh Rasulullah SAW kepada mereka seperti Huzaifah bin Yaman yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW tentang ciri-ciri orang Munafik. Jika ia berbicara tentang orang munafik, para sahabat yang lain senantiasa ingin mendengarkannya dan ingin mendapatkan ilmu yang belum diperolehnya dari Nabi SAW. Umar bin Khattab pernah tercengang mendengar uraian Huzaifah tentang ciri-ciri orang munafik. Adapun Abu Zar al-Giffarri adalah seorang Ahl as-Suffah termasyur yang bersifat sosial. Ia tampil sebagai prototipe tokoh pertama fakir sejati. Abu Zar tidak pernah memiliki apa-apa, tetapi ia sepenuhnya milik Allah SWT dan akan menikmati hartanya yang abadi. Apabila ia diberikan sesuatu berupa materi, maka materi tersebut dibagi-bagi kepada para fakir miskin. Begitu juga Salman Al Farisi salah seorang Ahli Suffah yang hidup sangat sederhana sampai akhir hanyatnya. Beliau merupakan salah satu Ahli Silsilah dari Tarekat Naqsyabandi yang jalur keguruan bersambung kepada Saidina Abu Bakar Siddiq sampai kepada Rasulullah. BAB III PENUTUP Dari uraian di atas maka penulis dapat menarik berbagai poin kesimpulan yang merupakan intisari dari pembahasan ini, yaitu al-qur’an dan hadits Al-Qur’an merupakan dasar-dasar para sufi dalam bertasawuf kedudukannya sebagai ilmu tentang tingkatan maqam dan keadaan ahwal. Selain Al-Qur’an dan Hadis juga merupakan landasan dalam tasawuf sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rasulullah di Gua Hira yakni tafakkur, beribadah, dan hidup sebagai seorang zahid, Beliau hidup sangat sederhana, terkadang mengenakan pakaian tambalan, tidak makan dan minum kecuali yang halal, dan setiap malam senantiasa beribadah kepada Allah SWT. Dikalangan para sahabat juga banyak yang mempraktekkan tasawuf sebagaimana yang dipraktekkan oleh Nabi Muhammad SAW. Untuk menjadi seorang sufi kita harus bisa meninggalkan segala yang menyangkut dengan sifat kebendaan dan senantiasa bertaubat serta mendekatkan diri kepada-Nya untuk mencapai ridha Allah SWT. B. Benih-benih tasawuf sudah ada sejak dalam kehidupan nabi Muhammad SAW. Hal ini dapat dilihat dalam perilaku dan peristiwa dalam hidup, ibadah dan perilaku nabi Muhammad SAW. Peristiwa dan Perilaku Hidup Nabi. Sebelum diangkat menjadi Rasul, berhari-hari beliau berkhalawat mengasingkan diri di Gua Hira, terutama pada bulan Ramadhan disana nabi banyak berzikir dan bertafakur dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. PUSTAKA Anwar, Rosihon dan Mukhtar Solihin. Ilmu Tasawuf, Bandung Pustaka Setia, 2006. Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung Diponegoro, 2005. Rahmat, Jalaluddin. Meraih Cinta Ilahi ; Pencerahan Sufistik, BandungRemaja Rosdakarya, 2001. Sayyid Abi Bakar Ibnu Muhammad Syatha, Missi Suci Para Sufi, Yogyakarta Mitra Pustaka, 2002. Shayk Ibrahim Gazuri Ilahi, Anal Haqq, Jakarta Raja Grafindo Persada, 1996. Shihab, Quraish. Tafsir al-Misbah, Jakarta Lentera Hati, 2001. [1] Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, Bandung Pustaka Setia, 2006,
Selainitu ada pula yang berpendapat bahwa ia berasal dari kata ash-shofa yang berarti jernih, karena intisari tasawuf adalah menjernihkan hati supaya wushul kepada Allah Swt. Pendapat tentang tasawuf berikut disarikan dari kitab Qowaidut Tashawwuf karangan Imam Zaruq al-Fasi yang bernama lengkap Ahmad bin Ahmad bin Muhammad bin Isa bin Zaruq
PENGERTIAN TENTANG TASAWUF Secara bahasa tasawuf diartikan sebagai Sufisme bahasa arab تصوف adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlaq, membangun dhahir dan batin, untuk memporoleh kebahagian yang abadi. Tasawuf pada awalnya merupakan gerakan zuhud menjauhi hal duniawi dalam Islam, dan dalam perkembangannya melahirkan tradisi mistisme Islam. Tarekat pelbagai aliran dalam Sufi sering dihubungkan dengan Syiah, Sunni, cabang Islam yang lain, atau kombinasi dari beberapa tradisi[rujukan?]. Pemikiran Sufi muncul di Timur Tengah pada abad ke-8, sekarang tradisi ini sudah tersebar ke seluruh belahan dunia Wikipedia bahasa Indonesia. Ada beberapa sumber perihal etimologi dari kata "Sufi". Pandangan yang umum adalah kata itu berasal dari Suf صوف, bahasa Arab untuk wol, merujuk kepada jubah sederhana yang dikenakan oleh para asetik Muslim. Namun tidak semua Sufi mengenakan jubah atau pakaian dari wol. Teori etimologis yang lain menyatakan bahwa akar kata dari Sufi adalah Safa صفا, yang berarti kemurnian. Hal ini menaruh penekanan pada Sufisme pada kemurnian hati dan jiwa. Teori lain mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata Yunani theosofie artinya ilmu ketuhanan. Yang lain menyarankan bahwa etimologi dari Sufi berasal dari "Ashab al-Suffa" "Sahabat Beranda" atau "Ahl al-Suffa" "Orang orang beranda", yang mana adalah sekelompok muslim pada waktu Nabi Muhammad yang menghabiskan waktu mereka di beranda masjid Nabi, mendedikasikan waktunya untuk berdoa Wikipedia bahasa Indonesia. Namun dalam perjalananya, tasawuf diperdebatkan asal usul kehadiranya. Sebagian menyebut tasawuf berasal dari agama islam, sebagian lagi menyatakan bahwa tyasawuf bukan berasal dari islam tetapi dari sinkretisme berbagai ajaran agama samawi maupun ardi. Beberpa pendapat yang menyatakan tasawuf berasal dari islam diantaranya Asal-usul ajaran sufi didasari pada sunnah Nabi Muhammad. Keharusan untuk bersungguh-sungguh terhadap Allah merupakan aturan di antara para muslim awal, yang bagi mereka adalah sebuah keadaan yang tak bernama, kemudian menjadi disiplin tersendiri ketika mayoritas masyarakat mulai menyimpang dan berubah dari keadaan ini. Nuh Ha Mim Keller, 1995 Seorang penulis dari mazhab Maliki, Abd al-Wahhab al-Sha'rani mendefinisikan Sufisme sebagai berikut "Jalan para sufi dibangun dari Qur'an dan Sunnah, dan didasarkan pada cara hidup berdasarkan moral para nabi dan yang tersucikan. Tidak bisa disalahkan, kecuali apabila melanggar pernyataan eksplisit dari Qur'an, sunnah, atau ijma." [11. Sha'rani, al-Tabaqat al-Kubra Kairo, 1374, I, 4.] Beberapa pendapat bahwa tasawuf bukan berasal dari islam diantaranya Sufisme berasal dari bahasa Arab suf, yaitu pakaian yang terbuat dari wol pada kaum asketen yaitu orang yang hidupnya menjauhkan diri dari kemewahan dan kesenangan. Dunia Kristen, neo platonisme, pengaruh Persi dan India ikut menentukan paham tasawuf sebagai arah asketis-mistis dalam ajaran Islam Mr. Hiltermann & De Woestijne. Sufismeyaitu ajaran mistik mystieke leer yang dianut sekelompok kepercayaan di Timur terutama Persi dan India yang mengajarkan bahwa semua yang muncul di dunia ini sebagai sesuatu yang khayali als idealish verschijnt, manusia sebagai pancaran uitvloeisel dari Tuhan selalu berusaha untuk kembali bersatu dengan DIA J. Kramers Jz. Al Quran pada permulaan Islam diajarkan cukup menuntun kehidupan batin umat Muslimin yang saat itu terbatas jumlahnya. Lambat laun dengan bertambah luasnya daerah dan pemeluknya, Islam kemudian menampung perasaan-perasaan dari luar, dari pemeluk-pemeluk yang sebelum masuk Islam sudah menganut agama-agama yang kuat ajaran kebatinannya dan telah mengikuti ajaran mistik, keyakinan mencari-cari hubungan perseorangan dengan ketuhanan dalam berbagai bentuk dan corak yang ditentukan agama masing-masing. Perasaan mistik yang ada pada kaum Muslim abad 2 Hijriyah yang sebagian diantaranya sebelumnya menganut agama Non Islam, semisal orang India yang sebelumnya beragama Hindu, orang-orang Persi yang sebelumnya beragama Zoroaster atau orang Siria yang sebelumnya beragama Masehi tidak ketahuan masuk dalam kehidupan kaum Muslim karena pada mereka masih terdapat kehidupan batin yang ingin mencari kedekatan diri pribadi dengan Tuhan. Keyakinan dan gerak-gerik akibat paham mistik ini makin hari makin luas mendapat sambutan dari kaum Muslim, meski mendapat tantangan dari ahli-ahli dan guru agamanya. Maka dengan jalan demikian berbagai aliran mistik ini yang pada permulaannya ada yang berasal dari aliran mistik Masehi, Platonisme, Persi dan India perlahan-lahan mempengaruhi aliran-aliran di daam Islam Aceh. Paham tasawuf terbentuk dari dua unsur, yaitu 1 Perasaan kebatinan yang ada pada sementara orang Islam sejak awal perkembangan Agama Islam,2 Adat atau kebiasaan orang Islam baru yang bersumber dari agama-agama non-Islam dan berbagai paham mistik. Oleh karenanya paham tasawuf itu bukan ajaran Islam walaupun tidak sedikit mengandung unsur-unsur Ajaran Islam, dengan kata lain dalam Agama Islam tidak ada paham Tasawuf walaupun tidak sedikit jumah orang Islam yang menganutnya MH. Amien Jaiz, 1980. Tasawuf dan sufi berasal dari kota Bashrah di negeri Irak. Dan karena suka mengenakan pakaian yang terbuat dari bulu domba Shuuf, maka mereka disebut dengan "Sufi". Soal hakikat Tasawuf, ia itu bukanlah ajaran Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam dan bukan pula ilmu warisan dari Ali bin Abi Thalib Radiyallahu anhu. Menurut Asy Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir rahimahullah berkata “Tatkala kita telusuri ajaran Sufi periode pertama dan terakhir, dan juga perkataan-perkataan mereka baik yang keluar dari lisan atau pun yang terdapat di dalam buku-buku terdahulu dan terkini mereka, maka sangat berbeda dengan ajaran Al Qur’an dan As Sunnah. Dan kita tidak pernah melihat asal usul ajaran Sufi ini di dalam sejarah pemimpin umat manusia Muhammad Shallallahu alaihi wassalam, dan juga dalam sejarah para shahabatnya yang mulia, serta makhluk-makhluk pilihan Allah Ta’ala di alam semesta ini. Bahkan sebaliknya, kita melihat bahwa ajaran Sufi ini diambil dan diwarisi dari kerahiban Nashrani, Brahma Hindu, ibadah Yahudi dan zuhud Buddha" - At Tashawwuf Al Mansya’ Wal Mashadir, hal. 28.Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc Para ahli yang menolak tasawuf sebagai bagian dari islam mengambil contoh kesalahan pemahaman tasawuf yaitu Faham Wujud. Faham wujud adalah berisi keyakinan bahwa manusia dapat bersatu dengan Tuhan. Penganut paham kesatuan wujud ini mengambil dalil Al Quran yang dianggap mendukung penyatuan antara ruh manusia dengan Ruh Allah dalam penciptaan manusia pertama, Nabi Adam AS “...Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya As Shaad; 72” Sehingga ruh manusia dan Ruh Allah dapat dikatakan bersatu dalam sholat karena sholat adalah me-mi'rajkan ruh manusia kepada Ruh Allah Azza wa Jalla . Atas dasar pengaruh 'penyatuan' inilah maka kezuhudan dalam sufi dianggap bukan sebagai kewajiban tetapi lebih kepada tuntutan bathin karena hanya dengan meninggalkan/ tidak mementingkan dunia lah kecintaan kepada Allah semakin meningkat yang akan bepengaruh kepada 'penyatuan' yang lebih mendalam. Paham ini dikalangan penganut paham kebatinan juga dikenal sebagai paham manunggaling kawula lan gusti yang berarti bersatunya antara hamba dan Tuhan Wikipedia bahasa Indonesia. Dasar-Dasar Qur`ani Tasawuf Para pengkaji tentang tasawuf sepakat bahwasanya tasawuf berazaskan kezuhudan sebagaimana yang diperaktekkan oleh Nabi Saw, dan sebahagian besar dari kalangan sahabat dan tabi'in. Kezuhudan ini merupakan implementasi dari nash-nash al-Qur'an dan Hadis-hadis Nabi Saw yang berorientasi akhirat dan berusaha untuk menjuhkan diri dari kesenangan duniawi yang berlebihan yang bertujuan untuk mensucikan diri, bertawakkal kepada Allah Swt, takut terhadap ancaman-Nya, mengharap rahmat dan ampunan dari-Nya dan lain-lain. Meskipun terjadi perbedaan makna dari kata sufi akan tetapi jalan yang ditempuh kaum sufi berlandasakan Islam. Diantara ayat-ayat Allah yang dijadikan landasan akan urgensi kezuhudan dalam kehidupan dunia adalah firman Allah dalam al-Qur'an yang Artinya “Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat”. Asy-Syuura [42] 20. Diantara nash-nash al-Qur'an yang mememerintahkan orang-orang beriman agar senantiasa berbekal untuk akhirat adalah firman Allah dalam al-Hadid [57] ayat 20 yang Artinya “Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; Kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning Kemudian menjadi hancur. dan di akhirat nanti ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia Ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”. Ayat ini menandaskan bahwa kebanyakan manusia melaksanakan amalan-amalan yang menjauhkannya dari amalan-amalan yang bermanfaat untuk diri dan keluarganya, sehingga mereka dapat kita temukan menjajakan diri dalam kubangan hitamnya kesenangan dan gelapnya hawa nafus mulai dari kesenangan dalam berpakaian yang indah, tempat tinggal yang megah dan segala hal yang dapat menyenangkan hawa nafsu, berbangga-bangga dengan nasab dan banyaknya harta serta keturunan anak dan cucu. Akan tetapi semua hal tesebut bersifat sementar dan dapat menjadi penyebab utama terseretnya seseorang kedalam azab yang sangat pedih pada hari ditegakkannya keadilan di sisi Allah, karena semua hal tersebut hanyalah kesenangan yang melalaikan, sementara rahmat Allah hanya terarah kepada mereka yang menjauhkan diri dari hal-hal yang melallaikan tersebut. Ayat al-Qur'an lainnya yang dijadikan sebagai landasan kesufian adalah ayat-ayat yang berkenaan dengan kewajiban seorang mu'min untuk senantiasa bertawakkal dan berserah diri hanya kepada Allah swt semata serta mencukupkan bagi dirinya cukup Allah sebagai tempat menggantungkan segala urusan, ayat-ayat al-Qur'an yang menjelaskan hal tersebut cukup variatif tetapi penulis mmencukupkan pada satu diantara ayat –ayat tersebut yaitu firman Allah dalam ath-Thalaq [65] ayat 3 yang Artinya “Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang dikehendaki Nya. Sesungguhnya Allah Telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu”. Dianatra ayat-ayat al-Qur'an yang menjadi landasan munculnya kezuhudan dan menjadi jalan kesufian adalah ayat-ayat yang berbicara tentang rasa takut kepadan Allah dan hanya berharap kepada-Nya diantaranya adalah firman Allah dalam as-Sajadah [ ] ayat 16 yang berbunyi yang Artinya “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap Maksud dari perkataan Allah Swt "Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya" adalah bahwa mereka tidak tidur di waktu biasanya orang tidur untuk mengerjakan shalat malam”. Terdapat banyak ayat yang berbicara tentang urgensi rasa takut dan pengharapan hanya kepada Allah semata akan tetapi penulis cukupkan pada kedua ayat terdahulu. Diantara ayat-ayat yang menjadi landasan tasawuf adalah nash-nash Qura'ny yang menganjurkan untuk beribadah pada malam hari baik dalam bentuk bertasbih ataupun quyamullail diantaranya adalah firman Allah yang Artinya Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang Terpuji. al-Isra' [17] ayat 79 yang Artinya “Dan sebutlah nama Tuhanmu pada waktu pagi dan petang. Dan pada sebagian dari malam, Maka sujudlah kepada-Nya dan bertasbihlah kepada-Nya pada bagian yang panjang dimalam hari”. al-Insan [76] ayat 25-26 yang Artinya “Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka” Tiga ayat di atas menunjukkan bahwa mereka yang senantiasa menjauhi tempat tidur di malam hari dengan menyibukkan diri dalam bertasbih dan menghidupkan malam-malamnya dengan shalat dan ibadah-ibadah sunnah lainnya hanya semata-mata untuk mengharapkan rahmat, ampunan, ridha, dan cinta Tuhannya kepadanya akan mendapatkan maqam tertinggi di sisi Allah. Selain daripada hal-hal yang telah penulis uraikan sbelumnya, diantara pokok-pokok ajaran tasawuf adalah mencintai Allah dengan penuh ketulusan dan keikhlasan hal ini berlandaskan kepada firman Allah swt dalam at-Taubah ayat 24 yang Artinya ”Katakanlah "Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan Keputusan-Nya". dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik”. Ayat ini menunjukkan bahwa kecintaan terhadap Allah, Rasul-Nya dan berjihad di jalan-Nya harus menjadi prioritas utama di atas segala hal, bahkan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya harus melebihi di atas kecintaan kepada ayah, ibu, anak, istri, keluarga, harta, perniagaan dan segala hal yang bersifat duniawi, atau dengan kata lain bahwa seseorang yang ingin mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan mendambakan tempat terbaik diakhirat hendaknya menjadikan Allah dan Rasul-Nya sebagai kecintaan tertinggi dalam dirinya
Karenaayat Alquran masih bersifat global dan perlu ditafsirkan lebih dalam lagi. Maka dari itu kita harus bijak dalam memaknai ayat Alquran, mendekatinya dengan perspektif Ulumul Qur'an. Salah satu teori yang digunakan dalam penafsiran Alquran adalah teori Fazlur Rahman tentang hermeneutika double movement .
– Tasawuf merupakan salah satu istilah dan bagian dari perkembangan ajaran Islam dari para Sufi. Sementara dalam rukun Islam ataupun rukum Iman, mengenai tasawuf ini memang tak bisa dijelaskan secara eksplisit. Namun, tasawuf sendiri dianggap berasal dari beberapa pengaruh ajaran agama dan filsafat lainnya yang akhirnya diadopsi kedalam konsep Islam. Lalu bagaimana bunyi dalil tasawuf itu sendiri?Meski demikian Muhammad Amin al-Kurdy memberikan pengertian bahwa tasawuf adalah ilmu yang digunakan untuk mengetahui kebaikan dan keburukan jiwa sera membersihkan keburukan-keburukan tersebut dengan sifat-sifat TasawufDalam hal ini, tasawuf termaktub dalam Surat Al A’la ayat 14-15,قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّىٰ وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّىٰArtinya Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri dengan beriman, dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia merangkum, perilaku manusia entah yang baik atau buruk, bergantung pada hati yang ia pelihara. Sejatinya, hati yang bersih akan membawa manusia pada kedamaian dan ketentraman yang sejati dan menyejukkan hati sesama ataupun hati yang kerap dengki dan iri akan menjadi hati yang kotor sehingga membawa pada kehancuran, kekacauan, dan keresahan. Hal tersebut akan berdampak pada kehancuran manusia dan hati yang bening akan senantiasa terwujud pada diri manusia itu sendiri ketika memperbaiki hubungannya dengan Sang Ilahi. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam surat ar-Rad ayat 28 sebagai berikutالَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُArtinya yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi itu dalam QS Al Anfal ayat 17,فَلَمْ تَقْتُلُوهُمْ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ قَتَلَهُمْ ۚ وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ رَمَىٰ ۚ وَلِيُبْلِيَ الْمُؤْمِنِينَ مِنْهُ بَلَاءً حَسَنًا ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌArtinya Maka yang sebenarnya bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha itu tasawuf dipahami sebagai manusia yang dekat dengan Tuhannya yang merupakan ajaran dasar lewat firman Allah SWT sebagai berikutوَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَArtinya Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka jawablah, bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi segala perintah-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam Tasawuf berdasarkan Kisah RasulullahDari berbagai hadits, Rasulullah SAW diketahui hidup dengan sangat sederhana. Bahkan terkadang Rasulullah mengenakan pakaian tambalan. Beliau tidak makan dan minum selain yang halal dan senantiasa beribadah kepada Allah SWT pagi dan malam. Hingga suatu hari Siti Aisyah bertanya, “Mengapa engkau seperti ini ya Rasulullah, padahal Allah SWT senantiasa mengampuni dosamu?”Rasulullah pun menjawab, “Apakah engkau tidak menginginkan aku menjadi hamba yang bersyukur kepada Allah?”Tak hanya itu, dalam hadits lain juga banyak dijumpai Rasulullah berbicara tentang kehidupan tasawuf seperti,“Barangsiapa yang mengenal dirinya sendiri berarti ia mengenal Tuhannya”Dalil Tasawuf dalam Al Qur’anBeberapa sufi menyandarkan dasar-dasar pemahaman mereka melalui ayat-ayat Al Qur’an. Adapun ayat-ayat tersebut sebagai berikut1. QS Al Baqarah 115“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas rahmat-Nya lagi Maha Mengetahui.”Dari ayat tersebut kita belajar untuk memahami rahmat Allah SWT yang maha luas dan QS Al Baqarah 186“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka jawablah, bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi segala perintah-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”Ayat berikutnya membuat kita memahami betapa Allah SWT dekat kepada kita, QS Qaf 16“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.”Dari ayat ini kita belajar bahwa Allah SWT senantiasa dekat dengan hamba-Nya, melebihi nadi di QS Al Kahfi 65“Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.”Dalam ayat ini kita belajar bahwa rahmat Allah SWT senantiasa luas kepada dalil-dalil mengenai tasawuf yang bisa kita ambil pelajaran dari ayat-ayat tersebut. semoga artikel ini bermanfaat dan bisa membawa kebaikan aamiin.. Quran dan di bagian akhir, penulis menambahkan pembahasan tentang bagaimana mengenai dunia tasawuf untuk mengetahui asal-usul munculnya corak tafsir sufi dalam peta penafsiran al-Quran. B. Pembahasan Dan pemahaman terhadap ayat al-Quran melalui penafsiran, mempunyai peranan yang sangat besar bagi maju mundurnya umat. sekaligus, penafsiran
BAB I PENDAHULUAN Apabila kita melihat zaman sekarang banyak orang-orang yang mengejar kemewahan dunia, dan berlebih-lebihan dalam mencintai keindahan dunia seolah-olah akan hidup selamanya di dunia ini. Namun, pada akhirnya mereka menyesal setelah mendapat suatu musibah dan banyak yang sadar karena kesenangan dunia itu tidak bisa membuat orang tenang dan tentram. Dengan demikian mereka mancari ketenangan dan kedamaian yang dibutuhkan oleh sentuhan-sentuhan spiritual atau rohani yang bisa diperoleh dengan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Dalam makalah ini penulis mencoba membahas sedikit tentang dasar atau landasan-landasan yang sering digunakan oleh para sufi dalam bertasawuf. Landasan Al-Qur’an dan Hadist merupakan acuan pokok yang selalu dijadikan oleh umat Islam untuk berbuat dan bertindak. Dalam penulisan makalah ini tidak lepas dari kekurangan dan kesalahan, sebagai manusia biasa yang tidak pernah luput dari salah dan lupa, makalah ini juga belum bisa dikatakan sempurna. Oleh sebab itu, pemakalah meminta kepada Bapak Dosen dan rekan-rekan mahasiswa agar memberikan kritik dan saran agar makalah ini nanti lebih baik dan sempurna bahasannya. Atas kritik dan saran-saran yang diberikan Bapak Dosen ataupun rekan-rekan mahasiswa, pemakalah lebih dulu mengucapkan terima kasih banyak, sehingga makalah ini nanti bisa lebih bagus. BAB II PERMASALAHAN Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari kita sering mendengar pertanyaan-pertanyaan yang meminta atas landasan atau dasar apa kita berbuat sesuatu. Ataupun langsung orang lain bertanya kepada kita apa dasar al-Qur’an dan hadistnya anda berkata demikian? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini sering dilontarkan kepada kita ketika orang itu menerima atau menemukan persoalan-persoalan yang baru atau persoalan-persoalan yang unik yang mereka temui. Oleh sebab itu landasan atau dasar-dasar tasawuf dalam Al-Qur’an dan Hadis urgen untuk dibahas. Karena tanpa kajian yang khusus kita tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Karena masa modern ini kita harus lebih banyak mengkaji dan berpegang kepada Al-Qur’an dan Hadis yang ditinggalkan oleh Nabi Muhammad sebagai pedoman bagi kita supaya kita tidak terbawa arus globalisasi yang semakin merajalela ini. BAB III PEMBAHASAN A. Pengertian Tasawuf Secara etimologi, pengertian tasawuf dapat dilihat menjadi beberapa macam pengertian, yaitu ; 1. Ahlu suffah , yang berarti sekelompok orang dimasa Rasulullah yang hidupnya banyak berdiam diserambi-serambi mesjid, dan mereka mengabdikan hidupnya untuk beribadah kepada Allah. 2. Safa , orang-orang yang mensucikan dirinya dihadapan Tuhan-Nya. 3. Shaf , orang-orang yang ketika shalat selalau berada di shaf yang paling depan. 4. Shuf , yang berarti bulu domba atau wool. Secara terminologi, telah banyak dirumuskan oleh para ahli, yaitu Menurut Juhairi, ketika ditanya tentang tasawuf, lalu ia menjawab “Memasuki segala budi akhlak yang bersifat sunni dan keluar dari budi pekerti yang rendah”. Menurut Junaidi “Tasawuf ialah bahwa yang Hak adalah yang mematikanmu, dan Hak-lah yang menghidupkanmu”. Menurut Abu Hamzah “Tanda sufi yang benar adalah berfakir setelah dia kaya, merendahkan diri setelah dia bermegah-megahan, menyembunyikan diri setelah dia terkenal dan tanda sufi palsu adalah kaya setelah dia fakir, bermegah-megahan setelah dia hina dan tersohor setelah ia tersembunyi”. B. DASAR-DASAR QUR’ANI DAN HADIST TENTANG ILMU TASAWUF Al-Qur’an merupakan kitab Allah yang didalamnya terkandung muatan-muatan ajaran Islam, baik akidah, syarah maupun muamalah. Ketiga muatan tersebut banyak tercermin dalam ayat-ayat yang termaktub dalam Al-Qur’an. Ayat-ayat Al-Qur’an di satu sisi memang ada yang perlu dipahami secara konstektual-rohaniah. Jika dipahami secara lahiriah saja, ayat-ayat Al-Qur’an akan terasa kaku, kurang dinamis, dan tidak mustahil akan ditemukan persoalan yang tidak dapat diterima secara psikis. Secara umum ajaran Islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah dan batiniah. Pemahaman terhadap unsur kehidupan yang bersifat batiniah pada gilirannya nanti melahirkan tasawuf. Unsur kehidupan tasawuf ini mendapat perhatian yang cukup besar dari sumber ajaran Islam yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah serta praktik kehidupan Nabi dan para sahabatnya.[1] Ayat Al-Qur’an tentang tasawuf secara eksplisit Makna eksplisit adalah makna absolut yang langsung diacu oleh bahasa. Konsep makna ini bersifat denotatif sebenarnya sebagai representasi dari bahasa kognitif. Eksplisit makna/maksud diajukan secara langsung dan jelas Makna eksplisit mengacu pada informasi, sedangkan makna implisit mengacu pada emosi.[2] Dalam Al-Maidah ayat 54 $pkš‰r’¯»tƒ tûïÏ%©!$ qãZtBuä `tB £‰s?ötƒ öNä3YÏB `tã ¾ÏmÏZƒÏŠ t$öq¡sù ’ÎAù’tƒ ª!$ 5QöqsÎ/ öNåk™Ïtä† ÿ¼çmtRq™6Ïtä†ur A’©!όr& ’n?tã tûüÏZÏB÷sßJø9$ >o¨“Ïãr& ’n?tã tûï͍Ïÿ»s3ø9$ šcr߉Îg»pgä† ’Îû ȋÎ6y™ !$ Ÿwur tbqèù$sƒs† sptBöqs9 5OͬIw 4 y7Ï9ºsŒ ãôÒsù !$ ÏmŠÏ?÷sム`tB âä!$t±o„ 4 ª!$ur ììřºur íOŠÎ=tæ ÇÎÍÈ Artinya ; “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah Lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas pemberian-Nya, lagi Maha Mengetahui”. Berdasarkan dasar Al-Qur’an tentang tasawuf secara eksplisit, di atas memiliki ciri-ciri yaitu 1 Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai Allah. 2 Bersikap lemah lembut terhadap orang-orang mukmin dan bersikap tegas terhadap orang-orang kafir. Sifat ini merupakan hasil kecintaan kepada Allah. Seorang yang cinta kepada Allah akan menjadi seorang yang arif bijaksana yang akan selalu gembira dan senyum, bersikap lemah lembut karena jiwanya dipenuhi oleh sifat Allah yang paling dominan yaitu rahmat dan kasih sayang. Inilah yang menghasilkan rasa persaudaraan seagama, yang menjadikannya bersikap toleran terhadap kesalahannya, lemah lembut dalam sikap dan perilakunya termasuk ketika menegur atau menasehatinya. Sikap ini yang mengantar seorang muslim merasakan derita saudaranya, sehingga memenuhi kebutuhannya dan melapangkan kesulitannya. Sedang sikap tegas kepada orang-orang kafir, bukan berarti memusuhi pribadinya, atau memaksakan mereka memeluk islam, atau merusak tempat ibadah dan menghalangi mereka melaksanakan tuntutan agama dan kepercayaan mereka tetapi bersikap tegas, terhadap permusuhan mereka, atau upaya-upaya mereka melecehkan ajaran agama dan kaum muslimin. 3 Mereka berjihad di jalan Allah Jihad disini tidak terbatas dalam bentuk mengangkat senjata, tetapi termasuk upaya-upaya membela islam dan memperkaya peradabannya dengan lisan dan tulisan, sambil menjelaskan ajaran islam dan menangkal ide-ide yang bertentangan dengannya lebih-lebih yang memburukannya. 4 Tidak takut kepada celaan pencela Mereka tidak takut dicela bahwa mereka tidak toleran misalnya jika mereka bersikap tegas terhadap orang kafir yang memusuhi islam, tidak juga khawatir dituduh fanatik atau fundamentalis jika menegakkan ukhwah islamiyah.[3] Bahwa kemungkinan manusia dapat saling mencintai mahabbah dengan Tuhan. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam Al-Qur’an dalam surah al-Maidah ayat 54 yakni $pkš‰r’¯»tƒ tûïÏ%©!$ qãZtBuä `tB £‰s?ötƒ öNä3YÏB `tã ¾ÏmÏZƒÏŠ t$öq¡sù ’ÎAù’tƒ ª!$ 5QöqsÎ/ öNåk™Ïtä† ÿ¼çmtRq™6Ïtä†ur A’©!όr& ’n?tã tûüÏZÏB÷sßJø9$ >o¨“Ïãr& ’n?tã tûï͍Ïÿ»s3ø9$ šcr߉Îg»pgä† ’Îû ȋÎ6y™ !$ Ÿwur tbqèù$sƒs† sptBöqs9 5OͬIw 4 y7Ï9ºsŒ ãôÒsù !$ ÏmŠÏ?÷sム`tB âä!$t±o„ 4 ª!$ur ììřºur íOŠÎ=tæ ÇÎÍÈ Artinya ”Hai orang-orang yang beriman barang siapa diantara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir yang berjihad dijalan Allah dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah diberikan-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha halus pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui. [4] Dari ayat diatas para ahli sufi menafsirkannya bahwa akan datang suatu kaum yang dicintai Allah dan mereka juga mencintai Allah, sebagaimana yang tercantum didalam Tafsir al-Misbah karangan Quraish Shihab bahwa Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai Allah. Cinta Allah kepada hamba-Nya dipahami para mufassir dalam arti limpahan kebaikan dan anugerah-Nya. Cinta Allah dan karunianya tidak terbatas dan cinta manusia kepada Allah bertingkat-bertingkat, tetapi yang jelas adalah cinta kepada-Nya merupakan dasar dan prinsip perjalanan menuju Allah, sehingga semua peringkat maqam dapat mengalami kehancuran kecuali cinta. Cinta tidak bisa hancur dalam keadaan apapun selama jalan menuju Allah tetap ditelusuri.[5] Bahwa Allah memerintahkan manusia agar senantiasa bertaubat membersihkan diri dan memohan ampunan kepada-Nya sehingga memperoleh cahaya ini sesuai dengan ayat Al-Qur’an surah at-Tahrim ayat 8 yaitu $pkš‰r’¯»tƒ šúïÏ%©!$ qãZtBuä þqç/qè? ’n̍øópRùQ$ur 4 $yJuZ÷ƒr’sù q—9uqè? §NsVsù çmô_ur !$ 4 žcÎ ©!$ ììřºur ÒOŠÎ=tæ ÇÊÊÎÈ Artinya ”Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha luas rahmat-Nya lagi Maha Mengetahui.”[8] Bagi kaum sufi ayat tersebut mengandung arti bahwa dimana Tuhan ada, di situ pula Tuhan dapat dijumpai.[9] Maksudnya kapanpun dan dimanapun kita berada Allah selalu bersama kita karena dzat-Nya tidak dibatasi ruang dan waktu dan tidak pula dibatasi oleh tempat. Dalam Al-Qur’an juga dijelaskan tentang kedekatan manusia dengan-Nya seperti yang tercantum dalam surah al-Baqarah ayat 186 yaitu sŒÎur y7s9r’y™ “ÏŠ$t6Ïã ÓÍh_t㠒ÎoTÎ*sù ë=ƒÌs% Ü=‹Å_é& nouqôãyŠ Æí¤$!$ sŒÎ Èb$tãyŠ qç6‹ÉftGó¡uŠù=sù ’Ítø%r& Ïmø‹s9Î ô`ÏB Èö7ym ωƒÍ‘uqø9$ ÇÊÏÈ Artinya “Sebenarnya Kami ciptakan manusia dan Kami tahu apa yang dibisikkannya kepadanya, Kami lebih dekat kepadanya daripada pembuluh darahnya sendiri.” [11] Berdasarkan ayat tersebut kebanyakan dikalangan para sufi berpendapat bahwa untuk mencari Tuhan, orang tidak perlu pergi jauh-jauh. Ia cukup kembali ke dalam dirinya sendiri.[12] Maksudnya kita harus intropeksi diri memuhasabahi diri kita atas apa yang telah kita lakukan dan kita perbuat dan sejauhmana kita mensyukuri anugerah Allah kepada kita. Ayat Al-Qur’an Tentang Tasawuf Secara Implisit Makna implisit adalah makna universal yang disembunyikan oleh bahasa. Konsep makna ini bersifat konotatif kias sebagai representasi dari bahasa emotif. Implisit makna/maksud diajukan tidak secara langsung dan sembunyi-sembunyi. Ada pun ayat-ayat Al-Qur’an yang menjadi landasan tasawuf secara inplisit dapat dilihat dari tingkatan maqam dan keadaan ahwal para sufi yaitu Tingkatan Zuhud yakni tercantum dalam surah An-Nisaa’ ayat 77 yaitu öè% ßì»tFtB $u‹÷R‘‰9$ ׋Î=s% äotÅzFy$ur ׎öyz Ç`yJÏj9 4’s+¨?$ Artinya “Katakanlah kesenangan didunia ini hanya sementara dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa…”[13] Tingkatan Tawakkal yaitu dalam surah At-Thalak ayat 3 yaitu `tBur ö©.uqtGtƒ ’n?tã !$ uqßgsù ÿ¼mç7ó¡ym 4 Artinya “Dan barang siapa bertawakkal kepada Allah niscaya Allah mencukupkan keperluannya.”[14] Tingkatan Syukur dalam Ibrahim ayat 7 yaitu ûÈõs9 óOè?öx6x© öNä3¯Ry‰ƒÎ—V{ Artinya “Sesungguhnya jika kamu bersyukur pasti akan Kami menambahkan nikmat kepadamu.”[15] Tingkat Sabar berlandaskan Al-Baqarah ayat 155 yaitu ̍Ïe±o0ur šúïΎÉ9»¢Á9$ Artinya ”Dan berikanlah berita gaembira kepada orang-orang yang sabar.”[16] Tingkatan Ridha berdasarkan Al-Maidah ayat 119 yaitu zÓÅ̧‘ ª!$ öNåk÷]tã qàÊu‘ur çm÷Ztã 4 Artinya ”Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun ridha terhadap-Nya.” [17] Demikianlah sebagian ayat-ayat Al-Qur’an yang dijadikan para sufi sebagai landasan untuk melaksanakan praktek-praktek kesufiannya. Akan tetapi masih banyak ayat-ayat yang lain yang tidak dicantumkan oleh penulis dalam makalah ini. Hadist Tentang Tasawuf Secara Eksplisit Dalam hadis juga banyak dijumpai keterangan-keterangan yang berbicara tentang kehidupan rohaniah manusia. Di antaranya adalah sebagai berikut Artinya ”Senantiasa seorang hamba itu mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Maka tatkala mencintainya, jadilah Aku pendengarnya yang dia pakai untuk mendengar dan lidahnya yang dia pakai untuk berbicara dan tangannya yang dia pakai untuk mengepal dan kakinya yang dia pakai untuk berusaha ; maka dengan-Ku-lah dia mendengar, melihat, berbicara, berpikir, meninju dan berpikir.”[18] Dari hadis ini dapat dipahami bahwa manusia dan Tuhan dapat bersatu. Diri manusia dapat lebur dalam diri Tuhan yang selanjutnya dikenal dengan istilah fana, yakni fana’-nya makhluk sebagai yang mencintai kepada Tuhan seperti yang dicintainya. Fana adalah menghilangnya daripada pengenalan ghair, baqa adalah pengetahuan Tuhan, yang di dapat oleh seorang yang sudah menghilangnya pengetahuan tentang ghair. Dalam hal ini nafs kita dalam jalan fana ubudiyyah yakni penghambaan, ibadah dan Tuhan dalam jalan baqaa rububiyyah yakni penguasaan.[19] Artinya “Dari Abi Yahya Suhaib bin Sinan RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda sangat mengagumkan keadaan seorang mukmin. Sesungguhnya segala keadaannya untuknya baik sekali, dan tidak mungkin terjadi demikian kecuali bagi orang mukmin. Kalau mendapat kenikmatan, ia bersyukur, maka bersyukur itu lebih baik baginya. Dan kalau menderita kesusahan ia sabar, maka kesabaran itu lebih baik baginya. HR. Muslim. Hadist tentang tasawuf secara inplisit Artinya Dari Umar bin Khattab ra., katanya Aku mendengar Rasul Allah SAW bersabda ”Semua amal perbuatan itu hanyalah dinilai menurut masing-masing niatnya, dan setiap orang hanyalah menurut apa yang diniatkan. Maka barang siapa yang hijrahnya itu kepada keridhaan Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya untuk keduniaan atau wanita yang akan dikawininya, maka hijrahnya itu pun diberi penilaian untuk tujuan apa ia hijrah tadi”. Al-Bukhari. Artinya Dari Ibnu Mas’ud ra. Dari Rasul Allah, bersabda sesungguhnya jujur itu mendorong untuk beramal saleh, dan sesungguhnya amal saleh itu menunjukkan jalan ke surga. Dan seorang yang benar-benar/terus-menerus berbuat jujur sehingga menjiwai dan berbudi, ditetapkan disisi Allah sebagai ahli jujur. Dan sesungguhnya dusta itu mendorong untuk berbuat keji dan perbuatan keji itu menyampaikan ke neraka. Dan seorang yang benar-benar/terus-menerus berdusta, ditetapkan disisi Allah sebagai ahli dusta. Mutafaq Alaih. Dalam Hadist Qudsi juga dijelaskan yaitu Artinya “Tidaklah para hamba yang beribadah kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada yang telah Aku fardhukan kepadanya. Dan hamba yang beribadah kepada-Ku dengan perbuatan-perbuatan sunat, maka Aku juga mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku adalah pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, penglihatan yang ia gunakan untuk melihat, tangan yang ia pakai memegang dan kaki yang ia gunakan untuk berjalan. Dan jika ia memohon perlindungan kepada-Ku, maka Aku akan melindunginya”.[20] Hadis ini menjelaskan bahwa sesungguhnya seorang hamba mampu meninggalkan syahwat dan tenggelam dalam ketaatan, sehingga ia hanya menggunakan anggota badannya sesuai dengan tujuan penciptaannya, sebagai taufik dan hidayah Allah SWT. Hadis ini memberi pengertian, bahwa dasar kecintaan Allah kepada hamba-Nya adalah melalui perbuatan-perbuatan yang sunat. Oleh karena itu, selama seorang hamba beribadah kepada-Nya melalui ibadah-ibadah sunat hingga sampai pada tingkatan cinta kepada-Nya, maka pada saat itu dia mampu tenggelam dengan melihat kesucian Allah, tidak melihat sesuatupun kecuali Allah berada di sisinya. Pengalaman semacam ini merupakan derajat terakhir bagi orang-orang yang menuju akhirat dan jalan pertama bagi orang yang ingin sampai kepada Allah. Dengan mengikuti sunah tercapailah ma’rifat, dengan melakukan perbuatan fardhu tercapailah qurbah dekat dengan Allah dan dengan selalu melaksanakan perbuatan sunat tercapailah mahabbah Allah.[21] Dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW, juga terdapat petunjuk yang menggambarkan bahwa beliau adalah sufi. Nabi Muhammad telah mengasingkan diri ke Gua Hira menjelang datangnya wahyu. Beliau menjauhi pola hidup kebendaan yang pada waktu itu diagung-agungkan oleh orang Arab tengah tenggelam didalamnya, seperti dalam peraktek perdagangan dengan prinsip menghalalkan segala cara.[22] 5. Kiat/Cara-Cara Menentukan Ayat Ekspelisit dan Impilisit Meskipun teks-teks Alquran pada mulanya adalah wahyu Tuhan yang transhistoris dan metahistoris, akan tetapi dalam perjalanan selanjutnya ia diturunkan kepada manusia dan untuk menjadi bacaan yang harus dipahami manusia. Kenyataan ini bagaimanapun telah merubah teks-teks suci tersebut menjadi teks-teks yang memasuki ruang dan waktu manusia. Dengan kata lain, Alquran tidak hadir dalam ruang hampa, melainkan berdialog, merespon, dan berinteraksi dengan manusia yang telah eksis berikut segala sistem hidup yang dianut. Secara historis ayat-ayat Alquran yang berjumlah lebih dari 6000 ayat dan dibagi dalam 114 surat tersebut diturunkan kepada masyarakat Arabia abad ke 7 M, dalam rentang waktu sekitar 23 tahun. Ayat-ayat tersebut tidak diturunkan sekaligus, tetapi melalui proses bertahap atau berangsur, berdasarkan kebutuhan yang relevan dengan peristiwa-peristiwa yang dihadapi Nabi. Seluruh surat dan ayat Alquran diturunkan dalam dua fase sejarah sosial yang berbeda. Dua fase ini dikenal dalam terminologi ulum al-Quran sebagai Makkiyyah dan Madaniyyah. Para ahli tafsir merumuskan Makkiyyah adalah ayat-ayat yang diturunkan ketika Nabi masih berada di Mekah. Sebagian ulama membaginya berdasarkan aspek waktu, yakni Makkiyyah adalah ayat-ayat yang diturunkan sebelum Nabi hijrah, pindah ke Madinah. Sedangkan Madaniyah adalah ayat-ayat yang diterima Nabi ketika berada di Madinah atau sesudah hijrah. Pandangan yang lebih tajam, teks tidak semata-mata dilihat dari soal tempat atau waktu turunnya, tetapi pada kondisi audien, penerima, atau pembacanya. Teori tentang ayat-ayat Makkiyyah dan Madaniyyah dengan beragam definisi di atas, pada intinya memperlihatkan bahwa teks-teks Alquran di arahkan pada dua konteks sosial dan audien yang berbeda. Sekaligus berada pada konteks perkembangan risalah yang sedang berjalan guna merespon dan mengatasi problem-problem sosial yang dihadapi. Menurut para ulama teks-teks Makiyyah pada umumnya menekankan tentang ketauhidan kemahaesaan Tuhan dan nilai-nilai kemanusian universal seperti kesetaraan manusia, keadilan, kebebasan, pluralitas, dan penghargaan terhadap martabat manusia. Para ulama Alquran mencirikan pesan risalah periode Makkiyyah, meskipun tidak seluruhnya, dengan misalnya penggunaan kata sapa “ya ayyuha al- Naas” hai manusia; atau “ya Bani Adam” hai anak Adam; dan “kalla” tidak begitu. Teks-teks Alquran pada periode ini dapat dikatakan mengandung gagasan-gagasan yang progresif dan revolusioner. Berbeda dengan di Mekah, audien masyarakat di Madinah, adalah masyarakat yang pada umumnya sudah menganut agama langit samawi seperti Yahudi dan Nasrani, di samping mereka yang telah beriman kepada Nabi Muhajirin dan Anshar. Ayat-ayat Madaniyyah pada umumnya berisi ayat-ayat yang menetapkan aturan-aturan yang lebih rinci, lebih spesifik dan partikular yang menyangkut problem-problem aktual yang dihadapi masyarakat Madinah. Beberapa di antaranya tentang hukum-hukum personal, hukum keluarga famili law, dan aturan-aturan tentang kehidupan bersama dalam masyarakat plural yang telah terbentuk di sana. Ciri-ciri surah atau ayat Madaniyah dapat dikenali antara lain melalui penyebutan kata sapa “ya ayyuhallazdina amanu” wahai orang-orang yang beriman; atau ayat yang berbicara tentang orang-orang munafiq; dan lain-lain. Di sini kita melihat dengan jelas bahwa ayat-ayat Madaniyah menunjukkan pesan-pesan kepada masyarakat plural dari sisi keyakinan, aturan-aturan yang menyangkut urusan-urusan dalam kehidupan praktis, hukum-hukum keluarga dan hudud pidana. Beberapa contoh ayat/surah Madaniyah adalah al-Nisa [4]; al-Nur [24]; al-Ahzab [33]; al-Thalaq [65]; dan lain-lain. Dalam surah-surah ini Alquran membicarakan secara cukup detail tentang sejumlah isu perempuan seperti perkawinan, perceraian, waris, dan yang berkaitan dengan relasi laki-laki dan perempuan lainnya. Penyebutan ciri-ciri di atas –Makiyyah maupun Madaniyyah- diakui para ahli tafsir tidak berlaku menyeluruh pada semua ayat melainkan sebagai ciri-ciri umum saja. Hal ini karena ada ayat-ayat yang menggunakan ciri di atas, misalnya ciri ayat makkiyyah dengan penggunaan kata sapa “ya ayyuha al-Nas”, tetapi diturunkan sesudah hijrah madaniyyah. Boleh jadi hal ini terjadi terkait dengan upaya mengembalikan kesadaran audien tentang pentingnya mendasarkan aturan-aturan sosial pada prinsip-prinsip kemanusiaan universal yang menjadi tujuan agama. Kenyataan sejarah Alquran ini penting dikemukakan agar dapat dipahami bahwa kitab suci ini berdialog secara dinamis dan akomodatif, bernegosiasi dan melakukan interaksi dengan akal dan psiko-sosial masyarakat Arabia pada abad ke 7 H dan dengan subyek audien yang tidak tunggal. Pada sisi lain, historisitas teks-teks Alquran juga muncul dalam pengakuan para ulama tentang teori Nasikh-Mansukh. Ia adalah terminologi yang biasa digunakan oleh para ahli tafsir untuk menunjukkan adanya ayat-ayat yang membatalkan nasikh dan ayat-ayat yang dibatalkan mansukh. Teori ini dimunculkan oleh karena adanya ayat-ayat yang dianggap saling bertentangan, berdasarkan pemahaman literalnya, yang tidak mungkin lagi dapat dikompromikan. Jika ini yang terjadi, maka menurut teori ini ayat-ayat yang diturunkan belakangan nasikh membatalkan ayat-ayat sebelumnya mansukh. Sebagai contoh yang biasa dikemukakan para ulama misalnya adalah persoalan iddah masa menunggu bagi perempuan yang bercerai dari suaminya karena meninggal dunia. Salah satu ayat Alquran menunjukkan bahwa perempuan tersebut harus menunggu di rumah selama satu tahun. Sesudah itu dia bisa bergerak bebas, termasuk untuk menikah lagi. al Baqarah,[2240. Sementara ayat yang lain menyebutkan bahwa masa menunggu iddah perempuan tersebut adalah empat bulan sepuluh hari al Baqarah, 234. Para ulama memandang bahwa ayat yang kedua ini empat bulan sepuluh hari, meskipun secara urutannya dalam mush-haf disebut lebih dahulu, adalah menghapus nasikh terhadap ayat yang kedua satu tahun. Para ulama menyebut penghapusan ini sebagai “naskh al hukm duna al tilawah” menghapus hukumnya, bukan menghapus bacaan/tulisannya. Al Zarkasyi, Al Burhan fi Ulum Alquran, II/37-38. Teori nasikh-mansukh dengan pengertian pembatalan hukum teks yang satu terhadap teks yang lain, dikritik oleh sebagian ulama. Menurut mereka pengertian nasikh-mansukh seperti ini menghadapi problem serius, karena hal itu berarti mengabaikan keabadian, keutuhan dan ketiadaan kontradiksi antara teks-teks Alquran. Problem lain adalah bagaimana halnya dengan fakta pengumpulan Alquran dalam mushaf yang sudah disepakati para sahabat Nabi dan dinyatakan sebagai utuh?. Mana saja dan berapa banyak ayat-ayat nasikh-mansukh, juga merupakan problem kontroversial di kalangan ulama sendiri. Sejauh seseorang pembaca mampu mengatasi ayat-ayat yang dipandang kontradiktif, maka kemungkinan terjadinya naskh pembatalan perlu dipertanyakan. Pandangan lain berpendirian bahwa apa yang dikesankan sebagai naskh sebenarnya adalah penundaan sementara pemberlakuannya, oleh karena situasi konkrit masyarakat yang dihadapi telah berubah dan berkembang. Menurut pandangan ini kesan adanya dua ayat yang bertentangan dapat diselesaikan melalui cara pandang historisitas teks atau pembacaan kontekstual. Hal ini merupakan pandangan yang wajar saja, mengingat bahwa ayat-ayat Alquran diturunkan secara bertahap, dalam ruang dan waktu sosial yang berbeda, audien yang berbeda-beda dan tingkat kemajuan yang berbeda pula. Jadi adalah wajar bahwa keputusan hukumnya berbeda. Dengan demikian, maka istilah naskh, dengan arti penghapusan atau pembatalan lebih tepat dipandang sebagai penundaan belaka, oleh karena konteks realitas sosial yang tidak memiliki relevansi untuk diimplementasikan. Terlepas dari kontroversi mengenai teori nasikh-mansukh di atas, kenyataan tersebut menunjukkan dengan jelas, bahwa seluruh ulama mengakui adanya dimensi historisitas teks-teks Alquran. Dengan kata lain teori ini sesungguhnya menunjukkan adanya kehendak perubahan hukum dari satu waktu ke waktu yang lain dan dari satu ruang ke ruang yang lain. Al Zarkasyi, mengatakan bahwa naskh merupakan penjelasan tentang masa keberlakuan hukum. al Burhan, II 30. Sepanjang teks-teks Alquran diarahkan kepada manusia yang hidup dalam sejarah, maka ia terlibat dalam dinamika sosial. Selain teori naskh, para ulama menyatakan bahwa ayat-ayat Alquran tidak diturunkan begitu saja, tetapi mempunyai Asbab al Nuzul, atau latarbelakang peristiwanya masing-masing. Kenyataan ini semakin mengukuhkan bahwa ayat-ayat Alquran menjawab peristiwa-peristiwa temporal yang muncul pada saat itu. Para ulama juga telah menyatakan bahwa kebertahapan Alquran yang berlangsung selama sekitar 23 tahun mengandung arti bahwa surat-surat atau ayat-ayat dalam Alquran berkaitan dengan serangkai peristiwa-peristiwa yang bersifat temporal. Pengetahuan tentang asbab an-nuzul adalah sesuatu yang niscaya bagi para pengkaji Alquran, sebab tanpa ini mereka bisa terjebak pada kesalahpahaman, kesulitan-kesulitan dan kontradiksi-kontradiksi dan dapat mengakibatkan konflik. Perlu segera dijelaskan bahwa historisitas ayat-ayat Alquran di atas tidaklah harus dipahami bahwa Alquran hanyalah terbatas untuk komunitas Arabia pada saat ia diturunkan, dan karena itu tidak berlaku dan bersifat universal. Sebab pada setiap ayat selalu tersedia, baik secara eksplisit maupun implisit, alasan dan maksud di balik solusi dan aturan-aturannya, yang dari situ dapat ditarik prinsip-prinsip umumnya. Di sini seorang pembaca Alquran dituntut untuk bisa menggali tujuan moral dan nilai-nilai universalitasnya. BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Dari uraian di atas maka penulis dapat menarik berbagai poin kesimpulan yang merupakan intisari dari pembahasan ini, yaitu Al-Qur’an merupakan dasar-dasar para sufi dalam bertasawuf kedudukannya sebagai ilmu tentang tingkatan maqam dan keadaan ahwal. Selain Al-Qur’an dan Hadis juga merupakan landasan dalam tasawuf sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rasulullah di Gua Hira yakni tafakkur, beribadah, dan hidup sebagai seorang zahid, Beliau hidup sangat sederhana, terkadang mengenakan pakaian tambalan, tidak makan dan minum kecuali yang halal, dan setiap malam senantiasa beribadah kepada Allah SWT. Dikalangan para sahabat juga banyak yang mempraktekkan tasawuf sebagaimana yang dipraktekkan oleh Nabi Muhammad SAW. Untuk menjadi seorang sufi kita harus bisa meninggalkan segala yang menyangkut dengan sifat kebendaan dan senantiasa bertaubat serta mendekatkan diri kepada-Nya untuk mencapai ridha Allah SWT. DAFTAR ISI DAFTAR ISI………………………………………………………………………………………………. BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………………………………… BAB II PERMASALAHAN……………………………………………………………………………………… BAB III PEMBAHASAN………………………………………………………………………………………….. Pengertian Tasawuf …………………………………………………………………………….. Dasar-dasar Qur’ani Tentang Ilmu Tasawuf……………………………………………… Ayat Al-Qur’an tentang Tasawuf secara eksplisit…………………………………. Ayat Al-Qur’an tentang Tasawuf secara implisit…………………………………… Dasar-dasar Hadist Tentang Ilmu Tasawuf Hadist tentang Tasawuf secara eksplisit……………………………………………… Hadist tentang Tasawuf secara implisit……………………………………………….. Kiat-kiat menentukan ayat eksplisit dan implisit………………………………… BAB IV PENUTUP Kesimpulan……………………………………………………………………………………….. Kritik dan Saran ………………………………………………………………………………… DAFTAR PUSTAKA DAFTAR PUSTAKA Anwar, Rosihon dan Mukhtar Solihin. Ilmu Tasawuf, Bandung Pustaka Setia, 2006. Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung Diponegoro, 2005. Rahmat, Jalaluddin. Meraih Cinta Ilahi ; Pencerahan Sufistik, BandungRemaja Rosdakarya, 2001. Sayyid Abi Bakar Ibnu Muhammad Syatha, Missi Suci Para Sufi, Yogyakarta Mitra Pustaka, 2002. Shayk Ibrahim Gazuri Ilahi, Anal Haqq, Jakarta Raja Grafindo Persada, 1996. Shihab, Quraish. Tafsir al-Misbah, Jakarta Lentera Hati, 2001. [1] Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, Bandung Pustaka Setia, 2006, [2] Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved. Minggu, 24 Februari 2008 [3] Ibid., hlm. 122. [4] Al-Maidah 54 [5] Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Jakarta Lentera Hati, 2001, hlm. 121. [6] At-Tahrim 8 [7] Jalaluddin Rahmat, Meraih Cinta Ilahi ; Pencerahan Sufistik, Bandung Remaja Rosdakarya, 2001, hlm. 8. [8] Al-Baqarah 115 [9] Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin, hlm. 19. [10] Al-Baqarah 186 [11] Qaf 16 [12] Rosihin Anwar dan Mukhtar Solihin, hlm. 21. [13] An-Nisa’ 77 [14] At-Thalak 3 [15] Ibrahim 7 [16] Al-Baqarah 155 [17] Al-Maidah 119 [18] Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin, hlm. 26. [19] Shayk Ibrahim Gazuri Ilahi, Anal Haqq, Jakarta Raja Grafindo Persada, 1996, hlm. 152. [20] Sayyid Abi Bakar Ibnu Muhammad Syatha, Missi Suci Para Sufi, Yogyakarta Mitra Pustaka, 2002, hlm. 78. [21] Ibid., hlm. 80. [22] Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin, hlm. 26.
113Ayat-ayat tentang Relasi Laki-laki dan Perempuan dalam Al-Qur'an Al-Ah}wa >l, Vol. 8, No. 2, 2015 M/1437 H Levi-Strauss6, sebuah upaya untuk mengetahui jaring-jaring relasi dalam narasi, baik relasi tersebut bersifat sintagmatik maupun paradig- matik, untuk mengetahui hidden message atau pesan terdalam (tersembunyi) yang terdapat. Apr 29, 2020 · Berdasarkan ayat-ayat di atas, dapat kita

The conclusion of this thesis is to create integrity and honesty for modern humans, it can be through a means of understanding that is to know God Almighty and always feel His presence. The achievement stage of makri-fat which is the existence of Allah SWT, does not occur suddenly without going through a long and winding process, because the meaning of Allah SWT is only possible with an effort that is truly serious in claiming it. According to Hamka, the light of Divine guidance bounces into the light of the heart which has escaped temptation. In addition to such piety, there is wasila, namely the ways and ways to get closer to God, namely to increase the acts of worship, to do good, to uphold high mind, to be compassionate towards fellow human beings. Increasing a lot of good deeds, it will get closer to the pleasure of God. Wasilah is the effort of each person’s charity with his own business Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Mumtäz Vol. 2 No. 1, Tahun 201857WACANA UTAMAMAKRIFAT DALAM AL-QUR’ANStudy atas Tafsir Al-AzharNurbaety MustaheleAlumni Magister Ilmu Al-Quran dan Tafsir Program Pascasarjana Intitut PTIQ JakartaAbstract e conclusion of this thesis is to create integrity and honesty for modern humans, it can be through a means of understanding that is to know God Almighty and always feel His presence. e achievement stage of makri-fat which is the existence of Allah SWT, does not occur suddenly without going through a long and winding process, because the meaning of Allah SWT is only possible with an eort that is truly serious in claiming it. According to Hamka, the light of Divine guidance bounces into the light of the heart which has escaped temptation. In addition to such piety, there is wasila, namely the ways and ways to get closer to God, namely to increase the acts of worship, to do good, to uphold high mind, to be compassionate towards fellow human beings. Increasing a lot of good deeds, it will get closer to the pleasure of God. Wasilah is the eort of each person’s charity with his own Al-Qur’an, Tafsir al-Azhar, PendahuluanAl-Qur’an merupakan mukjizat yang diturunkan oleh Allah SWT kepa-da Nabi Muhammad saw untuk digunakan sebagai petunjuk dalam kehidupan dan untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju jalan yang terang, ser-ta membimbing mereka kejalan yang lurus hingga akhir Sebagai petun-juk dari Allah SWT tentulah isi al-Qur’an tidak akan menyimpang dari Sunatul-lah hukum alam sebab alam merupakan hasil perbuatan Allah sedangkan Al-Qur’an adalah merupakan hasil rman Allah SWT. Karena Allah SWT bersifat 1 Mudakkir AS, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Bogor Pustaka Lintera Antar Nusa, cet. 10, 2007, hal. 1 Mumtäz Vol. 2 No. 1, Tahun 201858Maha segala-galanya, maka tidaklah mungkin rman Allah SWT tidak sejalan dengan perbuatan-Nya sunnatullah.Manusia diciptakan oleh Allah satu sama lain diberi kele-bihan dan kekurangan, yang semuanya merupakan cobaan satu sama lainnya di muka bumi. Islam datang untuk mengatur semua urusan manusia, membentuk pribadi penganutnya, membimbing para pemeluknya bagaimana mendekat diri kepada Allah yang dihadapi oleh umat Islam di era modern ini adalah masalah ketakwaan kepada Allah swt yang belum mereka pahami secara men-dalam, karena mereka tidak memakai akalnya. Karena akallah yang dapat men-bedakan antara baik dan buruk, akal yang dapat mengajak-ajak segala sesuatu yang dituju dalam perjalanan hidup takwa adalah pelaksanaan dari iman dan amal saleh, dan diartikan juga dengan takut kepada Allah swt yang berkembang dewasa ini sudah tidak ada lagi. Seperti orang yang diberikan amanah tidak takut atau malu, yang mana mereka korupsi3 dan tidak menggunakan akal sehatnya, yang mereka kir bagaimana cara untuk mendapatkan apa yang menjadi kehendak mereka supaya bahagia. Ketaatan mereka kepada Allah sudah tidak ada, apakah mengambil hak orang lain itu dosa atau tidak, itu sudah tidak terpikirkan akal menurut Al-Qur’an dan Hadits, rman Allah pada surat al-Maidah ayat 16, menegaskan, “Dia akan mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya, dengan izin-Nya”.Kegelapan ialah pendirian atau kepercayaan yang tidak sesuai dengan juga cahaya ialah apabila akal telah terpimpin menuju kebenaran sehingga itu sendiri ada-lah itu dapat tercapai dengan izin saw bersabda, Wahai manusia, carilah pengetahuan dari Tu-hanmu dan saling berwasiatalah kalian dengan akal. Dengan ilmu, niscaya ka-lian akan mengetahui apa yang diperintahkan kepadamu dan apa yang dilarang bagimu. Ketahuilah bahwa yang disebut orang berakal adalah orang yang tun-duk-patuh kepada Allah walaupun wajahnya buruk, tubuh pendek, pangkatnya rendah dan bentuknya tak bodoh adalah tidak tunduk kepada 2 Hamka, Tafsir Al-Azhar jilid 1, Depok Gema Insani, 2015, hal. 983 Korupsi, Penjelasan pasal 1 UU Tahun 1971, menyatakan bahwa perbuatan korupsi merupakan perbuatan”yang mempergunakan kekuasaan atau pengaruh yang melekat pada seorang pegawai negeri atau kedudukan istimewa yang dipunyai seseorang di dalam jabatan umum yang secara tidak patut atau menguntungkan diri sendiri maupun orang yang menyuap” UU No. 3 Tahun 1971 tentang “Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”. Soewatojo, Juniadi, Korupsi, Jakarta Restu Agung 1995, Hamka, Tafsir Al-Azhar jilid 2, Depok Gema Insani, 2015, hal. 644 Mumtäz Vol. 2 No. 1, Tahun 201859Allah meskipun rupanya cantik, tubuhnya tinggi, penampilannya menarik dan bicaranya fasih, Dia yang tidak patuh kepada Allah tidak berakal dan cerdas da-ripada kera atau kalian begaul dengan mereka yang tertipu oleh penghormatan penduduk saw bersabda”Para Malaikat bersungguh-sungguh dan tekun dalam taat kepada Allah dengan akal mereka. Dan orang beriman di antara Bani Adam bersungguh-sungguh dan tekuan sesuai dengan kadar akalnya. Orang yang paing taat kepada Allah adalah orang yang paling sempurna Al-Qur’an tentang makrifat, rman Allah pada ayat 53 surat Yusuf, yang artinya” Sesungguhnya nafsu itu selalu memerintahkan kepada yang jelek”Hamka menafsirkan ayat tersebut, dikatakan bahwa nafsu manusialah yang selalu mendorongnya hingga kadang-kadang tergelincir dalam meniti hi-dup,”Kecuali orang yang dikasihani oleh Allah”.Hanya orang-orang yang dikasi-hani Allah, yang diberi petunjuk dan hidayah, orang semacam itulah yang terle-pas dari rangsangan hawa inilah merupakan rasa takut yang harus membentengi diri kita agar tidak terjatuh ke lobang yang penuh duri, serta mengkokohkan kita agar tidak terseret hawa makrifat dalam Al-Qur’an, yang mana bertujuan untuk mendekatkan diri sedekat mungkin dengan Allah swt, Sehinnga ia dapat melihat dengan mata ini telah ditegaskan pada surat Adz-Dzariyat ayat Aku tidak menciptakan jin dan manusia melaikan supaya mereka beribadah dalam memberikan penafsiran pada ayat di atas, di sinilah Allah menjuruskan hidup kita, memberi kita pengarahan. Allah menciptakanjin dan manusia tidak untuk yang lain, hanya untuk satu macam tugas saja, yaitu men-gabdi, beribadah. Beribadah, yaitu mengakui bahwa kita ini hamba-Nya, tunduk kepada Imam Al-Ghazali, Ihya’Ulumuddin, Menghidupkan Ilmu-ilmu Agama, Bandung Pener-bit Marja, 2016, hal. 526 Hamka, Falsafah Hidup, Singapura Pustaka Nasional PTE LTD, 1995, hal. 557 Hamka, Tafsir Al-Azhar jilid 4, Depok Gema Insani, 2015, hal. 6998 Hamka, Tafsir Al-Azhar jilid 8, Depok Gema Insani, 2015, hal. 500 Mumtäz Vol. 2 No. 1, Tahun 201860Ibadah itu diawali dengan iman, berarti berkeyakinan penuh bahwa Al-lah segala sesuatu sekaligus pula yang berhak di-sembah dan di manusia diciptakan untuk mengenal tidak men-genal Allah, maka bagaimana hendak menyembah-Nya, memujinya dan mohon permasalahan tersebut diatas, penulis akan mengangkat ju-dul tesis MAKRIFAT DALAM AL-QUR’AN STUDY TAFSIR AL-AZHARB. Diskursus Makrifat Dalam Islam1. Pengertian MakrifatArti makrifat dalam kamus bahasa Indonesia Adalah tingkat penyera-han diri kepada Tuhan, yang naik setingkat demi setingkat sehingga sampai ke-tingkat keyakinan yang lebih makrifatullah adalah kemampuan untuk mengenal makrifatullah berasal; dari kata arafa, ya’rifu’, irfatan, berarti me-ngetahui, mengenal,10 atau pengetahuan Orang yang mempunyai makri-fat disebut terminology makrifat berarti mengenal dan mengeta-hui berbagai ilmu secara rinci, atau diartikan juga sebagai pengetahuan atau pe-ngalaman secara langsung atas realita Mutlak sering digunakan untuk menujukan salah satu maqam tingkatan atau hal kondisi psikologis dalam karena itu, dalam wacan sustik, makrifat diartikan seba-gai pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati sanubari. Dalam tasawuf upaya penghayatan makrifat kepada Allah SWT Makrifatullah menjadi yang sangat pasti tentang al-Khaliq Allah yang diperoleh dari hati adalah hadirnya al-Haq sementara kalbunya selalu berhubungan erat dengan istilah ini dirumuskan denisinya oleh beberapa Ulama Ta-sawuf, antara lain9 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta Balai Pustaka, 2001, hal 70310 Ahmad Warsono Munawir, Kamus al-Munawir, Surabaya Pustaka Progresif, 2002, ha. 91911 Totok Junarto dan Samsul Munir, Kamus Ilmu Tasawuf, Jakarta Amzah, 2005, ha. 13912 Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta Pustaka Panji Mas, 1993, ha. 10313 Syihabudin Umar ibn Muhammad Suhrawardi, Awar if , Sebuah Buku Daras Klasik Ta-sawuf, Terj. Iman Nugrahani Ismail, Bandung Pustaka Hidayah, 1998, hal. 105 Mumtäz Vol. 2 No. 1, Tahun 201861a. Imam Al-Ghazali, mengatakan makrifatullah adalah orang-orang yang te-lah mencapai derajat ruhani yang sudah sangat tinggi seringkali kata-ka-tanya berada di luar batas akal dan logika manusia, tidak dapat dipahamioleh akal kebanyakan orang. Boleh jadi ia akan disebut “gila’ bahkan “kufur”oleh orang awam. Seorang yang sudah mencapai makrifatullah yaitu telahmemperoleh pengetahuan ilahiah, adalah melihat wajah-Nya, dan bertemudengan-Nya. Maka tatkala ia telah berhasil mencapai tingkat maqam sepertiini, maka ia tidak akan merasakan panas api yang membakar jika dilempar-kan ke dalam api yang menyala. Bagaimana mungkin seorang cinta duniapercaya dengan hal ini yang demikian jika ia tenggelam dan sibuk dengankenikmatan dan kelezatan Abubakar Aceh menjelaskan arti makrifat itu ialah pengetahuan mengeta-hui sesuatu dengan seyakin-yakinnya. Makrifatullah sebenarnya dapat diar-tikan dengan tepat mengenal Allah, kenal kepada-Nya, mengenal zat-Nyadan asma-Nya. Kemudian arti makrifat itu diperluas demikian rupa, sehin-nga perkataan ini merupakan suatu istilah ilmiah dan satu pokok pembica-raan yang ramai dalam kalangan ahli safat, ahli akhlak, ahli ilmu kalamdan tauhid dan ahli su atau tasawuf. Ada yang mengemukakan, bahwamakrifat itu dicapai dengan akal, dan ada pula yang berpendapat bahwatujuan terakhir, ghayat, ialah makrifatullah yaitu mengenal Tuhan dengansebenar-benarnya, karena, kata farabi, lsafat itu ialah mengetahui wujudhaq, dan wujud haq itu ialah wajibul wujud dengan zat-Nya, dan wajibulwujud itu adalah Allah Yang Satu Makrifat menurut Abdul Qadir al-Jailani adalah, tidak dapat dibeli atau di-capai melalui usaha manusia. Makrifat adalah anugrah dari Allah seseorang berada pada tingkat makrifat, maka akan mengenal memperkenalkan rahasia-Nya kepada mereka yang apabila hati me-reka hidup dan sadar melalui zikrullah. Dan hati memiliki bakat, hasrat dankeinginan untuk menerima rahasia Menurut Tgk H. Abdullah Ujong Rimba, makrifat dalam pandangan suadalah mengetahui bagaimana bagaimana hakikat Allah yang su membagi ilmu mereka kepada empat bagian yaitu, ilmu syariat,ilmu thariqat, ilmu hakikat, dan ilmu menurut Rabiahal-Adawiyah, makrifat ilmu rohani, adalah agar engkau palingkan mukamu14 Imam Al-Ghazali, Ihya’Ulumuddin, Menghidupkan Ilmu-ilmu Agama, Bandung Pener-bit Marja, 2016, hal. 30715 Abu Bakar Aceh, Pengantar sejarah Su dan Tasawuf, Solo CV Ramadhani, 1987, hal. 67-6816 Syekh Abdul Qadir al-Jailani, Rahasia Su, Cet. 1, Yogyakarta Pusaka Su, 2004, hal. 10217 Tgk. Abdullah Ujong Rimba, Ilmu arekat dan Hakikat, Banda Aceh,, 1975, hal. 47-48 Mumtäz Vol. 2 No. 1, Tahun 201862dari makhluk agar engkau dapat memusatkan perhatiannu hanya kepada Allah saja, karena makrifat itu adalah mengenal Allah dengan mencapai kedekatan dengan Allah SWT yakni dengan melepas-kan dirinya dari hawa nafsu atau keinginan-keinginan yang bersifat duniawi dan juga melakukan intensitas ubudiyah’ yang semua itu ditujukan kepada Al-lah SWT. dengan penuh perasaan rendah diri dan semata-mata tunduk itu diawali dengan iman, berarti berkeyakinan penuh bahwa Al-lah segala sesuatu sekaligus pula yang berhak di-sembah dan manusia diciptakan untuk mengenal kita tidak mengenal Allah, maka bagaimana kita hendak menyembah-Nya, memujinya dan mohon permasalahan tersebut diatas, penulis akan mengangkat ju-dul tesis MAKRIFAT DALAM AL-QUR’AN STUDY TAFSIR Kerangaka pemikiran1. MakrifatAbu Bakar Aceh menjelaskan arti makrifat itu ialah pengetahuan, me-ngetahui sesuatu dengan sebenarnya dapat diartikan dengan tepat mengenal Allah, kenal kepada-Nya mengenai zat-Nya dan asma-Nya. Kemudian arti makrifat itu diperluas demikian rupa, sehinnga perkataan ini merupakan suatu istilah ilmiayah dan satu pokok pembicaraan yang ramai dalam kalangan ahli lsafat, ahli akhlak, ahli ilmu kalam dan tauhid dan ahli su atau tasauf. Ada yang mengemukakan, bahwa makrifat itu dapat dicapai denga akal, dan ada pula yang berpendapat bahwa tujuan terakhir, ghay-atul ghayat, ialah makrifatullah yaitu mengenal Tuhan dengan sebenar-benar-nya, karena, kata farabi, lsafat itu ialah mengetahui wujud haq, dan wujud hag itu ialah wajibul wujud dengan zat-Nya, dan wajibul wujud itu adalah Allah Yang Satu Rabi’ah al-Adawiyah, Mahabbah cinta, terj. Asfari MS &Otto Sukatni CR, Cet,V, Yog-yakarta Yayasan Bintang Budaya, 1999, hal. 10619 Mir Valiuddin, Tasawuf dalam Al-Qur’an, Terj. Tim Penerjemah Pustaka Firdaus, Jakar-ta Pustaka Firdaus, 2002, hal. 2020 Abu Bakar Aceh, Pengantar Sejarah Su dan Tasawwuf, Solo CV Ramadhani, 1987, hal. 67-68 Mumtäz Vol. 2 No. 1, Tahun 201863Menurut Hamka, makrifat pada Allah terbagi atas tiga tingkatan. Tingkatan yang paling tinggi, tingkatan menengah dan tingkatan paling tingkat makrifat yang paling tinggi itulah yang telah dicapai oleh nabi-nani, orang-orang Siddik yang digelari Waliullah, dan Syuhada yang telah mengorbankan jiwanya dalam mempertahankan agama kesung-guhan orang itu mencari dan mengusahakan, maka terbukalah baginya hijab. Hal ini telah ditegaskan dalam Surat al-Ankabut/29 69Dan orang-orang yang berjihad untuk mencari keridhaan Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan se-sungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baikBeliau menjelaskan, lantaran mereka tiada bosan mencari, bertemulah jalan pimpinan dari Nur Ilahi tidak ada syak, ti-dak ada ragu di dalam hatinya di dalam menempuh jalan makrifat yang kedua, atau pertengahan ialah yang dapat dengan jalan Zhan yang ditafsirkan oleh ahli loghat dengan yakin, meskipun belum sampai kepada derajat yakin yang sejati. Hal ini telah ditegaskan dalam Surat Al-Baqarah/246        yaitu orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhan-nya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-NyaAhli Sunnah mengartikan, bahwa jalan untuk mencapai makrifat itu ti-dak lain daripada mengetahui dan memengang sungguh-sungguh kepada Al-Qur’an dan Hadist, yang kemudian membawa seseorang kepada makrifatullah yang sebenar-benarnya. Ali bin Abi alib menerangkan, bahwa makrifatullah itu merupakan pangkal segala Su mempunyai pengertian tesendiri yang lebih menda-lam tentang makrifat yang lebih penting baginya ialah hakikat, makrifat hanya merupakan suatu perantaraan. Bagi orang Su tiap jiwa yang bersih akan dapat mencapai makrifatullah. Orang Su menempuh jalan zaug, 21 Hamka, Falsafah Hidup, Singapura Pustaka Nasional, 1995, hal. 65 Mumtäz Vol. 2 No. 1, Tahun 201864rasa, dan qalb, hati, sedang usaha luar hanya dapat menyampaikan manusia ke-pada makrifatu zauq, makrifat rasa dan TasawufArti tasauf dan asal katanya menjadi pertikaian ahli-ahli logat. Seten-gahnya berkata bahwa perkataan itu diambil dari perkataan “shifa “, artinya suci kilat setengahnya dari perkataan” shuf ” artinya bulu bina-tang, sebab orang orang memasuki tasauf itu memakai baju dari bulu binatang, karena benci mereka kepada pakaian yang indah-indah, pakaian” dunia” kata setengahnya diambil dari kaum “shuf-fa”, ialah segolongan sahabat-saha-bat Nabi. Kata setengahnya pula dari perkataan “Shufanah”, ialah sebangsa kayu mersi tumbuh di padang pasir Arab. Tetapi setengah ahli bahasa Yunani lama yang telah di-Arabkan. Aslnya”theosoe’ artinya “ Ilmu ke-Tuhanan”, kemudia di Arabkan dan ucapakan dengan lidah orang Arab sehinnga menjadi “ tasauf”.23Argumen Hamka tentang tasauf adalah salah satu safat Islam, yang maksudnya bermula ialah hendak zuhud dari pada dunia yang fana. Tetapi lan-taran banyaknya bercampur-gaul dengan negeri dan bangsa lain, banyak sedi-kitnya masuk jugalah pengajian agama dari bangsa lain itu kedalamnya. Karena tasauf bukanlah agama, melaikan suatu ikhtiar yang setengahnya diizinkan oleh agama dan setengahnya pula tidak sadar, telah tergelincir dari agama, atau terasa enaknya pengajaran agama lain dan terikut dengan tidak adalah ilmu yang identik dengan persoalan alam hakekat, gaib, mistik, metasik atau alam suprarasional. Ini bukan merupakan asumsi di luar kontek Islam tetapi belandaskan Al-Qur’an pada surat al-Baqarah/223  Kitab Al Quran ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa        yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan sha-lat, dan menaahkan sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka22 Abu Bakar Aceh, Pengantar Sejarah Su dan Tasawwuf, Solo CV Ramadhani, 1987, hal. 6923 Hamka, Tasauf Moderen, Medan Yayasan Nurul Islam, 1939, hal. 17 Mumtäz Vol. 2 No. 1, Tahun 2018653. HamkaHamka merupakan nama singkatan dari Haji Abdul Malik Karim. Nama ini nama sesudah beliau menenunaikan haji pada tahun 1927 dan mendapat tambahan Haji. Beliau dilahirkan di sebuah desa bernama Tanah Sirah, dalam Nagari Sungai Batang, di tepi danau Maninjau, Sumatera Barat, pada 17 Februa-ri 1908 14 Muharram. Ayahnya ialah Ulama Islam terkenal, yaitu Haji Rasul pembawa faham-faham Pembaruan Islam di ibunya bernama Shayah binti Bagindo Nan beliau berusia 7 tahun, oleh ayahnya dimasukkan sekolah desa dan malamnya belajar mengaji Qur’an dengan ayahnya sendiri hingga khatam. Pada tahun 1916 belajar disekolah Diniyah Putra dan pada tahu 1918 beliau be-lajar juga di awalib School. Pagi hari Sekolah Desa, sore belajar di Sekolah Diniyah, dan malam harinya berada di surau bersama-sama meru-pakan aktitas harian seorang Hamka di masa kecilnya dan ini juga merupakan keinginan ayahnya agar kelak anaknya menjadi ulma seperti tahun 1958 ke Lahore untuk menghadiri Konferensi Islam, dan menghadiri undangan Universitas Al-Azhar di Kairo untuk memberikan cera-mah tentang, “Pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia”. Ceramah tersebut menghasilkan gelar Doktor Honorius Causa bagi tahun 1974 beliau juga mendapat gelar “DR” dari Malaysia dalam Kesusteraan di tahun 1962 Hamka mulai menfsirkan Al-Qur’an dengan judul “Tafsir Al-Azhar”.Dan tafsir ini sebagian besar diselasikan selama di dalam taha-nan dua tahun tujuh bulan. Dalam sumber menafsirkan , tafsir al-azhar, beliau mengunakan tas bi al-ra’y tafsir melalui pemikiran ijtihat. Kemudian mengi-nakan metode Interprestasi Hamka Tentang ayat-ayat Makrifatullah1. Corak Tafsir HamkaTiap-tiap tafsir Al-Qur’an memberikan corak haluan dari pribadi pe-nafsirnya, demikian Hamka mengawali dalam Tafsir Al-Azhar, Hamka memelihara sebaik-baiknya hubungan antara naqal dengan akal, antara 24 Hamka, Tasauf Moderen, cet ke XIV, Jakarta Yayasan Nurul Islam, 1978, hal. 625 M. Yuman Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar, cet. Ke II, Jakarta Penama-dani, 2003, hal. 4026 Hamka, Tasauf Moderen, cet ke XIV, Jakarta Yayasan Nurul Islam, 1978, hal. 827 Mafri Amir dan Lilik Umni Kutsum, Literatur Tafsir Indonesia, Jakarta Lembaga Peneli-tian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011, hal. 169 Mumtäz Vol. 2 No. 1, Tahun 201866riwayah dengan dalam mengutip atau menukil pendapat, tidak semata-mata pendapat orang yang terdahulu, tetapi mempergunakan juga tin-jauan dan pengalaman pribadi. Menurut Hamka, suatu tafsir yang hanya menu-ruti riwayat atau naqal dari orang yang terdahulu berarti hanya suatu textbook thinking belaka. Sebaliknya, kalau hanya memperturutkan akal sendiri, besar bahayanya akan terpesona keluar dari garis tertentu yang digariskan agama, se-hingga dengan tidak disadari bisa jadi menjauh dari maksud Tafsir Al-Azhar menggunakan corak Adabi Ijtima’i sebagai pende-katan yang juga menggunakan metode pada Tafsir Al-Azhar, pada penulisannya tidak memakai satu paham madzhab, melaikan mencoba sedaya upaya mendekati maksud ayat, me-nguraikan makna dari lafaz bahasa Arab dalam bahasa Indonesia dan memberi kesempatan orang buat berkir. Hamka dalam Tafsir Al-Azhar, menjelaskan ayat bercorak sastra budaya kemasyarakatan adabi ijtimali menggunakan contoh-contoh yang ada ditengah masyarakat, baik masyarakat kelas atas, rakyat biasa, maupun seca-ra indiviidu, semuanya tergambar dalam Hamka yang bercirikan khas ke Indonesiaan, sebagai contoh pada surat Abasa ayat 31-32      “dan buah-buahan serta rumput-rumputan, untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu” QS. ’Abasa, ayat 31-32.Hamka menafsirkan ayat di atas dengan “Berpuluh macam buah-bua-han segar yang dapat dimakan oleh manusia, sejak dari delima, anggur, apel, berjenis pisang, berjenis mangga, dan berbagai buah-buahan yang tumbuh di daerah beriklim panas sebagai papaya, nenas, rambutan, durian, duku, langsat, buah sawo, dan lain-lain, dan berbagai macam rumput-rumput pula untuk ma-kanan binatang ternak yang dipelihara oleh manusia tadi”29Selanjutnya, Hamka juga menyajikan ayat di awal pembahasan secara membentuk sebuah kelompok ayat yang dianggap memiliki kese-28 Adabi adalah suatu corak tafsir yang menafsirkan ayat-ayat al-Quran yang me-ngungkapkan dari segi balaghah dan kemijizatannya, menjelaskan makna-makna dan susunan yang dituju oleh al-Qur’an mengungkapkanhukum-hukum alam dan tatanan-tatanan masyarakat yang dikandung Agil Husain al-Munawwar, I’jaz al-Qur’an dan Metodologi Tafsir, Sema-rang Dina Utama, 1994, cet. Ke-1, hal. 3729 Hamka, Tafsir Al-Azhar, jilid 9, hal. 503 Mumtäz Vol. 2 No. 1, Tahun 201867suaian tema untuk memudahkan penafsiran sekaligus memahami hal ini memang sesuai dengan tujuan Hamka menyusun Tafsir Al-Azhar yang ditujukan bagi masyarakat Indonesia agar lebih mudah dipaha-mi. Dalam tafsir ini, Hamka juga menjauhkan diri dari berlarut-larutnya dalam uraian mengenai pengertian kata, selain, hal itu dianggap tidak terlalu cocok untuk masyarakat Indonesia yang memang banyak yang tidak memahami ba-hasa Arab, Hamka menilai pengertian tersebut telah tercangkup dalam terje-mahannya. Walaupun demikian bukan berarti Hamka sama sekali tidak pernah menjelaskan pengertian sebuah kata dalam al-Qur’an. Sesekali penafsiran atas sebuah kata akan disajikan dalam Argumentasi Hamka tentang ayat-ayata. Ayat-ayat Makrifat antara lain;Firman Allah Surah Az-Zumar ayat 9                             ……“Katakanlah “Apakah akan sama orang-orang yang berpengetahuan de-ngan orang-orang yang tidak berpengetahuan?”Yang akan ingat hanya semata-mata orang-orang yang mempunyai akal budi.”QS. Az-Zumar, ayat 9Argumen Hamka tentang ayat tersebut menanyakan pertanyaan untuk menguatkan hujjah kebenaran. Pokok dari semua pengetahuan ialah mengenal Allah, Tidak kenal kepada Allah sama artinya dengan bodoh. Karena kalau pun ada pengetahuan, padahal Allah yang bersifat Mahatahu, bahkan Allah itupun benama Ilmun pengetahuan, samalah dengan dia tidak tahuakan ke mana diarahkannya ilmu pengetahuan yang telah didapatnya.Ali bin Abi alhah berkata menuturkan dai Ibnu Abbas ra berkait-an dengan rma-Nya, Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara ham-ba-hamba-Nya, hanyalah ulama.“Ia berkata, “Yaitu mereka mengetahui bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.”Juga dari Ibnu Abbas ra.,ia berkata.”Syarat bagi seseorang untuk dikata-kan alim tentang Allah Yang Maha Pengasih di antara hamba-hamba-Nya, ada-lah 1. Tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, 2. Menghalalkan apa yang Dia halalkan, 3. Mengharamkan apa yang Dia haramkan, 4. Menjaga dan 30 Mafri Amir dan Lilik Ummi Kultsum, Literatur Tafsir Indonesia, Jakarta Lembaga Pene-litian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011, hal. 171 Mumtäz Vol. 2 No. 1, Tahun 201868memelihara tuntunan atau wasiat-Nya, dan 5. Meyakini bahwa Dia akan men-jumpainyadan menghisab amal bin Jubair berkata, “ Rasa takutlah yang menghalangi antara dirimu dengan perbuatan maksiat kepada al-Bashri berkata, Seseorang yang alim adalah orang yang ta-kut kepada Allah Yang Maha Rahman meskipun dia tidak me-nyukai apa yang disukai oleh Allah, dan menahan diri dari apa yang dimurkai oleh-Nya, Kemudian al-Hasan al-Bashir membacakan ayat yang artinya“Sesung-guhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”.Firman Allah SuratAdz-Dzariyat, ayat 20-21 “Dan di dalam bumi itu, terdapat tanda-tanda bagi orang yang yakin. Dan di dalam dirimu sendiri. apakah tidak kamu pandang?.” QS. Adz-Dzariy-at, ayat 20-21Argumen Hamka mengenai ayat 20, Selalu kita dapati ayat 20 ini da-lam Al-Qur’an. Dengan mata memandang kealam sekeliling kita, terutama ke seluruh bumi tempat kita berdiamini, asal hati ada mempunyai rasa yakin akan terdapat di mana-mana bahwa Allah itu ada. Bumi penuh bukti-bukti yang men-cengang dan bumi mengandung logam-logam yang ma-hal, sejak dari emas dan perak buat perhiasan, tembaga buat alat penguncian, besi buat alat-alat itu di dunia terdapat pohon yang , kayu-kayuan itu membangun rumah rumah-rumah tempat tinggal, buat kapal-kapal buat menyeberangkan manusia menempuh jarak lautan yang jauh. Dan embusan angin, manusia diberi ilmu untuk memasang layar ayat 20 dan 21 tidak ada hubunganya, namun ini sesuai dengan ja-lan pikiran lsafat. Yakni,sesudah manusia menambah keyakinan karena mere-nungkan isi bumi, namun setelah melihat alam keliling bumi, manusia kembali melihat merenungkan siapakah dirinya sendiri, dari mana asalku, akan kemana pergiku. Diri berharga karena usaha dan jasa ketika hidup. - Yang menentukan nilai hidup ialah amal dan jasa, waktu masih hidup dahulu. Oleh sebab itu ayat 20 dan 21 ini menyuruh memikirkan dan merenungkan bumi yang ada dise-keliling yang penuh itu, pikirkanlah diri sendiri, siapa kita dan siapa aku. Apabila kita telah mengatur berkir cara demikian, niscaya akan Mumtäz Vol. 2 No. 1, Tahun 201869sampailah kita kepada suatu kesimpulan, “Segala sesuatu menjadi bukti bahwa Dia adala Esa.”31Inilah merupaka suatu bukti bahwa Allah itu manusia harus meyakinkan bahwa Allah itu hidup di dunia ini bukanlah kosong melompong tidak ada tujuan, melaikan ada Maha Pengatur yang di dalam lin-dungan dan kita kembali kealam akhirat dengan membawa amal dan jasa waktu masih Allah     “Cahaya di atas cahaya berlapis-lapis, Allah membimbing kepada ca-haya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpa-maan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” QS. An-Nur, ayat 35.M. Quraish Shihab menarkan ayat tersebut; Cahaya di atas cahaya yak-ni berlapis perumpamaan petunjuk Allah yang terbentang di alam raya ini dan yang diturunkannya melalui membimbing kepa-da cahaya-Nya siapa yan Dia kehendaki dan Allah membuat perumpamaan-pe-rumpamaan yang bersifat indriawi dan memaparkannya bagi manusia untuk memudahkan mereka memahami hal-hal yang abstrak dan Allah Maha Men-getahui segala sesuatu termasuk mereka yang mempersiapkan diri untuk mene-rima menjelaskan ayat tersebut; Nur atas di atas petunjuk dari Ilahi, memantul ke dalam cahaya hati yang telah lepas dari hebatnya Nur itu tidaklah aka nada artinya, kalau intan jiwa belum digosok terlebih dahulu hingga sanggup menerima cahaya. Pernahkah Anda bertanya kepada penggosok intan pula. Karena intan lebih keras daripada batu dan lebih keras daipada Allah yang telah didapat oleh hati yang ber-Nur, itulah dia Islam.“Allah memimpin kepada Nur-Nya itu barang siapa yang akhir ayat Allah member ingat lagi sekali lagi “Dan Allah mengadakan berbagai perumpamaan untuk Allah Maha Mengetahui akan tiap-tiap sesuatu.”Firman Allah31 Hamka, Tafsir Al-Azhar, jilid 8, hal. 48532 Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Jakarta Lentera Hati, 2002, jilid 8, hal. 549 Mumtäz Vol. 2 No. 1, Tahun 201870                      “Tidak ada jawaban lain bagi orang yang beriman, apabila mereka diajak kepada Allah dan Rasul-Nya supaya dilakukan hukum di antara mereka, hanya “Kami dengarkan ajaran itu dan kami patuhi.”Itulah orang-orang yang menang.”QS. An-Nur , ayat 51Hamka menafsirkan ayat tesebutAdapun orang yang beriman kepada Allah dan Rasul, apabila sekali saja datang kepadanya ajakan supaya segera di-jalankan sepanjang hukum Allah dan Rasul, maka dengan sikap yang tegak dan tangkas mereka menjawab,”Kami dengar perintah itu dan kami patuhi.”Itulah orang yang menang!, mengapa mereka menang? Mereka telah dapat memba-ngun keyakinan hidup, mereka telah ada pegangan yaitu Allah Tiada lain, tiada dua, tiada tiga . Dan Allah pula yang memerintahkan kepada supaya di dalam taat setiap kepada Illahi itu hendaklah di dalam tat setiap kepada Ilahi itu hen-daklah turuti wahyu Allah SWT yang disampaikan oleh Rasul telah menang menghadapi hawa nafsu dan kehendak sendiri, mereka telah menang menghadapi segala halangan dan rintangan dalam me-langkah menuju hanya satu, yaitu ridha itu jiwa mereka tidak ber-pecah, tidak berlawanan di antara mulut dengan hati. Mereka telah mempunyai satu pandangan saja dan satu keuntungan saja, yaitu keuntungan Ayat-ayat Iman dan takwaFirman Allah;                “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah ja-lan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, mudah-mudahan kamu mendapat kejayaan” QS. Al-Maidah, ayat 35Menurut Hamka ayat tersebut Hendaklah selalu melatih diri agar takwa kepada Allah. Takwa mengadung akan arti takut dan memelihara. Di dalamnya terkandung Khauf dan Raja’. Khauf berarti takut, takut akan adzab-Nya dan Raja’ mengharap akan rahmat-Nya. Disamping takwa yang demikian, hendaklah disusun wasila, yaitu jalan-jalan dan cara-cara supaya kian lama kian mendekati 33 Hamka, Tafsir Al-Azhar, jilid 6, hal. 318 Mumtäz Vol. 2 No. 1, Tahun dengan memperbanyak amal ibadah, berbuat kebajikan, menegak-kan budi yang tinggi, belas kasihan kepada sesama banyak amal kebajikan, bertambah banyak amal kebajikan, bertambah sampailah ke tempat yang diridhai oleh wasilah itu jalan itu, tidak lain, ialah usa-ha dari masing-masing orang, amal dan usaha ayat, bersungguh-sungguh, bekerja keras seperti arti dari Allah itu adalah lurus, menuju tujuan yang orang di-serukan supaya masuk ke dalam jalan itu menuju tujuan yang tertentu itu, yai-tu semua pekerjaan hendaklah dikerjakan jangan dengan kepalang tanggung dengan semangat berjuang dan bekerja dengan semangat berjuang dan bekerja keras, dengan niat menuntut keridhaan Allah dan melapangkan dari suatu jihad tidaklah memberikan harapan bagi kita, yaitu “mudah-mudahan kamu mendapat kejayaan.”Kejayaan dunia dan Shihab mengenai ayat tersebut Ayat ini lalu ber-bicara tentang telah datangnya nur dan kitab suci. Ayat ini menjelaskan fungsi kehadiran keduanya dan terhadap siapa keduanya dapat berfungsi yakni dengan nur dan kitab suci itu, Allah menujuki orang-orang yang diketahui-Nya bersungguh-sungguh berusaha ingin mengikuti jalan menuju keridhaan-Nya. Allah menunjuki mereka kesalah satu atau bermacam-macam atau satu demi satu jalan-jalan keselamatan yang membebaskan mereka dari se-gala macam kekeruhan jiwa dan bencana, baik di dunia maupun di akhirat, dan Allah mengeluarkan mereka yakni orang-orang yang memiliki kesungguhan itu dari aneka kegelapan kepada cahaya yang terang benderang dengan seizing-Nya, dan menujuki mereka kejalan yang lurus, jalan lebar dan mudah guna meraih kebahagiaan. Ayat di atas menggunakan bentuk tunggal untuk kata nur dan ben-tuk jamak untuk kata zhulumat / aneka bentuk tunggal itu menunujkan bahwa cahaya hanya dengan berane-ka ragam, sumber beraneka ragam Ibnu Katsir menjelaskan ayat tersebut Allah Ta’alah berrman memerintahkan para hamba-Nya agar bertakwa kepada-Nya. Kata takwa jika diiringkan dengan ketaatan kepada-Nya, maka yang dimaksud ilah menjahui keharaman dan meninggalkan larangan, Kemudian rman Allah lagi, “Dan ca-rilah wasilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya.3634 Hamka, Tafsir Al-Azhar, jilid ke-2, Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Jakarta Lentera Hati, 2002, jilid 3, hal. 6836 Ibnu Katsir, terj. Ahmad Saikhu, Shahih Tafsir Ibnu Katsir, jild 3, Jakarta Pustaka Ibnu Kastsir, 2000, hal. 112 Mumtäz Vol. 2 No. 1, Tahun 201872Sufyan ats-Tsauri mengatakan Ayahku menceriterakan dari alhah, dari Atha’, dari Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud dengan wasilah ialah qurbah pendekatan diri kepada Allah.37Qatadah mengatakan bahwa maksudnya mendekatkan diri bertaqar-rub-lah kepada Allah dengan menaati-Nya dan mengamalkan segala yang Allah surat Al-An’aam ayat, 164        Katakanlah Apakah yang selain Allah akan aku harapkan menjadi Tu-han? Padahal Dialah Tuhan dari tiap-tiap sesuatu? Dan tidaklah meng-usahakan tiap-tiap diri melainkan untuk dirinyalah. Dn tidaklah akan menanggung seorang penanggung akan tanggungan orang lain. Kemu-diaan kepada Tuhan kamulah tempat kamu kembali. Maka Dialah yang akan memberitakan kepada kamu tentang apa yag telah pernah kamu perselisihkan”QS. Al-An’aam, ayat 164Tafsir Ibnu Katsir tentang ayat Ayat ini berisikan perintah agar ber-tawakkal dengan ikhlas, sebagaimana ayat sebelumnya berisikan perintah agar ikhlas beribadah karena Allah semata tidak ada sekutu menafsirkan ayat 164 surah al-An’aam, pada pangkal ayat Ka-takanlah. Agar manusia-manusia yang menentangmu itu tidak ragu-ragu dan tidak meraba-raba lagi bagaimana pendirianmu yang sebenarnya.—Sebagai aki-bat dari pernyataan keyakinan hidup itu, bahwa ibadah shalat dan ibadah yang lain, bahkan hidup dan mati semuanya tertuju pada satu jurusan , yaitu Allah yang tidak bersekutu dengan yang lain. Allah yang Mahakuasa atas seluruh alam, dan sebagai akibat pula dari lanjutan kepercayaan bahwa tidak suatu pun yang diharap-harapkan hendak dijadikan Tuhan buat disembah, sebab yang mencipta seluruh alam ini hanya ada tempat takut melaikan Allah—segala amal yang diamalkan, usaha yang diusahakan, melainkan Allah. Dosaku tidak orang lain yang akan menanggung, sebaliknya dosa orang lain pun tidak ada yang akan menanggung. Masing-masing bertanggung jawab kepada Ath-abari X/29138 Ath-abari X/29139 Ibnu Katsir, terj. Ahmad Saikhu, Shahih Tafsir Ibnu Katsir,jilid, 3, Jakarta Pustaka Ibnu Kastsir, 2000, hal. 507. Mumtäz Vol. 2 No. 1, Tahun 201873Ujung ayat, Artinya akan kembalikah kamu kepada-Nya saja di hari akhirat itu, sesudah melalui hidup dunia kepada-Nya saja. Tidak pada yang lain. Waktu itulah diberitahukan kepadamu dengan jelas bukti kesa-lahanmu ketika hidup di dunia yang telah menjadi perselisihanmu ketika hidup di dunia yang telah menjadi perselisihkarena banyak para ulama tersebut diatas, bahwa perintah tawakkal dan be-ribadah dikerjakan dengan ikhlas, karena Allah semata, dan segala dosa yang dibuat individu ditanggung masing-masing di akhirat kelak. Jadi hanya kepada Allah saja yang kalian sembah tidak ada yang lain kecuali Allah Allah     “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka ke-curigaan, karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudara-nya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”QS. Al-Hujurat, ayat 12Pengertian Ibnu Katsir pada surat Al-Hujurat, ayat 12, Allah swt berr-man seraya melarang para hambanya berpersangka buruk yaitu dengan mencu-rigai keluarga, kerabat serta orang lain dengan tuduhan yang buruk yang bukan pada tempatnya. Karena sesungguhnya sebagian dari perbuatan tersebut meru-pakan hal murni karena itu, hendaklah hal tersebut dijauhi secara keseluruhan sebagai tindakan Shihab tetang ayat 12 surat Al- Hujurat Karena ayat diatas menyatakan Hai orang-orang yang beriman jauhilah dengan upaya sungguh-sungguh banyakdari dugaan, yakni prasangka buruk terhadap manu-sia yang tidak memiliki indikator memadai, sesungguhnya sebagian dugaan, yak-ni yang tidak memilki indicator itu, adalah Hamka, Tafsir Al-Azhar, jilid ke-3, hal. 364-36541 Ibnu Katsir,terj. Abu Ihsan al-Atsari dkk, Shahih Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta Pustaka Ibnu Katsir, 2000,jilid 8, hal. 47742 Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Jakarta Lentera Hati, 2002, jilid 12, hal. 609 Mumtäz Vol. 2 No. 1, Tahun 201874Selanjutnya, karena tidak jarang prasangka buruk mengundang upa-ya mencari tahu, makna ayat di atas melanjutkan bahwa Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain yang justru ditutupi oleh pelakunya serta ja-ngan lupa melanglangkah lebih luas , yakni sebagian kamu menggunjing, yakni membicarakan aib sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan danging saudara yang sudah mati. Maka, tentulah jika itu disodorkan kepada kamu, kamu telah merasa jijik kepadaya dan akan menghindari mema-kan daging saudara sendiri itu. Karena itu, hindarilah pergunjingan karena ia sama dengan memakan dengan memakan daging saudara yang telah meninggal dunia dan bertakwalah kepada Allah, yakni hindari siksa-Nya dan menjahui la-rangan-Nya serta bertaubatlah atas aneka kesalahan, sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat Lagi Maha Hamka tentang ayat 12 surat Al- Hujurat Prasangka ialah tuduhan yang bukan-bukan prasangka yang tidak beralasan, hanya semata-mata rahmat yang tidak pada tempatnya saja. “Karena sesungguhnya sebagian daripada pra-sangka itu adalah dosa.”Prasangka adalah dosa karena dia adalah tuduhan yang tidak beralasan dan bisa saja memutuskan silaturahmi di antara dua orang yang berbaik. Bagaimanalah perasaan yang tidak mencuri lalu disangka mencuri. Ra-sullah sangat mencegah perbuatan prasangka yang sangat buruk itu dengan sab-danya” Sekali-kali janganlah kamu berburuk sangka karena sesungguhnya buruk sangka adalah perkataan yang paling bohong dan janganlah kamu merisik-risik dan janganlah kamu berganding-gandingan dan janganlah kamu bedengki-den-gkian dan janganlah kamu berbenci-bencian dan janganlah kamu bebalik-bela-kang dan jadilah kamu seluruh hamba Allah bersaudara” HR. Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud.43Kemudian ujung ayat, “Dan bertakwalah kepada Allah, Sesunguhnya Allah adalah penerima taubat, lagi maha penyayang”, Artinya, Jika selama ini perangai yang buruk ini ada pada dirimu, mulai sekaranglah hentikan dan ber-tobatlah daripada kesalahan yang hina itu disertai dengan penyesalan dan senatiasa membuka pintu kasih sayang-Nya yang ingin menukar perbuatan yang salah dengan perbuatan yang baik, kelakuan yang durjana hina dengan kelakuan yang terpuji sebagai manusia yang Ayat-ayat Tentang IbadahFirman Allah Surat Al- Isra’ ayat 7843 Hamka, Tafsir Al Azhar, hal. 428-42944 Hamka, Tafsir Al-Azhar, hal,430, jilid 8 Mumtäz Vol. 2 No. 1, Tahun 201875                         “Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan dirikanlah pula shalat subuh. Sesungguhnya bacaan subuh itu di-saksikan oleh malaikat.”QS. Al-Isra’ ayat 78Hamka menafsirkan ayat tersebut Tegasnya dirikanlah shalat lima wak-tu. Dirikanlah shalat sejak tergelincir matahari dari pertengahan siang, yaitu permulaan waktu Zhuhur, dan mata hari itu setelah tergelincir ditengah hari pertengahan siang akan terus condong ke barat sampai dia terbenam. Oleh se-bab itu dalam kata tergelincir matahari termasuklah zhuhur dan ashar; sampai gelap-gulita malam. Dan permulaan malam itu datanglah maghrib. Bertambah matahari terbenam kebalik bumi hilanglah syafaq yang merah—bertambah ter-benam tersorok ke balik belahan bumi, maka masuklah disebut-lah Qur’anul fajri, yang arti harahnya ialah Qur’an di waktu fajar, tetapi tafsir-nya ialah shalat menciptakan manusia hanya untuk satu tugas saja, yaitu mengab-di, beribadah. Beribadah, yaitu mengakui bahwa manusia ini hamba-Nya, tun-duk akan Allah                   “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan naahkanlah naah yang baik untuk diri-mu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mere-ka itulah orang-orang yang beruntung”QS. At-Taghabun, ayat 16.Hamka menafsirkan ayat 16 surat at-Taghabun Segala amal ibadah yang menghendaki tenaga, kerjakanlah sekadar tenaga yang ada padamu, baik tenaga badan maupun tenaga harta kekayaan. Ketahuilah bahwa perintah agama, ti-daklah ada yang berat sehingga tidak dapat dipikul. Pada waktu Nabi saw. Men-dapat perintah supaya beliau menyampaikan perintah mengerjakan haji kepada umatnya, ada sahabat beliau yang bertanya, “Apakah pada tiap-tiap tahun, ya Rasulullah?”Mula pertanyaan itu seakan-akan tidak didengarnya. Tetapi setelah sampai tiga kali ditanyakan, barulah beliau jelaskan bahwa kalau aku kataka-45 Hamka, Tafsir Al-Azhar , jilid, 5, hal. 319-320 Mumtäz Vol. 2 No. 1, Tahun 201876na na’am atau memang, niscaya banyak di antara kalian yang tidak akan dapat mengerjakannya. Oleh sebab itu perintah mengerjakan haji yang wajib hanyalah satu kali yang pertama saja, yang selanjutnya adalah tathawwu’, yaitu dikerjakan dengan sukarela kalau juga amalan yang lain-lain. Shalat yang wajib hanyalah lima waktu sehari semalam itu. Selebihnya adalah tambahan atau nawaal, yang kita dianjurkan mengerjakannya kalau ada kesanggupan shalat tahajjud, shalat dhuha, shalat nawaail sebelum qabliyah yang wajib atau sesudahnya ba’diyah atau yang Rasulullah “ Apabila aku perintahkan kepadamu suatu perintah olehmu menurut kesanggupan, dan apabila aku larang, hendaklah kamu henti-k a n .” HR. Bukhari dan Muslim.“Dan dengarkanlah!”Baik-baik perintah yang disampaikan oleh Rasul, supaya jangan ada keraguan, supaya jelas kaiyat atau cara mengerjakannya. “Dan taatlah” artinya sesudah didengarkan baik-baik hendaklah dilaksanakan baik-baik pula, dipatuhi apa yang diperintahkan Ra-sul itu. Jangan hanya semata-mata didengar, padahal tidak dikerjakan, jangan di ubah-ubah dari sepanjang yang didengar, jangan di tambah-tambah, karena itu adalah berbuat bid’ah dan jangan pula dikurangi, karena kalau dikurangi amalan itu tidak akan sah di sisi Allah.”Dan belanjakanlah yang baik untuk dirimu.”Arti-nya janganlah segan dan enggan mengeluarkan belanja untuk mempergunakan amalan dan ibadah, untuk melaksanakan perintah Allah dan Rasul menurut Katsir menafsirkan, Artinya keluarkanlah belanja dari rezeki yang dianugerahkan Allah itu untuk kamu sekeluarga, fakir dan miskin dan orang-orang yang amat memerlukan, dan berbuat baiklah ke-pada sesama hamba Allah sebagaimana Allah pun telah berbuat baik kepada kamu, semuanya itu kebaikannya terpulang kepada dirimu sendiri di dunia dan di akhirat. Kalau tidak kamu berbuat begitu, kamu jugalah yang akan celaka di dunia dan akhirat.“Dan barang siapa yang terpelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” Kikir atau bakhil, atau lokek atau kedekut, semua-nya sama artinya. Yaitu perangai dari orang-orang yang enggan mengeluarkan hartanya, merasa berat bercerai dengan uangnya. Sangat kasihan uang simpa-nannya akan keluar, terutama untuk membantu orang yang kesusahan, atau fa-kir miskin. Karena kikirnya itu sampai hati dia membiarkan orang yang memin-ta pertolongan pulang saja dengan tangan Hamka, Tafsir Al-azhar, jilid 9, hal. 17847 Hamka, Tafsir Al-azhar, jilid 9, hal. 179 Mumtäz Vol. 2 No. 1, Tahun 201877Firman Allah                                   Katakanlah»Sesungguhnya aku hendak memperingatkan kepadamu sua-tu hal saja, yaitu supaya kamu menghadap Allah dengan ikhlas ber-dua-dua atau sendiri-sendiri; kemudian kamu kirkan tentang Muham-mad tidak ada penyakit gila sedikitpun pada kawanmu itu. Dia tidak lain hanyalah pemberi peringatan bagi kamu sebelum menghadapi azab yang keras.” QS. Saba’ ayat, 46Hamka dalam menafsirkan ayat tersebut diatas Puncak dari segala se-ruan dan dakwa, “yaitu bahwa kamu menghadap Allah berdua-dua dan sendi-ri-sendiri.”Dalam ayat ini mengandung anjuran kepada pribadi mereka masing-masing seketika mereka tersisih dari kelompok orang banyak. Di hadapan orang banyak pemimpin-pemimpin Quraisy telah menyebarkan propaganda bahwa Al-Qur’an yang dibawa oleh Muhammad saw. itu adalah usahanya hendak me-rintangi mereka dari menyembah apa yang disembah nenek moyang, kemudian dituduh pula bahwa Al-Qur’an itu hanya dusta yang dikarang-karang saja oleh Muhammad, dan ketiga dituduh bahwa anjuran Muhammad itu hanyalah sihir yang nyata. Di sini Nabi disuruh Allah menganjurkan orang-orang itu supaya berpikir sendiri-sendiri, direnungkan dan ditinjau ke dalam hati seluruh kaum itu tetap percaya kepada Allah Yang menyembah ber-hala hanya sebagai perantara anjuran Nabi ini mereka disuruh ber-dua-dua atau sendiri-sendiri mengahadap langsung kapada Allah. Tinggalkan pengaruh yang lain. Artinya ajaklah seorang teman yang dekat mengadakan per-tukaran pikiran dan persamaan paham.—Niscaya pikiranmu yang jernih dan tidak terpengaruh itu akan dapat mengambil kesimpulan.” Tidaklah ada pada teman kamu itu sakit gila.”Tidaklah mungkin butir kata begitu mendalam akan timbul dari pikiran orang gila. “Dianya lain tidak hanya menjadi Pengancam bagi kamu di hadapan adzab yang sangat.” Tidak!.Kawanmu itu bukan orang Suatu hari naiklah Nabi saw. keatas Bukit Shafa. Lalu beliau berse-ru, “Wahai kaumku, bangunlah dan berkumpullah pagi yang akan aku katakana.” Maka orang-orang pun berkumpul sekelilingnya hendak menden-garkan apa yang hendak dikatakannya. Dan mereka bertanya, “Apa maksudmu memanggil kami?” Lalu Rasulullah berkata, “kalau aku kabarkan kepada kamu 48 Hamka, Tafsir Al-Azhar, jilid 7, Mumtäz Vol. 2 No. 1, Tahun 201878bahwa musuh sedang menyerbu pagi hari atau petang hari, apakah kamu per-caya akan ucapanku.?” Serentak mereka menjawab, “Tentu saja kami percaya.”-Lalu kata beliau”Sekarang aku beritahu kepada kamu semua, bahwa sedang mengancam adzab yang sangat hebat, sanagt seram dan pedih.”Tiba-tiba ber-dirilah pamanya sendiri Abu Lahab menyanggah dengan keras suaranya, “Me-rosotlah engkau! Untuk inikah kami engkau suruh berkumpul. Karena sumpah dan makiannya kepada Nabi itulah turun surah ”Tobbat yadaa Abii Lahabin.” D. KESIMPULANBerdasarkan ulasan yang dikemukakan pada bab-bab diatas, penulis da-pat mengambil kesimpulan bahwa1. Makrifat dalam Al-Qur’an mengenal Allah atau merasakan kehadiran-Nya,mentaati perintahnya, menjahui larangannya, dan selalu ingat kepada Allahserta tunduk disertai rasa mahabbah kecintaan kepada-Nya. Karena ma-nusia hidup di dunia bukan untuk dunia. Dunia hanya persinggahan danmenyiapkan diri untuk mencapai makrifat Allah, sebab akan menempuhsatu alam yang lain yang lebih luas dari alam semesta yang akan dipertan-ngung jawabkan di akherat hati seseorang tergantungkualitas makrifatnya dan kehancuran diri, keluarga, sampai kepada suatubangsa karena ketidak tahuannya tentang makrifat. Untuk mencapai makri-fat itu tidak lain daripada mengetahui dan memegang sungguh-sungguhkepada Al-Qur’an dan Mencapai makrifat dengan tasawuf merupakan kekuatan Islam pada Aqi-dah Islam, yang menimbulkan Akhlak Islam, karena Aqidah yang mem-bawa kemajuan. Tasawuf yang patut diamalkan zaman modern, yang mem-punyai cirria. Bermuatan memahami, menyadari dan menghayati zuhud yang tepatseperti yang di contohkan Rasulullah saw yang cukup sederhana pen-gertiannya, yaitu memegang sikap hidup dimana hati berhasil dikuasaioleh Sikap hidup zuhud meninggalkan hal-hal yang berlebihan, walaupunhalal, menujukkan sikap hemat, hidup sederhana, dan menghindariberlebih-lebihan, kemewahan atau pemilikan harta yang lebih bernilaisebagai promoter status dari pada sebagai harta kekayaan Sikap zuhud yang dilaksanakan berdampak mempertajam kepekaansosial yang tinggi dalam arti mampu menyumbang kegiatan pember- Mumtäz Vol. 2 No. 1, Tahun 201879dayaan umat, seperti bergairah mengeluarkan zakat dan infaq serbagai-rah menerima keuntungan dalam bekerja dan Hamka untuk mencapai makrifat dalam tafsir Al-Azhar adalah; Nur atasNur, Cahaya diatas cahaya. Cahaya petunjuk dari Ilahi , memantul ke da-lam cahaya hati yang telah lepas dari gosokanjiwa. Betapun hebatnya Nurtidaklah ada artinya, kalau intan jiwa belum digosok terlebih dahuluhinggasanggup menerima cahaya. Disamping takwa yang demikian, maka disu-sunlah wasila, yaitu jalan-jalan dan cara-cara supaya kian lama kian men-dekati Allah. Yaitu dengan memperbanyak amal ibadah, berbuat kebajikan,menegakkan budi yang tinggi, belas kasihan sesama manusia. Bertambahbanyak amal kebajikan, maka akan semakin mendekati ridha Allah. Sehing-ga wasilah itu, adalah dari masing-masing amal orang dengan PUSTAKAAbu Bakar Aceh, Pengantar sejarah Su dan Tasawuf, Solo CV Ramadhani, 1987Ahmad Warsono Munawir, Kamus al-Munawir, Surabaya Pustaka Progresif, 2002Hamka, Tafsir Al-Azhar jilid 1, Depok Gema Insani, 2015Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta Pustaka Panji Mas, 1993Hamka, Falsafah Hidup, Singapura Pustaka Nasional PTE LTD, 1995Hamka, Tasauf Moderen, Medan Yayasan Nurul Islam, 1939, hal. 17Ibnu Katsir, terj. Ahmad Saikhu, Shahih Tafsir Ibnu Katsir, jild 3, Jakarta Pusta-ka Ibnu Kastsir, 2000Imam Al-Ghazali, Ihya’Ulumuddin, Menghidupkan Ilmu-ilmu Agama, Ban-dung Penerbit Marja, 2016Mafri Amir dan Lilik Ummi Kultsum, Literatur Tafsir Indonesia, Jakarta Lemba-ga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011, hal. 171Mir Valiuddin, Tasawuf dalam Al-Qur’an, Terj. Tim Penerjemah Pustaka Fir-daus, Jakarta Pustaka FirdausM. Yuman Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar, cet. Ke II, JakartaPenamadani, 2003Mudakkir AS, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Bogor Pustaka Lintera Antar Nusa, cet. 10, 2007Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta Balai Pustaka, 2001 Mumtäz Vol. 2 No. 1, Tahun 201880Rabi’ah al-Adawiyah, Mahabbah cinta, terj. Asfari MS &Otto Sukatni CR, Cet,V, Yogyakarta Yayasan Bintang Budaya, 1999Soewatojo, Juniadi, Korupsi, Jakarta Restu Agung 1995Syihabudin Umar ibn Muhammad Suhrawardi, Awarif, Sebuah Buku Daras Kla-sik Tasawuf, Terj. Iman Nugrahani Ismail, Bandung Pustaka Hidayah, 1998Said Agil Husain al-Munawwar, I’jaz al-Qur’an dan Metodologi Tafsir, Semarang Dina Utama, 1994Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Jakarta Lentera Hati, 2002Syekh Abdul Qadir al-Jailani, Rahasia Su, Cet. 1, Yogyakarta Pusaka Su, 2004Totok Junarto dan Samsul Munir, Kamus Ilmu Tasawuf, Jakarta Amzah, 2005Tgk. Abdullah Ujong Rimba, Ilmu arekat dan Hakikat, Banda Aceh,, 1975 Ath-abari X/291 ResearchGate has not been able to resolve any citations for this WarsonoAhmad Warsono Munawir, Kamus al-Munawir, Surabaya Pustaka Progresif, 2002HamkaHamka, Tafsir Al-Azhar jilid 1, Depok Gema Insani, 2015Terj Ahmad Ibnu KatsirSaikhuIbnu Katsir, terj. Ahmad Saikhu, Shahih Tafsir Ibnu Katsir, jild 3, Jakarta Pustaka Ibnu Kastsir, 2000Imam Al-GhazaliImam Al-Ghazali, Ihya'Ulumuddin, Menghidupkan Ilmu-ilmu Agama, Bandung Penerbit Marja, 2016Tasawuf dalam Al-Qur' an, Terj. Tim Penerjemah Pustaka FirdausMir ValiuddinMir Valiuddin, Tasawuf dalam Al-Qur' an, Terj. Tim Penerjemah Pustaka Firdaus, Jakarta Pustaka FirdausCorak Pemikiran Kalam Tafsir al-AzharYuman YusufM. Yuman Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar, cet. Ke II, Jakarta Penamadani, 2003Ilmu Qur' an, Bogor Pustaka Lintera Antar Nusa, cetA S MudakkirStudi IlmuMudakkir AS, Studi Ilmu-Ilmu Qur' an, Bogor Pustaka Lintera Antar Nusa, cet. 10, 2007Pusat Bahasa Departemen Pendidikan NasionalPusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta Balai Pustaka, 2001Totok Junarto Dan SamsulMunirTotok Junarto dan Samsul Munir, Kamus Ilmu Tasawuf, Jakarta Amzah, 2005TgkAbdullah Ujong RimbaTgk. Abdullah Ujong Rimba, Ilmu Tharekat dan Hakikat, Banda Aceh,, 1975

Halhal yang ada di dalam Tasawuf tidak ada satu pun yang bertentangan dengan al Quran atau pun Hadits. Tasawuf adalah jalan, sedang dua hal itu, Quran dan Hadits adalah petunjuk. Tentu saja, jalan kebaikan apapun tidak boleh lepas dari petunjuk. Ada juga ayat tentang Tasawuf yang berbunyi:
Oleh NASHIH NASHRULLAHBerceramah merupakan satu dari sekian aktivitas berdakwah yang mulia menyampaikan pesan dan menyebarkan syiar di hadapan ratusan, ribuan, bahkan jutaan umat manusia. Ada misi berharga di sana. Namun, dinamika dunia dakwah pun berkembang. Ini beriringan dengan perkembangan teknologi dan lain sebagainya. Tak sedikit oknum pendakwah pada akhirnya terjebak dalam logika materi. Berdakwah pun sekaligus berbisnis. Seperti memasang tarif tertentu untuk jasa ceramahnya. Bolehkah memasang tarif untuk jalan dakwah? Eks ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia MUI alm Prof Hasanuddin AF pernah mengatakan, dari segi hukum Islam, pada prinsipnya diperbolehkan menerima imbalan jasa atas ceramah atau mengajarkan ilmu agama lainnya, seperti pengajaran Alquran. Akan tetapi, ia menggarisbawahi bahwa imbalan tersebut bukan tujuan utama. Dan, agar tarif tersebut tetap tidak melampaui batas kewajaran. Motif paling mendasar kala berdakwah adalah niat untuk Allah SWT semata. Selain itu, memberlakukan tarif berdakwah justru akan menghilangkan pahala dakwah itu sendiri. “Jika niatnya bisnis dan dibisniskan, itu tidak boleh,” ujarnya. Ia pun mengutip hadis riwayat Umar bin Khattab tentang pentingnya meluruskan niat bahwa segala urusan akan dikembalikan pada sejauh manakah niat dan motif yang bersangkutan. Bila sebatas dunia maka pahala tak ia dapat. Sebab, hanya dunia yang ia peroleh. Ia pun mengimbau para pendakwah agar tidak mematok tarif. Tindakan pemasangan tarif justru berpotensi merusak citra dakwah tersebut. Ia mengusulkan agar sanksi sosial dijatuhkan pada oknum-oknum pematok tarif dakwah. “Jangan diundang lagi,” katanya. Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah Prof Syamsul Anwar mengingatkan para pendakwah agar tetap ikhlas dan tidak memasang tarif. Meski ia menegaskan tidak ada larangan untuk memasang tarif untuk dakwah, tetapi hendaknya para dai menghindari “komersialisasi” tersebut. Menurut dia, pemasangan tarif kaitannya dengan kebiasaan yang berlaku. Semestinya, iltizam dini atau ketaatan terhadap syariat, dengan tidak mengedepankan tarif, lebih ditekankan oleh yang bersangkutan. Kalaupun hendak memasang tarif, sewajarnya saja. “Masyarakat punya penilaian tersendiri,” katanya. Komersialisasi Ketua Lajnah Bahtshul Masail Nahdlatul Ulama LBM-NU KH Zulfa Mustofa menyatakan, menurut perspektif agama, secara etika, seorang ulama tidak boleh meminta, bahkan memasang tarif. Memang, mayoritas ulama memperbolehkan penerimaan upah dari pengajaran ilmu agama, tetapi tidak dengan cara mematok tarif. “Tidak pantas meminta apa pun alasannya,” ujar alumnus Pesantren Maslakul Huda, Pati, Jawa Tengah, asuhan KH Sahal Mahfuz tersebut. Menurut dia, “komersialisasi” itu tak terlepas dari pengaruh media, terutama televisi. Tingkat rating akan dijadikan alasan untuk meningkatkan “tarif” dakwah seseorang. Padahal, sikap semacam ini bisa mengancam kekekalan pahala. Ia pun teringat nasihat sang guru, KH Sahal Mahfuz, yang berpesan, “Allaim majjanan kama ullimta majjanan” ajarkanlah ilmu secara ikhlas, sebagaimana engkau dididik secara gratis. Tak lupa, ia sampaikan ajakan agar para ulama mengingatkan oknum pendakwah mana pun yang mematok tarif. Fikih klasik Dalam kajian fikih klasik, rujukan persoalan ini bermuara pada topik pengambilan upah atas pengajaran Alquran. Menurut kelompok yang pertama, tidak boleh menerima atau “membisniskan” pengajaran ilmu agama, tak terkecuali Alquran. Opsi ini berlaku di sejumlah mazhab, antara lain Hanbali di salah satu riwayat, Zaidiyyah, dan Ibadhiyyah. Sedangkan, Imamiyyah melihat hukumnya makruh selama ada syarat sejak awal. Pihak ini berdalih bahwa mengajarkan ilmu syariah dan Alquran merupakan bakti yang tak berpamrih, hanya Allah SWT-lah yang akan membalasnya. Kebutuhan akan pelajaran ilmu agama dan Alquran sama pentingnya dengan urgensi mengajarkan shalat. Berbagi ilmu shalat merupakan hal mendasar, tak boleh “diperjualbelikan”. Ini ditegaskan di banyak ayat, seperti surah an-Najm ayat 39, al-Qalam ayat 46, dan Yusuf ayat 104. Pandangan ini diperkuat oleh hadis riwayat Ubay bin Ka’ab. Dalam sabda itu, Rasulullah SAW memperingatkan seorang sahabat yang menerima hadiah atas pengajaran Alquran yang dilakukannya. “Jika engkau ambil maka sejatinya engkau telah mengambil satu kurung api neraka,” titah Rasul. Riwayat Ubadah bin as-Shamit menegaskan larangan senada. Secara jelas, larangan itu dipertegas pula dalam hadis Abdurrahman bin Syibil. “Jangan engkau mencari makan darinya dan jangan pula mencari keuntungan,” sabda Nabi. Tak sepakat dengan kelompok yang pertama, menurut kubu yang kedua, hukum mengambil upah dari mengajarkan ilmu agama atau Alquran ialah boleh dan tak jadi soal selama tidak mematok harga tertentu. Pemasangan tarif terhadap aktivitas ini akan menghilangkan pahala dan keutamaannya. Pendapat itu merupakan opsi yang didukung oleh sejumlah ulama mazhab, yaitu generasi kedua dari mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali menurut salah satu riwayat, dan Zhahiri. Dalil yang dijadikan dasar oleh kubu kedua yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas. Hadis ini mengisahkan izin Rasulullah atas upah seorang sahabat yang telah membacakan ruqyah untuk warga yang terkena sengatan ular. “Sesungguhnya upah yang paling pantas bagimu ialah upah atas pembacaan dan pengajaran Alquran,” sabda Rasul. Sesungguhnya upah yang paling pantas bagimu ialah upah atas pembacaan dan pengajaran Alquran Argumentasi selanjutnya ialah kisah yang dinukilkan di riwayat Sahal bin Sa’ad. Rasul mengabulkan pernikahan sahabatnya dengan mahar bacaan Alquran. Tak sedikit generasi salaf yang memberikan upah bagi para pengajar Alquran, seperti Umar bin Khattab. Sosok berjuluk al-Faruq itu memberi upah dari kocek pribadinya kepada tiga pengajar Alquran di Madinah. Sa’ad bin Abi Waqash dan Amar bin Yasar memiliki tradisi mengupah para pembaca Alquran selama Ramadhan. Imam Malik pun pernah menegaskan, tak jadi soal menerima upah atas pengajaran ilmu agama, termasuk Alquran. “Aku belum pernah mendengar satu pun ulama yang melarangnya,” kata pencetus mazhab Maliki itu. Dilansir dari Harian Republika Edisi 23 Agustus 2013
iVzi.
  • ztq843f6hn.pages.dev/122
  • ztq843f6hn.pages.dev/146
  • ztq843f6hn.pages.dev/12
  • ztq843f6hn.pages.dev/290
  • ztq843f6hn.pages.dev/112
  • ztq843f6hn.pages.dev/235
  • ztq843f6hn.pages.dev/345
  • ztq843f6hn.pages.dev/229
  • ztq843f6hn.pages.dev/49
  • ayat alquran tentang tasawuf