RabanaKebo biasanya digunakan oleh sebagian besar orang Sumbawa Ano Siup. Sakeco merupakan seni yang sangat luwes dan dinamis dibandingkan dengan yang lain. Sakeco dapat dimuati oleh Lawas Nasihat (pamuji); Lawas Tau Loka, Lawas Muda-mudi, Lawas tode yang dibuat dalam bentuk tutur (cerita naratif).
LAWAS SAMAWA DALAMKONFIGURASI BUDAYA NUSANTARA *Made SuyasaUniv. Muhammadiyah Mataram1. PendahuluanEtnis Sumbawa Samawa mempunyai karya sastra lisan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat sejak zaman dahulu, salah satunya dalam bentuk puisi lisan. Puisi lisan yang dikenal dengan nama lawas merupakan media komunikasi dan ekspresi bagi masyarakat pemiliknya. Lawas sebagai fenomena budaya merupakan cerminan dari nilai-nilai yang hidup pada masyarakat di zamannya, karena itu nilai budaya tersebut sangat bersifat sebagai salah satu bentuk sastra lisan dalam masyarakat Sumbawa Samawa merupakan fenomena kebudayaan yang akan tetap hadir di tengah-tengah masyarakatnya. Cerminan nilai budaya daerah telah digunakan dalam mengembangkan budaya nasional, sehingga menempatkan sastra lisan sebagai bagian dari kebudayaan nasional yang harus dilestarikan. Maka sudah sepantasnyalah mendapatkan perhatian dari semua pihak untuk menindaklanjuti semua itu dalam berbagai bentuk telah dimanfaatkan secara luas oleh masyarakatnya dalam berbagai aktivitas kehidupan, seperti saat menuai padi, karapan kerbau, upacara adat keagamaan seperti perkawinan dan sunatan, serta dalam berbagai bentuk hiburan. Lawas tidak dimiliki oleh perorangan tetapi merupakan milik bersama masyarakat sebagaimana sastra lisan yang hidup di daerah lain. Secara turun temurun lawas dalam penyampaiannya dinyanyikan baik oleh perorangan maupun kelompok yang disebut balawas. Balawas kemudian menjadi sebuah seni penyampaian lawas yang dipertunjukkan dihadapan orang banyak untuk keperluan upacara adat atau hiburan. Balawas di samping memanfaatkan lawas dan temung tembang ada juga memanfaatkan seni lain sebagai pendukungnya yakni seni musik. Balawas kemudian menjadi seni menyampaikan lawas yang dikenal dalam bentuk saketa, gandang, ngumang, sakeco, langko, badede, dan basual Suyasa, 20027.Kehidupan sastra lisan akan selalu mengalami perubahan sesuai dengan dinamika masyarakat pemiliknya Tuloli,19912. Perubahan tersebut meliputi pola dan cara pandang tentang kehidupan, serta terbatasnya kemampuan masyarakat dalam menginterpretasikan warisan budaya yang diterimanya. Kemampuan yang terbatas pada masyarakat dalam mewarisi kekayaan budaya yang berupa sastra lisan serta adanya arus pengaruh dari luar akan menyebabkan hilangnya beberapa bentuk sastra serta terjadinya pergeseran makna, fungsi, dan timbulnya variasi bentuk. 1984330 mengatakan bahwa sastra lisan pun sering mempunyai dinamika intrinsik yang kuat sekali ataupun berubah akibat pengaruh asing tulis atau lisan. Sastra lisan di Indonesia sangat memungkinkan terjadinya perubahan, hal ini akibat pergesekan antar budaya yang sangat tinggi walaupun pada beberapa ragam dasar barangkali bertahan lama. Disadari atau tidak oleh masyarakat pemiliknya ternyata dalam perkembangannya lawas telah melahirkan berbagai konfigurasi sebagai gambaran keterbukaan masyarakat dalam menerima budaya orang lain yang dianggap masih sejalan dengan budayaSamawa. Konfigurasi ditunjukkan dalam bentuk struktur, isi, dan penyajian yang terbangun dalam sastra lisan lawas mencerminkan gambaran budaya Nusantara sebagai wujud persahabatan dan berterimanya terhadap budaya lain. Bentuk lawas juga mempunyai beberapa kesamaan seperti dengan pantun Bugis dan patu’u Bima ditunjukkan dari jumlah baris yakni yang mempunyai betuk tiga baris. Isi lawas sangat kontektual peristiwa dalam berbagai lapisan masyarakat mampu terakomodasi dengan baik menjadikan lawas sebagai media komunikasi dan persahabatan. Lawas sebagai mana sastra lisan yang lain ciri utama penyampaiannya dalam bentuk pertunjukan lisan seperti, balawas, sakeco, saketa, ngumang, gandang, langko, badede, basual yang juga memadukan berbagai peralatan seperti rebana ode/rea, serunae, genang dan lain sebagainya yang punya kemiripan dengan daerah di luar sastra lisan lawas Samawa yang tercermin dalam bentuk, isi, dan penyajian lawas merupakan bagian dari sebuah gambaran konfigurasi budaya Nusantara yang perlu ditelusuri lebih jauh untuk mengetahui keberadaannya dalam masyarakat, proses perkembangannya, dan ragam penyampaiannya yang sangat kontekstual. Dalam konteks ini budaya sebagai wahana perekat antar masyarakat antar suku bangsa setidaknya mampu meminimalkan berbagai persoalan yang muncul dikemudian tulisan singkat ini penulis mencoba untuk mengangkat persoalan ini dengan harapan akan dapat memberikan informasi tentang keberadaan lawas Samawa dengan berbagai bentuk dan perkembangannya. Di samping itu, sebagai bentuk kepedulian kita terhadap keberadaan sastra lisan yang semakin lama semakin sedikitnya mendapat perhatian dari para peneliti sastra dan juga masyarakat pemiliknya termasuk pemerintah daerah. Sebagai bentuk penyadaran akan betapa besarnya sumbangan yang telah diberikan oleh sastra lisan lawas sejak zaman dahulu hingga saat ini dalam menjaga nilai-nilai kearifan budaya lokal dan Perjalanan Sejarah SumbawaSumbawa adalah sebuah pulau yang ditempati oleh empat kabupaten dan satu kota madia, lawas tumbuh, hidup, dan berkembang di dua kabupaten yaitu Kabupaten Sumbawa dan Kabupaten Sumbawa Barat KSB yang dulunya menjadi satu kabupaten dan pada beberapa tahun yang lalu berpisah membentuk kabupaten sendiri yaitu KSB. Namun kedua kabupaten ini mempunyai sejarah perkembangan yang sama dan bahasa yang sama yakni bahasa Sumbawa, Kota Sumbawa Besar sebagai pusat pemerintahan pada zaman Kesultanan Sumbawa telah menjadi pusat peradaban kebudayaan Samawa, dan dari sinilah simpul-simpul budaya Samawa menyebar ke wilayah timur dan barat catatan sejarah menunjukkan bahwa nama Sumbawa sudah dikenal dalam berita Cina tahun 1225 dari Chau-Ju-Kua yang menulis Chu-Fan-Chi, yang menyebut nama Sumbawa sebagai daerah taklukan kerajaan Kediri Jawa. Dalam syair ke empat belas dari Negara Kertagama 1365 disebut nama tertinggi pulau Sumbawa yang telah menjadi bagian dari Kerajaan Majapahit seperti Taliwang, DempoDompu, SapiSape, BhimaBima, Ceranseran, seteluk, HutanUtan. Nama Sumbawa juga muncul dalam Kidung Ranggalawe dan Kidung Pamancangah yang menyebut kuda-kuda Sumbawa yakni di KereBima tepatnya di teluk Sanggar bagus. Selain itu dalam Kidung Pamancangah disebut pula tentang penguasa Bedahulu Bedulu Bali yang bernama Ki Pasung Grigis atas perintah Jawa mengadakan ekspedisi Chambhawa Sumbawa. Catatan sejarah berlanjut ketika mulai masuknya Islam yang menurut Zollinger bahwa Islam masuk ke pulau Sumbawa antara tahun 1440-1450 dan agama ini tersiar dari Jawa. Dalam Babad Lombok juga dikatakan bahwa Islam dari Jawa masuk ke Sumbawa, Dompu, dan Bima via Lombok, namun hal ini dibantah dalam Bo Mbojo Kronik Bima yang menyatakan bahwa Islam masuk ke Bima via Makasar. Zollinger 1850 menyebut adanya interaksi yang cukup menarik di luar penduduk asli Sumbawa yakni adanya kehadiran sejumlah besar orang-orang Bugis, Makasar, dan Bajo yang berdiam di sepanjang pantai utara Sumbawa. Ligchvoet 1876 juga menyebutkan selain kedatangan orang Bugis dan Makasar ke pulau ini juga ke datangan orang Selayar, Mandar, dan tampaknya menjadi daerah yang sangat menarik dan terbuka bagi setiap pendatang sehingga pulau ini menjadi semakin beragam penghuninya yakni dari berbagai suku bangsa. Lebih dari seperempat abad sebelum Ligchvoet dan Zollinger menyebut pula orang-orang asing lain di Sumbawa, misalnya dari Jawa, Bali, Sasak, dan Manggarai. Mereka adalah keturunan dari orang-orang yang datang pada abad sebelumnya Syamsuddin, 19829. Seperti halnya dengan kesultanan Bima, kesultanan Sumbawa juga menjalin hubungan dan berorientasi ke utara yaitu Sulawesi Makasar yang ditindaklanjuti dengan perkawinan politik untuk mengimbangi apa yang dilakukan oleh kesultanan Bima. Di samping itu hubungan dan orientasi kesultanan Sumbawa juga di arahkan ke barat semula menunjukkan perhatian ke Selaparang Lombok dimana Sumbawa sempat menguasai Lombok bagian timur namun harus berkompetisi dengan Bali yang akhirnya Sumbawa terdesak pada abad ke-18. Namun pada abad ke-19 setelah beberapa tahun Indonesia merdeka Sumbawa-Lombok bersatu kembali menjadi provinsi Nusa Tenggara Barat dengan ibu kotanya Mataram sampai saat Lawas sebagai Puisi RakyatMembicarakan sastra lisan sebagai sastra rakyat yang tumbuh, hidup, dan berkembang dalam masyarakatnya di wilayah Nusantara menjadi sangat menarik, mengingat bentuk ekspresi yang berbeda-beda. Menurut Hutomo 199160 dalam sastra lisan atau kesusastraan lisan ekspresi kesusastraan masyarakat sebenarnya dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu 1 sastra lisan yang lisan murni adalah sastra lisan yang benar-benar dituturkan secara lisan; dan 2 sastra lisan yang setengah lisan adalah sastra lisan yang penuturannya dibantu oleh bentuk-bentuk seni yang lain. Dalam sastra lisan murni seperti puisi rakyat disampaikan dengan dilagukan/diiramakan menggunakan irama/tembang. Sastra lisan yang setengah lisan disampaikan dengan bantuan seni lain seperti gendang, rebana, gong, seruling, dan sebagainya. Dari segi genre atau jenis sastra lisan dapat berbentuk puisi rakyat, prosa rakyat, dan teater sebagai puisi rakyat dikatakan sebagai ciptaan manusia yang dilahirkan dan dinyatakan dengan bahasa, baik lisan maupun tulisan yang menimbulkan rasa keindahan dan keharuan dalam lubuk jiwa manusia Rayes, 19914. Lawas sebagai puisi rakyat hingga kini masih tetap menjadi bentuk ekspresi masyarakatnya sebagai milik bersama rakyat bersahaja secara turun-temurun folk literature. Lalu Manca mengemukakan bahwa lawas dikatakansama dengan sanjak yang pertama kali diperkenalkan oleh seorang pujangga dari kota Lawas. Lawas dikatakan mendapat pengaruh “Elompugi” Elong Ugi syair Bugis. Lawas adalah syair yang terdiri dari 3,4,6 baris dan tiap barisnya terdiri dari delapan suku kata 198434. Mengenai kata lawas yang diidentikkan dengan nama salah satu kota asal pujangga yang membawanya banyak budayawan Sumbawa menolak perkiraan itu, karena lawas tumbuh, hidup dan berkembang dari bahasa Samawa. Sumarsono,dkk. dalam Kamus Sumbawa-Indonesia terbitan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, lawas adalah sejenis puisi tradisi khas Sumbawa, umumnya terdiri dari tiga baris, biasa dilisankan pada upacara-upacara tertentu 198575. Sebagai bentuk ekspresi yang paling dikenal dalam masyarakat, lawas merupakan cermin jiwa anak-anak, getar sukma muda-mudi, dan orang tua. Berdasarkan ekspresinya kandungan isi lawas dikenal sebagai lawas tau ode anak-anak, lawas taruna dadara muda-mudi, dan lawas tau loka orang tua.Lawas Tau Ode, lawas yang isinya tentang dunia anak-anak. Lawas anak-anak biasanya disampaikan sebagai bentuk ekspresi rasa kasih sayang seorang ibu atau kakak yang sedang mengasuh sang bayi, lawas jenis ini biasanya disampaikan saat akan intan mua dewa Duhai sayang duhai gustiMua bulaeng tu tino Duhai emas yang di dulangCante jina asi diri Sungguh pandai meratap diriLawas Taruna-Dadara, lawas yang isinya tentang perkenalan, percintaan, perpisahan, dan lain sumpama kulalo Seandainya aku bertandangKutarepa bale andi Mampir di rumah adindaBeleng ke rua e nanta Adakah gerangan belas kasihanLawas Tau Loka, lawas yang isinya tentang nasehat atau pesan bersifat dedaktis yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya atau kepada yang lebih muda. Lawas ini biasanya berisikan ajaran moral, agama dan lawas ini sering dipakai untuk menasehati pasangan pelajar we ate Patuhi ajaran wahai sukmaNamun pina buat lenge Jangan tunaikan laku burukPola tu leng desa tau Tahu diri dirantau orangLawas sebagai puisi rakyat yang hidup dalam masyarakat Samawa telah dijadikan sebagai performing art karena di dalam penyajian/ penyampaian lawas menggunakan irama lagu tertentu temung yang disesuaikan dengan bentuk penyampaiannya. Penyampaian lawas Samawa secara garis besar ada dua versi yang dikenal dengan versi Ano Siyup daerah dibagian timur /tempat matahari terbit dan versi Ano Rawi daerah di bagian barat/ tempat matahari terbenam. Versi Ano Siyup berkembang di daerah tertentu yakni dibagian timur kabupaten Sumbawa Empang, Pelampang, Moyo Hilir/Hulu, Kota Sumbawa, versi ini dalam penyampaian lawas-nya mempunyai irama yang sedikit lebih lambat. Sedangkan versi Ano Rawi berkembang di daerah bagian barat kabupaten Sumbawa meliputi Kecamatan Utan, Alas, dan daerah kecamatan di Kab. Sumbawa Barat Taliwang, Seteluk,Jereweh, versi ini dalam penyampaian lawas-nya mempunyai irama yang lebih cepat, karena itu dalam penyapaian lawas sakeco yang menggunakan rebana versi ini biasanya memakai rebana ode yang suaranya lebih kecil dan lawas ada dalam berbagai bentuk dengan temung dan ada dengan peralatan musik seperti rebana ode, rea,serunae, gong genang, bentuk penyampaian tersebut seperti, balawas, gandang, saketa, ngumang, badede, basual, langko, dan bentuk penyampaian lawas dimana lawas yang disampaikan secara beramai-ramai oleh para wanita bianya dalam rangkaian perkawinan. Lawas yang biasanya disampaikan pada saat seperti ini disesuaikan dengan upacara yang dilaksanakan, seperti pengantin sedang barodak luluran atau setelah akad nikah, resepsi perkawinan biasanya lawas yang dilantunkan adalah lawas muda-mudi dan lawas yang berisi sekelompok muda-mudi yang melantunkan lawas dengan diiringi serune seruling atau pukulan alu. Jika lawas disampaikan dengan iringan seruling disebut gandang suling, sedangkan jika diiringi pukulan alu disebut gandang lawas yang dikumandangkan oleh sekelompok orang sebagai pernyataan kegirangan atau pembangkit semangat saat mengadakan permainan rakyat atau bergotong royong membangun rumah dan mengangkat kayu-kayu untuk lawas yang disampaikan pada saat acara karapan kerbau dan berempuk tarung tradisional ala Samawa dimana bertujuan untuk menyemangati para peserta dan juga membangkitkan semangatnya dengan menyampaikan menembangkan lawas yang ditujukan untuk anak menjelang tidur menina bobokan. Lawas yang biasanya dinyanyikan oleh seorang ibu atau kakak yang meninabobokan atau mengasuh bayi, dan lawas yang disampaikannya pun adalah lawas permohonan kepada Tuhan agar anak panjang umur, berguna bagi keluarga, agama, nusa dan berasal dari kata sual artinya soal, basual adalah menyampaikan soal yang berupa sampiran dari sebuah lawas dan mengharapkan jawaban berupa isi dari peserta yang hadir. Basual biasanya dilakukan oleh masyarakat Samawa pada saat gotong royong mengerjakan rumah atau sedang memotong padi di sawah atau setelah acara perkawinan penyampaian lawas yang dilakukan oleh sekelompok pemuda dan sekelompok pemudi yang saling beradu lawas cinta. Lawas yang disampaikan dalam langko berbeda dengan basual, dimana saat malangko lawas yang disampaikan harus dijawab dengan lawas yang tidak kalang pentingnya adalah keindahan bentuk penyampaian lawas yang paling digemari oleh masyarakat Samawa karena isi dan bentuk penyampaiannya yang sangat komunikatif, dan lawas yang disampaikannya pun dari berbagai jenis dengan irama temung yang sangat variatif. Sakeco sebagai seni penyampaian lawas menggunakan rebana sebagai pengiringnya yang selalu menyesuaikan dengan irama temung. Berbagai konfigurasi telah terbangun di antara pilar-pilar yang membangun lawas sebagai puisi rakyat, apakah pilar berupa bentuk lawas, pilar isi yang menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang berkembang dan juga muatan kepentingan, serta pilar yang berwujud penyampaian sebagai bentuk kedekatan lawas dengan masyarakatnya dalam menjalin komunikasi sekaligus sebagai media pewarisan puisi Tonggak Budaya SamawaLawas yang dikenal luas dalam masyarakat Samawa tidak diketahui kapan kemunculannya sebagai sastra lisan yang hidup secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya yang penyebarannya dari mulut ke mulut. Menyadari akan keberadaannya sebagai sastra lisan, lawas sulit untuk ditelusuri kapan mulainya dan bagaimana awal mula bentuk dan pemanfaatannya oleh masyarakat Samawa. Data-data sejarah mengenai awal keberadaan lawas belum pernah dijumpai sampai saat ini Rayes, 19913.Lawas yang berinduk pada bahasa Samawa tak dapat pula diketahui kapan mulai pertumbuhannya di tengah-tengah masyarakat. Yang jelas ketika penduduk Sumbawa hidup dalam lingkungan masyarakat yang masih primitif, di saat itulah bahasa Sumbawa awal mulanya tumbuh setelah melalui berbagai proses dan pembauran kebudayaan aneka suku bangsa yang menghuni tana Samawa. Lawas telah menjadi bagian dari bentuk ekspresi masyarakat dalam berbagai aktivitas kehidupannya, seakan lawas adalah tempat mereka berkeluh kesah, bersenda gurau, merekam berbagai peristiwa, merenungkan berbagai nilai-nilai kebijakan baik dalam bentuk petuah adat maupun dalam kehidupan kultur manusia mula pertama hanya berperan sebagai alat ekspresi suasana batin manusia dan sebagai alat perekam peristiwa di seputar kehidupannya. Jika suasana batin manusia diliputi haru, sendu, gundah-gulana karena musibah atau datangnya bencana yang mengancam hidupnya maka untuk menanggulanginya dicurahkan perasaannya dalam bentuk kata-kata bertuah/mantra untuk mengusirnya. Mereka memberi jampi pada senjata yang mengawal hidupnya, mengadakan pemujaan lewat mantra-mantra untuk mengusir hal-hal yang menimbulkan marabahaya Rayes, 19913.Gambaran di atas mengingatkan kita awal mula kepercayaan masyarakat pada animisme yang pernah ada pada masyarakat Samawa zaman dahulu. Agaknya inilah peran awal kemunculan lawas yang diawali dari mantra sebagai bentuk puisi yang dianggap paling tua di nusantara sejak kepercayaan salah satu ciri dari sastra lisan pada umumnya, lawas tidak dimiliki oleh perorangan tetapi merupakan milik bersama masyarakat kolektif Tau Samawa sebagai ciri dari masyarakat komunal. Karena itu lawas hidup pada setiap hati masyarakat pemiliknya, paling tidak setiap penduduk yang menghuni kabupaten Sumbawa mengenal lawas sebagai puisi rakyat. Sebagai puisi rakyat, lawas dilantunkan ketika memasuki pintu rumah sang gadis yang akan anar mo ku ngongko Dari tangga saya jongkokSanteris lawang ku sonap Selanjutnya pintu kulaluiPendi ke aku rua na Kasihanilah dirikuSetelah lawas dilantunkan barulah rombongan dipersilakan masuk ke dalam rumah sang gadis dan pembicaraan pun diawali dengan bait-bait lawas. Lawas hadir dalam berbagai aktivitas kehidupan mulai dari hiburan, upacara ritual adat hingga hajatan yang diselenggarakan pemerintah. Lawas telah menjadi salah satu bentuk pengungkapan maksud atau keinginan sekelompok orang. Lawas sering dipakai untuk memulai suatu pembicaraan, menyampaikan maksud dan juga menutup pembicaraan dalam sebuah pidato upacara adat atau resmi. Berikut contoh lawas menutup suatu ojong si parana Telah siap ku berpayungTiris no ku beang basa Tak kan ku biarkan basah kuyupUjan tampear ku keme Namun hujan lebat pun mengguyurKadatang sangka ku angkang Kuterima kedatangan anda dengan terbukaMole ku santuret kemang Pulang kami sertakan sekuntum bungaLema mampis bawa rungan Supaya membawa berita yang harumPeristiwa yang terekam lewat lawas telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakatnya dengan ekspresi dalam bentuk bahasa yang penuh daya puitik. Sebagai perekam peristiwa tidak sedikit cuplikan peristiwa, kritik terhadap ketidaknyamanan dalam kehidupan bermasyarakat, sejarah, cerita tertuang begitu indah dan runut tersaji melalui lawas tutir seperti Lalu Dia Lala Jinis, Merebat Bore, Kisah Batu Gong, Tanjung Menangis,Dadara Nesek dan masih banyak yang lainnya. Jelaslah dalam hal ini lawas telah menjadi media komunikasi dan sebagai tonggak kebudayaan masyarakat masyarakat Samawa mulai mengenal zaman tulisan lawas mulai ditulis walaupun kebanyakan lawas yang ditulis adalah lawas tutir cerita, silsilah, dan sejarah pahlawan sakti yang ditulis dengan satra jontal huruf Sumbawa yang mirip dengan aksara suku Bugis Lontara. Lawas yang ditulis dengan menggunakan aksara Sumbawa dalam lembaran daun lontar kemudian disimpan dalam tabung bambu yang dikenal dengan nama bumung. Karena disimpan dalam tabung bambu banyak lontar yang tidak terpelihara dengan baik sehingga lontar-lontar tersebut tidak lagi dapat dibaca untuk dikeahui lawas tidak hanya sampai pada merekam peristiwa saja, namun lawas ketika zaman tulisan oleh para seniman lawas juga menciptakan lawas-lawas keagamaan/lawas akhirat yang berisi pujian kepada Tuhan Yang Mahaesa dan keagungan/keluhuran agama Islam, lawas ini kemudian dikenal lawas pamuji. Di zaman Sultan Sumbawa seorang ulama terkenal yang juga seniman lawas menciptakan lawas agama, beliau adalah Haji Muhammad Dea Kandhi Alm buku Pamuji yang ditulis dalam huruf Arab berbahasa Sumbawa sampai kini masih tersimpan pada keturunan beliau dan orang-orang tertentu. Di zaman sekarang ini sudah banyak para pencipta lawas mendokumentasikannya dalam buku cetakan atau mengumpulkan lawas-lawas yang pernah hidup di zaman lisan kini sudah ada dalam bentuk cetakan. Salah satu buku yang diterbitkan oleh Kantor Arsip dan Perpustakaan Daerah Kabupaten Sumbawa 2007 karangan Usman Amin judul kumpulan lawas “Kukokat Lawas Siya” yang memuat Lawas Dunia & Pergaulan dan Lawas Akhirat & sebagai sastra lisan dalam penyebarannya disampaikan dalam berbagai bentuk pertunjukan dalam berbagai kesempatan, sehingga lawas menjadi performing art yang selalu menarik penggemarnya untuk menyaksikan walaupun harus samapai semalam suntuk. Pertunjukan lawas telah menjadi bagian dari setiap acara kegiatan baik adat maupun acara-acara keagamaan atau acara resmi sehingga kurang lengkap tanpa kehadiran pertunjukan lawas terutama dalam bentuk sakeco yang banyak diminati masyarakatnya karena mampu menjadi media komunikasi yang efektif. Di kalangan pemerintah Daerah Sumbawapertunjukan lawas telah lama dipakai sebagai media untuk memasyarakatkan program pemerintah mulai dari ABRI Masuk Desa, Keluarga Berencana, Kesehatan, P4, Kampanye Parpol, pariwisata, dan lain sebagainya. Dari gambaran di atas jelaslah bahwa hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat Samawa mewarnai perkembangan lawas dan begitu pula sebaliknya lawas telah menjadi bagian dari tonggak kehidupan Konfigurasi Budaya NusantaraMenyimak perjalanan sejarah Sumbawa di masa lalu jelaslah bahwa interaksi masyarakat Sumbawa dengan orang-orang luar sudah berlangsung berabad-abad. Hubungan itu tentu saja dilakukan oleh suku-suku bangsa ini, baik di pulau Sumbawa sendiri maupun antar suku dan pulau maka berlangsunglah silih berganti antara kompetisi dan konflik, meskipun terjadi pula eksplorasi dan kooperasi. Cara-cara hidup yang masih eksklusif dari masing-masing kelompok etnis yang dianggap mempersulit interaksi kooperatif terbukti mampu dicairkan melalui kreasi-kreasi budaya. Akulturasi budaya yang begitu lama pada masyarakat Sumbawa kini telah menghasilkan berbagai konfigurasi budaya yang bernuansa etnis nusantara. Konfigurasi dalam konteks ini adalah wujud dari hasil perpaduan budaya yang dihadirkan dalam bidang seni khususnya pada puisi rakyat Sumbawa yang berupa dan gesekan kehidupan masyarakat menyebabkan terjadinya akulturasi budaya, hingga terjadinya keinginan untuk tukar-menukar dan saling mempengaruhi kebudayaan. Ini terjadi dalam bentuk puisi rakyat Sumabawa dimana bentuk lawas tiga baris sebagai pengaruh puisi lisan Bugis yakni “Elong, Kelong” yang sampai kini masih bertahan pada kolektif Bugis di beberapa wilayah pesisir pantai di NTB Sumbawa, Bima, Dompu, dan Lombok. Pengaruh bentuk ini dapat dibandingkan pada contoh muita Lihatlah bulan ituAliliq alibunna Lingkarannya bundarAtikkuq rilaling Bugis Begitu pula hatiku di dalamnyaKele tau barang kayu Walaupun orang itu tidak dikenalLamento sanyaman ate Kalau dia baik budinyaBenansi sanak parana Samawa Itulah dia saudara kitaDari data di atas kedekatan kedua bentuk puisi rakyat tersebut tampak dalam urutan penyampaian maksud dimana pada baris ke tiga menjadikan simpulan dari bait diperhatikan dari jumlah suku kata setiap barisnya tidaklah sama jumlah suku kata dalam lawas rata-rata 8 suku kata sedang elong rata-rata 7 suku kata. Kerajaan -budaya Makasar Goa yang sudah lama tahun 1600-an memasuki Kesultanan Sumbawa, dalam hubungan tersebut tidak menutup kemungkinan terjadinya interfensi budaya dan di samping adanya persebaran yang merata pada orang-orang Bugis di wilayah Sumbawa yang mempercepat proses tingginya interaksi tau Samawa dengan penduduk pendatang yang dengan segala tingkah polahnya telah menjadi inspirasi bagi para seniman tukang lawas dalam menciptakan lawas. Berbagai cerita berkembang dalam pergaulan antar komunitas, ia saling menjaga hubungan baik dalam kerangka menciptakan kedamaian di tana Samawa maka terciptalah sebuah lawas tutirprosa liris Kisah Batu Gong gubahan Haji Maswarang dari Desa Pamulung, Sumbawa. Kisah Batu Gong menceritakan dua sahabat yakni Garantung dari Makasar dan Kaki Ranggo dari Bali yang sama-sama terdampar di Labuhan Padi, tepatnya di Desa Orong Bawa di wilayah Kecamatan Utan mereka bersepakat menjadi sahabat untuk saling membentu membangun tana Samawa. Untuk mengenang persahabatan mereka lalu membangun sebuah tempat yang bernama Batu Gong di sana ada sekumpulan batu yang berbentuk seperti gong besar yang dikelilingi oleh batu-batu kecil yang melambangkan persatuan seolah isi lawas tersebut membangun sebuah konfigurasi budaya Nusantara di tana Samawa. Berikut kutipan salah satu bait Kisah Batu Gong yang disampaikan dalam -Kajiranan po sia e Setelah itu ya TuanMufakat tau telu nan Bermufakat mereka bertigaBeling koa Kaki Ranggo Kaki Ranggo berkataOe Garantung balong ate Wahai Garantung yang baik hatiSaboe pangeto mu balong Mari amalkan pengetahuanmuCoba tupina batu gong Coba kita buat batu gongAda detu bilin mate Agar ada yang kita tinggalkan matiLemanakata lupa kita Kita tidak akan dilupakanDadi sajara pang mudi Nantinya akan menjadi sejarahMasa si era ya bangun Diakhir masa nanti dibangunDadi tokal pariwisata Jadi tempat pariwisataKunjungan ling s area tau Di datangi oleh semua orang- -Batu Gong hingga saat ini menjadi sebuah tempat pariwisata di Sumabawa yang ramai dikunjungi wisatawan, seolah-olah magnet Batu Gong yang terpancar dari dua sahabat berbeda suku dan agama telah lama menanamkan semangat persatuan dan kebersamaan dengan menyingkirkan perbedaan yang ada. Inilah sebuah gambaran toleransi yang telah dibangun melalui media seni berupa yang disampaikan dalam sakeco memang penuh dengan pesan, sindiran, ejekan, dan terkadang lucu dan porno yang membuat para pendengar tersenyum sipu. Memang lawas yang dipertunjukkan sangat kontekstual dari segi isi, penanggap sakeco dapat memesan sesuatu kepada tukang lawas agar keinginan pemesan bisa disampaikan kepeda penonton melalui pertunjukan lawas. Tukang lawas sangat menguasai formula lawas, yakni kelompok kata yang secara teratur digunakan dalam kondisi matra yang sama untuk mengemukakan ide pokok tertentu Lord, 197630.Pewarisan lawas sebagai puisi lisan dilakukan dari mulut ke mulut sejak zaman dahulu, pengaruh dan kemajuan zaman menyebabkan pewarisan disampaikan melalui seni pertunjukan. Pewarisan puisi lisan dalam masyarakat Sumbawa kini dilakukan dalam bentuk seni pertunjukan seperti pada sakeco. Sakeco muncul sebagai seni pertunjukan merupakan bentuk perkembangan dari Ratif yang melantunkan lagu-lagu yang bernafaskan Islam yang diiringi pukulan rebana. Mengingat ratif yang penuh dakwah menjadikan penonton kurang terhibur karena syair-syair yang dilantunkan diambil dari Kitab Hadroh yang berbahasa Arab. Ratif yang penuh dakwah menyebabkan penonton pendengar kurang mendapat hiburan yang sifatnya gembira atau lucu, hal ini menyebabkankehadiran lawas sebagai seni pertunjukan lawas mendapat tempat di hati sakeco pertama kali dimainkan oleh dua orang tukang lawas dari daerah ano rawi Taliwang bernama Zakaria dan Syamsuddin. Kedua pasangan ini selalu tampil melantunkan lawas-lawas Samawa dengan iringan rebana, pasangan ini dikenal dengan nama Sake panggilan untuk Zakaria dan Co panggilan untuk Syamsuddin yang kemudia Sake dan Co menjadi sebauh kata yaitu Sakeco. Pendapat lain ada yang mengatakan bahwa kata sakeco telah ada sebelum masuknya Islam ke tana Samawa dan tak mungkin istilah tersebut bentukan dari nama dua orang tersebut. Kata sakeco dalam tuturan sehari-hari bahasa Sumbawa tidak ada selain digunakan untuk istilah tersebut, karena itu kata sakeco perlu ditelusuri lebih jauh keberadaannya. Seni pertunjukan ini mendapat pengaruh Melayu dan Arab yang merupakan konfigurasi budaya Nusantara. Seni tabuh berupa rebana kita jumpai hampir disemua daerah di Indonesia dan sejenis sakeco kita temui dalam seni Kentrung di Jawa dapat dikategorikan sebagai seni pertunjukan rakyat yang berkembang di tengah-tengah masyarakat wong cilik. Kehidupan pertunjukan sakeco ditunjang oleh penanggapnya, tidak ada penjualan tiket dan jauh dari seni komersial. Dalam pertunjukan lawas sakeco antara pemain dengan penonton seakan tidak ada jarak, ikatan emosional pemain dan penonton begitu dekat. Sakeco dalam pertunjukannya menampilkan cerita rakyat berupa legenda, peristiwa sejarah atau kejadian-kejadian dalam kehidupan masyarakat yang digubah ke dalam lawas tutir cerita. Tutir yang berupa lawas disampaikan menggunakan temung yang disesuaikan dengan isi tutir itu sendiri sedih, gembira mereka sampaikan dengan penuh ekspresi. Selain itu dalam masyarakat Samawa juga dikenal seni bakelong, bentuk penyampaian elong Bugis yang juga dipadukan dengan lawas Samawa. Seni petunjukan ini juga cukup diminati oleh masyarakat Sumbawa. Seni pertunjukan di Nusantara telah mampu tumbuh dan beralkulturasi di daerah baru sebagai wujud PenutupLawas sebagai salah satu bentuk sastra lisan dalam masyarakat Sumbawa Samawa merupakan fenomena kebudayaan yang akan tetap hadir di tengah-tengah masyarakatnya. Sebagai hasil budaya lawas merupakan cerminan dari nilai-nilai yang hidup di zamannya, karena itu nilai budaya tersebut bersifat universal dan kontekstual. Lawas sebagai ekspresi masyarakat Samawa telah menyajikan sebuah konfigurasi budaya. Disadari atau tidak oleh masyarakat pemiliknya ternyata dalam perkembangannya lawas telah melahirkan berbagai konfigurasi sebagai gambaran keterbukaan masyarakat dalam menerima budaya orang lain yang dianggap masih sejalan dengan budaya Samawa. Konfigurasi ditunjukkan dalam bentuk struktur, isi, dan penyajian lawas. Pewarisan lawas sebagai puisi lisan dilakukan dari mulut ke mulut sejak zaman dahulu, pengaruh dan kemajuan zaman menyebabkan pewarisan disampaikan melalui seni pertunjukan. Pewarisan puisi lisan dalam masyarakat Sumbawa kini dilakukan dalam salah satu bentuk seni pertunjukan adalah PustakaAmin, Usman. 2007. Kukokat Lawas Siya Kumpulan Lawas Sumbawa. Sumbawa Kantor Arsip dan Perpustakaan Syaiful. 2008. Distribusi dan Pemetaan Bentuk/Jenis Karya Sastra yang Tumbuh dan Berkembang pada Masyarakat Tutur Bahasa Bugis di Kabupaten Sumbawa. Mataram Departemen Pendidikan Nasional, Pusat Bahasa, Kantor Bahasa Provinsi James. 1991. Folklor Indonesia Ilmu Gosip, Dongeng dan lain-lain. Jakarta NTB. 1988. Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat. Mataram Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudyaan Suripan Sadi. 1991. Mutiara yang Terlupakan. Malang Mitra Alam Albert B. 1976. The Singer of Tales. New York Lalu. 1984. Sumbawa pada Masa Lalu Suatu Tinjauan Sejarah. Surabaya J. terjemahan Muslimin Jasin. 2007. Sejarah Sumbawa. Yogyakarta RIAK Riset Informasi dan Arsip Kenegaraan.Rayes, Dinullah. 1991. Makalah, Lawas Puisi Lisan Tradisional Salah Satu Pilar Kesenian Daerah 1994/1995. Makalah, Nilai Relegi dalam Elong Ugi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Balai Penelitian Bahasa di Ujung Helius. 1982. Makalah, Hubungan Antar Pulau dan Interaksi Antar Suku Made. 2002. Tesis, Wacana Seni Balawas dalam Masyarakat Samawa. Denpasar Program Pascasarjana Univ. VITAEN a m a MADE SUYASATempat/tgl. Lahir Selat, Karangasem, 09 April Jl. Menjangan No. 20, Kopertis Wilayah VIII Denpasar dpk. FKIP - Univ. Muhammadiyah MataramPendidikan S1 Pend. Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP-UNUD di Singaraja, Linguistik Konsentarasi Kajian Wacana Sastra, Pascasarjana-UNUD, - Dosen Kopertis Wilayah VIII dpk FKIP- UM Mataram- Ketua Jurs. Pend. Bahasa dan Seni, FKIP–UM Mataram- Ketua Badan Penyelenggara Akademi Pariwisata Anggota Lembaga Penelitian, UM Anggota Lembaga Kajian Pariwisata, Akademi Pariwaisata Mataram- Ketua Redaksi Majalah Ilmiah Linguawisata Akademi Pariwisata Mataram.
LANGIT7ID - 10 Muharram diperingati sebagai tragedi terbunuhnya Cucu Nabi Muhammad SAW, Sayyidina Husein di Karbala. Bagi kelompok Syi'ah, peristiwa tersebut jadi momen menyulut kebencian kepada sekelompok sahabat Nabi yang lain. Pengasuh Pondok Pesantren Al-Bahjah, Buya Yahya, menegaskan bahwa peristiwa terbunuhnya Sayyidina Husein tidak boleh jadi alasan untuk membenci para sahabat sebab
ArticlePDF Available AbstractSastra lisan merupakan media pengungkap ekspresi manusia yang hidup dan berkembang pada masyarakat pemiliknya. Sastra lisan sebagai fenomena budaya merupakan cerminan dari kandungan nilai yang hidup pada masyarakat di zamannya, karena itu nilai budaya tersebut sangat bersifat konstektual. Masyarakat Sumbawa Samawa mempunyai karya sastra lisan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, salah satunya dalam bentuk puisi lawas.Lawas dikenal luas pada masyarakat Samawa sejak zaman dahulu sampai saat ini. Lawas begitu melekat dalam kehidupan masyarakat Samawa sehingga lawas mempunyai berbagai bentuk ekspresi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakatnya. Lawas yang mempunyai berbagai bentuk ekspresi disajikan dalam berbagai konfigurasi. Disadari atau tidak oleh masyarakat pemiliknya ternyata dalam perkembangannya lawas telah melahirkan berbagai konfigurasi sebagai gambaran keterbukaan masyarakat dalam menerima budaya orang lain yang dianggap masih sejalan dengan budaya Samawa. Konfigurasi ditunjukkan dalam bentuk struktur, isi, dan penyajian lawas, seperti dalam penyajian lawas pada yang terbangun dalam sastra lisan lawas mencerminkan gambaran budaya Nusantara sebagai wujud persahabatan dan berterimanya terhadap budaya lain. Bentuk lawas mempunyai kesamaan dengan pantun Bugis dan patu’u Bima ditunjukkan dari jumlah baris, yakni yang mempunyai bentuk tiga baris. Isi lawas sangat kontektual. Peristiwa dalam berbagai lapisan masyarakat mampu terakomodasi dengan baik menjadikan lawas sebagai media persahabatan. Lawas sebagaimana sastra lisan yang lain ciri utama penyampaiannya dalam bentuk pertunjukkan seperti, sakeco, ngumang, begero, saketa yang memadukan berbagai peralatan seperti rebana ode/rea, serunae, genang dan sebagainya yang banyak digunakan oleh masyarakat di luar Samawa. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. Lawas Samawa dalam Konfigurasi Budaya Nusantara Made Suyasa Abstrak Sastra lisan merupakan media pengungkap ekspresi manusia yang hidup dan berkembang pada masyarakat pemiliknya. Sastra lisan sebagai fenomena budaya merupakan cerminan dari kandungan nilai yang hidup pada masyarakat di zamannya, karena itu nilai budaya tersebut sangat bersifat konstektual. Masyarakat Sumbawa Samawa mempunyai karya sastra lisan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, salah satunya dalam bentuk puisi lawas. Lawas dikenal luas pada masyarakat Samawa sejak zaman dahulu sampai saat ini. Lawas begitu melekat dalam kehidupan masyarakat Samawa sehingga lawas mempunyai berbagai bentuk ekspresi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakatnya. Lawas yang mempunyai berbagai bentuk ekspresi disajikan dalam berbagai konfigurasi. Disadari atau tidak oleh masyarakat pemiliknya ternyata dalam perkembangannya lawas telah melahirkan berbagai konfigurasi sebagai gambaran keterbukaan masyarakat dalam menerima budaya orang lain yang dianggap masih sejalan dengan budaya Samawa. Konfigurasi ditunjukkan dalam bentuk struktur, isi, dan penyajian lawas, seperti dalam penyajian lawas pada sakeco. Konfigurasi yang terbangun dalam sastra lisan lawas mencerminkan gambaran budaya Nusantara sebagai wujud persahabatan dan berterimanya terhadap budaya lain. Bentuk lawas mempunyai kesamaan dengan pantun Bugis dan patu’u Bima ditunjukkan dari jumlah baris, yakni yang mempunyai bentuk tiga baris. Isi lawas sangat kontektual. Peristiwa dalam berbagai lapisan masyarakat mampu terakomodasi dengan baik menjadikan lawas sebagai media persahabatan. Lawas sebagaimana sastra lisan yang lain ciri utama penyampaiannya dalam bentuk pertunjukkan seperti, sakeco, ngumang, begero, saketa yang memadukan berbagai peralatan seperti rebana ode/rea, serunae, genang dan sebagainya yang banyak digunakan oleh masyarakat di luar Samawa. Kata Kunci Sastra lisan, lawas, budaya Pengajar pada Universitas Muhammadiyah Mataram ... Konfigurasi Budaya NusantaraMade Suyasa 1. Pengantar Etnis Sumbawa Samawa mempunyai karya sastra lisan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat sejak zaman dahulu, salah satunya dalam bentuk puisi lisan. Puisi lisan yang dikenal dengan nama lawas merupakan media komunikasi dan ekspresi bagi masyarakat pemiliknya. Lawas sebagai fenomena budaya merupakan cerminan dari nilai-nilai yang hidup pada masyarakat di zamannya, karena itu nilai budaya tersebut sangat bersifat kontekstual. Lawas sebagai salah satu bentuk sastra lisan dalam masyarakat Sumbawa Samawa merupakan fenomena kebudayaan yang akan tetap hadir di tengah-tengah masyarakatnya. Cerminan nilai budaya daerah telah digunakan dalam mengembangkan budaya nasional, sehingga menempatkan sastra lisan sebagai bagian dari kebudayaan nasional yang harus dilestarikan. Maka sudah sepantasnyalah mendapatkan perhatian dari semua pihak untuk menindaklanjuti semua itu dalam berbagai bentuk kegiatan. Lawas telah dimanfaatkan secara luas oleh masyarakatnya dalam berbagai aktivitas kehidupan, seperti saat menuai padi, karapan kerbau, upacara adat keagamaan seperti perkawinan dan sunatan, serta dalam berbagai bentuk hiburan. Lawas tidak dimiliki oleh perorangan tetapi merupakan milik bersama masyarakat sebagaimana sastra lisan yang hidup di daerah lain. Secara turun temurun lawas dalam penyampaiannya dinyanyikan baik oleh perorangan maupun kelompok yang disebut balawas. Balawas kemudian menjadi sebuah seni penyampaian lawas yang dipertunjukkan dihadapan orang banyak untuk keperluan upacara adat atau hiburan. Balawas di samping memanfaatkan lawas dan temung tembang ada juga memanfaatkan seni lain sebagai pendukungnya yakni seni musik. Balawas kemudian menjadi seni menyampaikan lawas yang Mabasan – Vol. 3 No. 1 Januari—Juni 2009 86-106 dikenal dalam bentuk saketa, gandang, ngumang, sakeco, langko, badede, dan basual Suyasa, 20027. Kehidupan sastra lisan akan selalu mengalami perubahan sesuai dengan dinamika masyarakat pemiliknya Tuloli,19912. Perubahan tersebut meliputi pola dan cara pandang tentang kehidupan, serta terbatasnya kemampuan masyarakat dalam menginterpretasikan warisan budaya yang diterimanya. Kemampuan yang terbatas pada masyarakat dalam mewarisi kekayaan budaya yang berupa sastra lisan serta adanya arus pengaruh dari luar akan menyebabkan hilangnya beberapa bentuk sastra serta terjadinya pergeseran makna, fungsi, dan timbulnya variasi bentuk. 1984330 mengatakan bahwa sastra lisan pun sering mempunyai dinamika intrinsik yang kuat sekali ataupun berubah akibat pengaruh asing tulis atau lisan. Sastra lisan di Indonesia sangat memungkinkan terjadinya perubahan, hal ini akibat pergesekan antar budaya yang sangat tinggi walaupun pada beberapa ragam dasar barangkali bertahan lama. Disadari atau tidak oleh masyarakat pemiliknya ternyata dalam perkembangannya lawas telah melahirkan berbagai konfigurasi sebagai gambaran keterbukaan masyarakat dalam menerima budaya orang lain yang dianggap masih sejalan dengan budaya Samawa. Konfigurasi ditunjukkan dalam bentuk struktur, isi, dan penyajian lawas. Konfigurasi yang terbangun dalam sastra lisan lawas mencerminkan gambaran budaya Nusantara sebagai wujud persahabatan dan berterimanya terhadap budaya lain. Bentuk lawas juga mempunyai beberapa kesamaan seperti dengan pantun Bugis dan patu’u Bima ditunjukkan dari jumlah baris yakni yang mempunyai betuk tiga baris. Isi lawas sangat kontektual peristiwa dalam berbagai lapisan masyarakat mampu terakomodasi dengan baik menjadikan lawas sebagai media ... Konfigurasi Budaya NusantaraMade Suyasa komunikasi dan persahabatan. Lawas sebagai mana sastra lisan yang lain ciri utama penyampaiannya dalam bentuk pertunjukan lisan seperti, balawas, sakeco, saketa, ngumang, gandang, langko, badede, basual yang juga memadukan berbagai peralatan seperti rebana ode/rea, serunae, genang dan lain sebagainya yang punya kemiripan dengan daerah di luar Samawa. Ekspresi sastra lisan lawas Samawa yang tercermin dalam bentuk, isi, dan penyajian lawas merupakan bagian dari sebuah gambaran konfigurasi budaya Nusantara yang perlu ditelusuri lebih jauh untuk mengetahui keberadaannya dalam masyarakat, proses perkembangannya, dan ragam penyampaiannya yang sangat kontekstual. Dalam konteks ini budaya sebagai wahana perekat antar masyarakat antar suku bangsa setidaknya mampu meminimalkan berbagai persoalan yang muncul dikemudian hari. Dalam tulisan singkat ini penulis mencoba untuk mengangkat persoalan ini dengan harapan akan dapat memberikan informasi tentang keberadaan lawas Samawa dengan berbagai bentuk dan perkembangannya. Di samping itu, sebagai bentuk kepedulian kita terhadap keberadaan sastra lisan yang semakin lama semakin sedikitnya mendapat perhatian dari para peneliti sastra dan juga masyarakat pemiliknya termasuk pemerintah daerah. Sebagai bentuk penyadaran akan betapa besarnya sumbangan yang telah diberikan oleh sastra lisan lawas sejak zaman dahulu hingga saat ini dalam menjaga nilai-nilai kearifan budaya lokal dan nusantara. Mabasan – Vol. 3 No. 1 Januari—Juni 2009 86-106 2. Pembahasan Perjalanan Sejarah Sumbawa Sumbawa adalah sebuah pulau yang ditempati oleh empat kabupaten dan satu kota madya, lawas tumbuh, hidup, dan berkembang di dua kabupaten yaitu Kabupaten Sumbawa dan Kabupaten Sumbawa Barat KSB yang dulunya menjadi satu kabupaten dan pada beberapa tahun yang lalu berpisah membentuk kabupaten sendiri yaitu KSB. Namun kedua kabupaten ini mempunyai sejarah perkembangan yang sama dan bahasa yang sama yakni bahasa Sumbawa, Kota Sumbawa Besar sebagai pusat pemerintahan pada zaman Kesultanan Sumbawa telah menjadi pusat peradaban kebudayaan Samawa, dan dari sinilah simpul-simpul budaya Samawa menyebar ke wilayah timur dan barat Sumbawa. Beberapa catatan sejarah menunjukkan bahwa nama Sumbawa sudah dikenal dalam berita Cina tahun 1225 dari Chau-Ju-Kua yang menulis Chu-Fan-Chi, yang menyebut nama Sumbawa sebagai daerah taklukan kerajaan Kediri Jawa. Dalam syair ke empat belas dari Negara Kertagama 1365 disebut nama tertinggi pulau Sumbawa yang telah menjadi bagian dari Kerajaan Majapahit seperti Taliwang, Dempo Dompu, Sapi Sape, Bhima Bima, Ceran seran, seteluk, Hutan Utan. Nama Sumbawa juga muncul dalam Kidung Ranggalawe dan Kidung Pamancangah yang menyebut kuda-kuda Sumbawa yakni di Kere Bima tepatnya di teluk Sanggar bagus. Selain itu, dalam Kidung Pamancangah disebut pula tentang penguasa Bedahulu Bedulu Bali yang bernama Ki Pasung Grigis atas perintah Jawa mengadakan ekspedisi Chambhawa Sumbawa. Catatan sejarah berlanjut ketika mulai masuknya Islam yang menurut Zollinger bahwa Islam masuk ke pulau Sumbawa antara tahun 1440-1450 dan agama ini tersiar dari Jawa. ... Konfigurasi Budaya NusantaraMade Suyasa Dalam Babad Lombok juga dikatakan bahwa Islam dari Jawa masuk ke Sumbawa, Dompu, dan Bima melalui Lombok, namun hal ini dibantah dalam Bo Mbojo Kronik Bima yang menyatakan bahwa Islam masuk ke Bima via Makasar. Zollinger 1850 menyebut adanya interaksi yang cukup menarik di luar penduduk asli Sumbawa yakni adanya kehadiran sejumlah besar orang-orang Bugis, Makasar, dan Bajo yang berdiam di sepanjang pantai utara Sumbawa. Ligchvoet 1876 juga menyebutkan selain kedatangan orang Bugis dan Makasar ke pulau ini juga ke datangan orang Selayar, Mandar, dan Arab. Sumbawa tampaknya menjadi daerah yang sangat menarik dan terbuka bagi setiap pendatang sehingga pulau ini menjadi semakin beragam penghuninya yakni dari berbagai suku bangsa. Lebih dari seperempat abad sebelum Ligchvoet dan Zollinger menyebut pula orang-orang asing lain di Sumbawa, misalnya dari Jawa, Bali, Sasak, dan Manggarai. Mereka adalah keturunan dari orang-orang yang datang pada abad sebelumnya Syamsuddin, 19829. Seperti halnya dengan kesultanan Bima, kesultanan Sumbawa juga menjalin hubungan dan berorientasi ke utara yaitu Sulawesi Makasar yang ditindaklanjuti dengan perkawinan politik untuk mengimbangi apa yang dilakukan oleh kesultanan Bima. Di samping itu, hubungan dan orientasi kesultanan Sumbawa juga di arahkan ke barat semula menunjukkan perhatian ke Selaparang Lombok dimana Sumbawa sempat menguasai Lombok bagian timur namun harus berkompetisi dengan Bali yang akhirnya Sumbawa terdesak pada abad ke-18. Namun pada abad ke-19 setelah beberapa tahun Indonesia merdeka Sumbawa-Lombok bersatu kembali menjadi provinsi Nusa Tenggara Barat dengan ibu kotanya Mataram sampai saat ini. Mabasan – Vol. 3 No. 1 Januari—Juni 2009 86-106 Lawas sebagai Puisi Rakyat Membicarakan sastra lisan sebagai sastra rakyat yang tumbuh, hidup, dan berkembang dalam masyarakatnya di wilayah Nusantara menjadi sangat menarik, mengingat bentuk ekspresi yang berbeda-beda. Menurut Hutomo 199160 dalam sastra lisan atau kesusastraan lisan ekspresi kesusastraan masyarakat sebenarnya dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu 1 sastra lisan yang lisan murni adalah sastra lisan yang benar-benar dituturkan secara lisan; dan 2 sastra lisan yang setengah lisan adalah sastra lisan yang penuturannya dibantu oleh bentuk-bentuk seni yang lain. Dalam sastra lisan murni seperti puisi rakyat disampaikan dengan dilagukan/diiramakan menggunakan irama/tembang. Sastra lisan yang setengah lisan disampaikan dengan bantuan seni lain seperti gendang, rebana, gong, seruling, dan sebagainya. Dari segi genre atau jenis sastra lisan dapat berbentuk puisi rakyat, prosa rakyat, dan teater rakyat. Lawas sebagai puisi rakyat dikatakan sebagai ciptaan manusia yang dilahirkan dan dinyatakan dengan bahasa, baik lisan maupun tulisan yang menimbulkan rasa keindahan dan keharuan dalam lubuk jiwa manusia Rayes, 19914. Lawas sebagai puisi rakyat hingga kini masih tetap menjadi bentuk ekspresi masyarakatnya sebagai milik bersama rakyat bersahaja secara turun-temurun folk literature. Lalu Manca mengemukakan bahwa lawas dikatakan sama dengan sanjak yang pertama kali diperkenalkan oleh seorang pujangga dari kota Lawas. Lawas dikatakan mendapat pengaruh “Elompugi” Elong Ugi syair Bugis. Lawas adalah syair yang terdiri dari 3,4,6 baris dan tiap barisnya terdiri dari delapan suku kata Manca, 198434. Mengenai kata lawas yang diidentikkan dengan nama salah satu kota asal pujangga yang membawanya banyak budayawan Sumbawa menolak perkiraan itu, ... Konfigurasi Budaya NusantaraMade Suyasa karena lawas tumbuh, hidup dan berkembang dari bahasa Samawa. Sumarsono,dkk. dalam Kamus Sumbawa-Indonesia terbitan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, lawas adalah sejenis puisi tradisi khas Sumbawa, umumnya terdiri dari tiga baris, biasa dilisankan pada upacara-upacara tertentu 198575. Sebagai bentuk ekspresi yang paling dikenal dalam masyarakat, lawas merupakan cermin jiwa anak-anak, getar sukma muda-mudi, dan orang tua. Berdasarkan ekspresinya kandungan isi lawas dikenal sebagai lawas tau ode anak-anak, lawas taruna dadara muda-mudi, dan lawas tau loka orang tua. Lawas Tau Ode, lawas yang isinya tentang dunia anak-anak. Lawas anak-anak biasanya disampaikan sebagai bentuk ekspresi rasa kasih sayang seorang ibu atau kakak yang sedang mengasuh sang bayi, lawas jenis ini biasanya disampaikan saat akan menidurkannya. Dede intan mua dewa Duhai sayang duhai gusti Mua bulaeng tu tino Duhai emas yang di dulang Cante jina asi diri Sungguh pandai meratap diri Lawas Taruna-Dadara, lawas yang isinya tentang perkenalan, percintaan, perpisahan, dan lain sebagainya. Ajan sumpama kulalo Seandainya aku bertandang Kutarepa bale andi Mampir di rumah adinda Beleng ke rua e nanta Adakah gerangan belas kasihan Lawas Tau Loka, lawas yang isinya tentang nasehat atau pesan bersifat dedaktis yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya atau kepada yang lebih muda. Lawas ini biasanya berisikan ajaran moral, agama dan lawas ini sering dipakai untuk menasehati pasangan pengantin. Mabasan – Vol. 3 No. 1 Januari—Juni 2009 86-106 Pati pelajar we ate Patuhi ajaran wahai sukma Namun pina buat lenge Jangan tunaikan laku buruk Pola tu leng desa tau Tahu diri dirantau orang Lawas sebagai puisi rakyat yang hidup dalam masyarakat Samawa telah dijadikan sebagai performing art karena di dalam penyajian/ penyampaian lawas menggunakan irama lagu tertentu temung yang disesuaikan dengan bentuk penyampaiannya. Penyampaian lawas Samawa secara garis besar ada dua versi yang dikenal dengan versi Ano Siyup daerah dibagian timur /tempat matahari terbit dan versi Ano Rawi daerah di bagian barat/ tempat matahari terbenam. Versi Ano Siyup berkembang di daerah tertentu yakni dibagian timur kabupaten Sumbawa Empang, Pelampang, Moyo Hilir/Hulu, Kota Sumbawa, versi ini dalam penyampaian lawas-nya mempunyai irama yang sedikit lebih lambat. Sedangkan versi Ano Rawi berkembang di daerah bagian barat kabupaten Sumbawa meliputi Kecamatan Utan, Alas, dan daerah kecamatan di Kab. Sumbawa Barat Taliwang, Seteluk, Jereweh, versi ini dalam penyampaian lawas-nya mempunyai irama yang lebih cepat, karena itu dalam penyapaian lawas sakeco yang menggunakan rebana versi ini biasanya memakai rebana ode yang suaranya lebih kecil dan melengking. Penyampaian lawas ada dalam berbagai bentuk dengan temung dan ada dengan peralatan musik seperti rebana ode, rea,serunae, gong genang, bentuk penyampaian tersebut seperti, balawas, gandang, saketa, ngumang, badede, basual, langko, dan sakeco. Balawas, bentuk penyampaian lawas dimana lawas yang disampaikan secara beramai-ramai oleh para wanita bianya dalam rangkaian perkawinan. Lawas yang biasanya disampaikan pada saat seperti ini disesuaikan dengan upacara yang dilaksanakan, seperti ... Konfigurasi Budaya NusantaraMade Suyasa pengantin sedang barodak luluran atau setelah akad nikah, resepsi perkawinan biasanya lawas yang dilantunkan adalah lawas muda-mudi dan lawas yang berisi nasehat. Gandang, sekelompok muda-mudi yang melantunkan lawas dengan diiringi serune seruling atau pukulan alu. Jika lawas disampaikan dengan iringan seruling disebut gandang suling, sedangkan jika diiringi pukulan alu disebut gandang nuja. Saketa, lawas yang dikumandangkan oleh sekelompok orang sebagai pernyataan kegirangan atau pembangkit semangat saat mengadakan permainan rakyat atau bergotong royong membangun rumah dan mengangkat kayu-kayu untuk menyemangati. Ngumang, lawas yang disampaikan pada saat acara karapan kerbau dan berempuk tarung tradisional ala Samawa dimana bertujuan untuk menyemangati para peserta dan juga membangkitkan semangatnya dengan menyampaikan lawas. Badede, menembangkan lawas yang ditujukan untuk anak menjelang tidur menina bobokan. Lawas yang biasanya dinyanyikan oleh seorang ibu atau kakak yang meninabobokan atau mengasuh bayi, dan lawas yang disampaikannya pun adalah lawas permohonan kepada Tuhan agar anak panjang umur, berguna bagi keluarga, agama, nusa dan bangsa. Basual, berasal dari kata sual artinya soal, basual adalah menyampaikan soal yang berupa sampiran dari sebuah lawas dan mengharapkan jawaban berupa isi dari peserta yang hadir. Basual biasanya dilakukan oleh masyarakat Samawa pada saat gotong royong mengerjakan rumah atau sedang memotong padi di sawah atau setelah acara perkawinan berlangsung. Mabasan – Vol. 3 No. 1 Januari—Juni 2009 86-106 Langko, penyampaian lawas yang dilakukan oleh sekelompok pemuda dan sekelompok pemudi yang saling beradu lawas cinta. Lawas yang disampaikan dalam langko berbeda dengan basual, dimana saat malangko lawas yang disampaikan harus dijawab dengan lawas yang tidak kalang pentingnya adalah keindahan temung. Sakeco, bentuk penyampaian lawas yang paling digemari oleh masyarakat Samawa karena isi dan bentuk penyampaiannya yang sangat komunikatif, dan lawas yang disampaikannya pun dari berbagai jenis dengan irama temung yang sangat variatif. Sakeco sebagai seni penyampaian lawas menggunakan rebana sebagai pengiringnya yang selalu menyesuaikan dengan irama temung. Berbagai konfigurasi telah terbangun di antara pilar-pilar yang membangun lawas sebagai puisi rakyat, apakah pilar berupa bentuk lawas, pilar isi yang menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang berkembang dan juga muatan kepentingan, serta pilar yang berwujud penyampaian sebagai bentuk kedekatan lawas dengan masyarakatnya dalam menjalin komunikasi sekaligus sebagai media pewarisan puisi rakyat. Tonggak Budaya Samawa Lawas yang dikenal luas dalam masyarakat Samawa tidak diketahui kapan kemunculannya sebagai sastra lisan yang hidup secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya yang penyebarannya dari mulut ke mulut. Menyadari akan keberadaannya sebagai sastra lisan, lawas sulit untuk ditelusuri kapan mulainya dan bagaimana awal mula bentuk dan pemanfaatannya oleh masyarakat Samawa. Data-data sejarah mengenai awal keberadaan lawas belum pernah dijumpai sampai saat ini Rayes, 19913. ... Konfigurasi Budaya NusantaraMade Suyasa Lawas yang berinduk pada bahasa Samawa tak dapat pula diketahui kapan mulai pertumbuhannya di tengah-tengah masyarakat. Yang jelas ketika penduduk Sumbawa hidup dalam lingkungan masyarakat yang masih primitif, di saat itulah bahasa Sumbawa awal mulanya tumbuh setelah melalui berbagai proses dan pembauran kebudayaan aneka suku bangsa yang menghuni tana Samawa. Lawas telah menjadi bagian dari bentuk ekspresi masyarakat dalam berbagai aktivitas kehidupannya, seakan lawas adalah tempat mereka berkeluh kesah, bersenda gurau, merekam berbagai peristiwa, merenungkan berbagai nilai-nilai kebijakan baik dalam bentuk petuah adat maupun agama. Kehadirannya dalam kehidupan kultur manusia mula pertama hanya berperan sebagai alat ekspresi suasana batin manusia dan sebagai alat perekam peristiwa di seputar kehidupannya. Jika suasana batin manusia diliputi haru, sendu, gundah-gulana karena musibah atau datangnya bencana yang mengancam hidupnya maka untuk menanggulanginya dicurahkan perasaannya dalam bentuk kata-kata bertuah/mantra untuk mengusirnya. Mereka memberi jampi pada senjata yang mengawal hidupnya, mengadakan pemujaan lewat mantra-mantra untuk mengusir hal-hal yang menimbulkan marabahaya Rayes, 19913.Gambaran di atas mengingatkan kita awal mula kepercayaan masyarakat pada animisme yang pernah ada pada masyarakat Samawa zaman dahulu. Agaknya inilah peran awal kemunculan lawas yang diawali dari mantra sebagai bentuk puisi yang dianggap paling tua di nusantara sejak kepercayaan animisme. Sebagaimana salah satu ciri dari sastra lisan pada umumnya, lawas tidak dimiliki oleh perorangan tetapi merupakan milik bersama masyarakat kolektif Tau Samawa sebagai ciri dari masyarakat komunal. Mabasan – Vol. 3 No. 1 Januari—Juni 2009 86-106 Karena itu lawas hidup pada setiap hati masyarakat pemiliknya, paling tidak setiap penduduk yang menghuni kabupaten Sumbawa mengenal lawas sebagai puisi rakyat. Sebagai puisi rakyat, lawas dilantunkan ketika memasuki pintu rumah sang gadis yang akan dipinangnya. Kaling anar mo ku ngongko Dari tangga saya jongkok Santeris lawang ku sonap Selanjutnya pintu kulalui Pendi ke aku rua na Kasihanilah diriku Setelah lawas dilantunkan barulah rombongan dipersilahkan masuk rumah sang gadis dan pembicaraan pun diawali dengan bait-bait lawas. Lawas hadir dalam berbagai aktivitas kehidupan mulai dari hiburan, upacara ritual adat hingga hajatan yang diselenggarakan pemerintah. Lawas telah menjadi salah satu bentuk pengungkapan maksud atau keinginan sekelompok orang. Lawas sering dipakai untuk memulai suatu pembicaraan, menyampaikan maksud dan juga menutup pembicaraan dalam sebuah pidato upacara adat atau resmi. Berikut contoh lawas menutup suatu pidato. Kaku ojong si parana Telah siap ku berpayung Tiris no ku beang basa Tak kan ku biarkan basah kuyup Ujan tampear ku keme Namun hujan lebat pun mengguyur Kadatang sangka Kuterima kedatangan anda ku angkang dengan terbuka Mole ku santuret kemang Pulang kami sertakan sekuntum bunga Lema mampis bawa rungan Supaya membawa berita yang harum Peristiwa yang terekam lewat lawas telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakatnya dengan ekspresi dalam bentuk bahasa yang penuh daya puitik. Sebagai perekam peristiwa tidak sedikit cuplikan peristiwa, kritik terhadap ketidaknyamanan dalam kehidupan ... Konfigurasi Budaya NusantaraMade Suyasa bermasyarakat, sejarah, cerita tertuang begitu indah dan runut tersaji melalui lawas tutir seperti Lalu Dia Lala Jinis, Merebat Bore, Kisah Batu Gong, Tanjung Menangis,Dadara Nesek dan masih banyak yang lainnya. Jelaslah dalam hal ini, lawas telah menjadi media komunikasi dan sebagai tonggak kebudayaan masyarakat Samawa. Ketika masyarakat Samawa mulai mengenal zaman tulisan, lawas mulai ditulis dengan satra jontal huruf Sumbawa yang mirip dengan aksara suku Bugis Lontara, walaupun kebanyakan lawas yang ditulis adalah lawas tutir cerita, silsilah, dan sejarah pahlawan sakti. Lawas yang ditulis dengan menggunakan aksara Sumbawa dalam lembaran daun lontar kemudian disimpan dalam tabung bambu yang dikenal dengan nama bumung. Karena disimpan dalam tabung bambu banyak lontar yang tidak terpelihara dengan baik sehingga lontar-lontar tersebut tidak lagi dapat dibaca untuk diketahui isinya. Perkembangan lawas tidak hanya sampai pada merekam peristiwa saja, namun lawas ketika zaman tulisan oleh para seniman lawas juga menciptakan lawas-lawas keagamaan/lawas akhirat yang berisi pujian kepada Tuhan Yang Mahaesa dan keagungan/keluhuran agama Islam, lawas ini kemudian dikenal lawas pamuji. Di zaman Sultan Sumbawa, seorang ulama terkenal yang juga seniman lawas, Haji Muhammad Dea Kandhi, menciptakan lawas agama yang ditulis dengan huruf Arab. Lawas tersebut terkumpul dalam buku Pamuji yang sampai kini masih tersimpan pada keturunan beliau dan orang-orang tertentu. Di zaman sekarang ini sudah banyak kumpulan lawas yang sudah dicetak atau diterbitkan, baik yang diciptakan sekarang maupun yang dikumpulkan dari lawas-lawas yang pernah hidup di zaman lisan dahulu. Salah satu buku yang diterbitkan oleh Kantor Arsip dan Perpustakaan Daerah Kabupaten Sumbawa 2007 adalah karangan Usman Amin yang Mabasan – Vol. 3 No. 1 Januari—Juni 2009 86-106 berjudul Kumpulan Lawas “Kukokat Lawas Siya” yang memuat Lawas Dunia & Pergaulan serta Lawas Akhirat & Keagamaan. Lawas sebagai sastra lisan dalam penyebarannya disampaikan dalam berbagai bentuk pertunjukan dalam berbagai kesempatan, sehingga lawas menjadi performing art yang selalu menarik penggemarnya untuk menyaksikan walaupun harus sampai semalam suntuk. Pertunjukan lawas telah menjadi bagian dari setiap acara kegiatan baik adat maupun acara-acara keagamaan atau acara resmi sehingga kurang lengkap tanpa kehadiran pertunjukan lawas terutama dalam bentuk sakeco yang banyak diminati masyarakatnya karena mampu menjadi media komunikasi yang efektif. Di kalangan pemerintah Daerah Sumbawa pertunjukan lawas telah lama dipakai sebagai media untuk memasyarakatkan program pemerintah mulai dari ABRI Masuk Desa, Keluarga Berencana, Kesehatan, P4, Kampanye Parpol, pariwisata, dan sebagainya. Dari gambaran di atas, jelaslah bahwa hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat Samawa mewarnai perkembangan lawas dan begitu pula sebaliknya lawas telah menjadi bagian dari tonggak kehidupan masyarakatnya. Konfigurasi Budaya Nusantara Menyimak perjalanan sejarah Sumbawa di masa lalu jelaslah bahwa interaksi masyarakat Sumbawa dengan orang-orang luar sudah berlangsung berabad-abad. Hubungan itu tentu saja dilakukan oleh suku-suku bangsa ini, baik di pulau Sumbawa sendiri maupun antar suku dan pulau maka berlangsunglah silih berganti antara kompetisi dan konflik, meskipun terjadi pula eksplorasi dan kooperasi. Cara-cara hidup yang masih eksklusif dari masing-masing kelompok etnis yang dianggap mempersulit interaksi kooperatif terbukti mampu dicairkan melalui ... Konfigurasi Budaya NusantaraMade Suyasa kreasi-kreasi budaya. Akulturasi budaya yang begitu lama pada masyarakat Sumbawa kini telah menghasilkan berbagai konfigurasi budaya yang bernuansa etnis nusantara. Konfigurasi dalam konteks ini adalah wujud dari hasil perpaduan budaya yang dihadirkan dalam bidang seni khususnya pada puisi rakyat Sumbawa yang berupa lawas. Pengaruh dan gesekan kehidupan masyarakat menyebabkan terjadinya akulturasi budaya, hingga terjadinya keinginan untuk tukar-menukar dan saling mempengaruhi kebudayaan. Ini terjadi dalam bentuk puisi rakyat Sumabawa dimana bentuk lawas tiga baris sebagai pengaruh puisi lisan Bugis yakni “Elong, Kelong” yang sampai kini masih bertahan pada kolektif Bugis di beberapa wilayah pesisir pantai di NTB Sumbawa, Bima, Dompu, dan Lombok. Pengaruh bentuk ini dapat dibandingkan pada contoh berikut. Ketengero muita Lihatlah bulan itu Aliliq alibunna Lingkarannya bundar Atikkuq rilaling Bugis Begitu pula hatiku di dalamnya Kele tau barang kayu Walaupun orang itu tidak dikenal Lamento sanyaman ate Kalau dia baik budinya Benansi sanak parana Itulah dia saudara kita Samawa Dari data di atas kedekatan kedua bentuk puisi rakyat tersebut tampak dalam urutan penyampaian maksud dimana pada baris ke tiga menjadikan simpulan dari bait tersebut. Jika diperhatikan dari jumlah suku kata setiap barisnya tidaklah sama jumlah suku kata dalam lawas rata-rata 8 suku kata sedang elong rata-rata 7 suku kata. Kerajaan budaya Makasar Goa yang sudah lama tahun 1600-an memasuki Kesultanan Sumbawa, dalam hubungan tersebut tidak menutup kemungkinan terjadinya interfensi budaya dan di samping adanya persebaran yang Mabasan – Vol. 3 No. 1 Januari—Juni 2009 86-106 merata pada orang-orang Bugis di wilayah Sumbawa yang mempercepat proses pembauran. Mengingat tingginya interaksi tau Samawa dengan penduduk pendatang yang dengan segala tingkah polahnya telah menjadi inspirasi bagi para seniman tukang lawas dalam menciptakan lawas. Berbagai cerita berkembang dalam pergaulan antar komunitas, ia saling menjaga hubungan baik dalam kerangka menciptakan kedamaian di tana Samawa maka terciptalah sebuah lawas tutir prosa liris Kisah Batu Gong gubahan Haji Maswarang dari Desa Pamulung, Sumbawa. Kisah Batu Gong menceritakan dua sahabat yakni Garantung dari Makasar dan Kaki Ranggo dari Bali yang sama-sama terdampar di Labuhan Padi, tepatnya di Desa Orong Bawa di wilayah Kecamatan Utan mereka bersepakat menjadi sahabat untuk saling membentu membangun tana Samawa. Untuk mengenang persahabatan mereka lalu membangun sebuah tempat yang bernama Batu Gong di sana ada sekumpulan batu yang berbentuk seperti gong besar yang dikelilingi oleh batu-batu kecil yang melambangkan persatuan seolah isi lawas tersebut membangun sebuah konfigurasi budaya Nusantara di tana Samawa. Berikut kutipan salah satu bait Kisah Batu Gong yang disampaikan dalam Sakeco. - - Kajiranan po sia e Setelah itu ya Tuan Mufakat tau telu nan Bermufakat mereka bertiga Beling koa Kaki Ranggo Kaki Ranggo berkata Oe Garantung balong ate Wahai Garantung yang baik hati Saboe pangeto mu balong Mari amalkan pengetahuanmu Coba tupina batu gong Coba kita buat batu gong Ada detu bilin mate Agar ada yang kita tinggalkan mati Lemanakata lupa kita Kita tidak akan dilupakan Dadi sajara pang mudi Nantinya akan menjadi sejarah Masa si era ya bangun Diakhir masa nanti dibangun Dadi tokal pariwisata Jadi tempat pariwisata ... Konfigurasi Budaya NusantaraMade Suyasa Kunjungan ling s area tau Di datangi oleh semua orang - - Batu Gong hingga saat ini menjadi sebuah tempat pariwisata di Sumbawa yang ramai dikunjungi wisatawan, seolah-olah magnet Batu Gong yang terpancar dari dua sahabat berbeda suku dan agama telah lama menanamkan semangat persatuan dan kebersamaan dengan menyingkirkan perbedaan yang ada. Inilah sebuah gambaran toleransi yang telah dibangun melalui media seni berupa lawas. Lawas-lawas yang disampaikan dalam sakeco memang penuh dengan pesan, sindiran, ejekan, dan terkadang lucu dan porno yang membuat para pendengar tersenyum sipu. Memang lawas yang dipertunjukkan sangat kontekstual dari segi isi, penanggap sakeco dapat memesan sesuatu kepada tukang lawas agar keinginan pemesan bisa disampaikan kepeda penonton melalui pertunjukan lawas. Tukang lawas sangat menguasai formula lawas, yakni kelompok kata yang secara teratur digunakan dalam kondisi matra yang sama untuk mengemukakan ide pokok tertentu Lord, 197630. Pewarisan lawas sebagai puisi lisan dilakukan dari mulut ke mulut sejak zaman dahulu, pengaruh dan kemajuan zaman menyebabkan pewarisan disampaikan melalui seni pertunjukan. Pewarisan puisi lisan dalam masyarakat Sumbawa kini dilakukan dalam bentuk seni pertunjukan seperti pada sakeco. Sakeco muncul sebagai seni pertunjukan merupakan bentuk perkembangan dari Ratif yang melantunkan lagu-lagu yang bernafaskan Islam yang diiringi pukulan rebana. Mengingat ratif yang penuh dakwah menjadikan penonton kurang terhibur karena syair-syair yang dilantunkan diambil dari Kitab Hadroh yang berbahasa Arab. Ratif yang penuh dakwah menyebabkan penonton pendengar kurang mendapat hiburan yang sifatnya gembira Mabasan – Vol. 3 No. 1 Januari—Juni 2009 86-106 atau lucu, hal ini menyebabkan kehadiran lawas sebagai seni pertunjukan lawas mendapat tempat di hati masyarakat. Pertunjukan sakeco pertama kali dimainkan oleh dua orang tukang lawas dari daerah ano rawi Taliwang bernama Zakaria dan Syamsuddin. Kedua orang ini selalu tampil melantunkan lawas-lawas Samawa dengan iringan rebana, pasangan ini dikenal dengan nama Sake panggilan untuk Zakaria dan Co panggilan untuk Syamsuddin yang kemudia Sake dan Co menjadi sebauh kata yaitu Sakeco. Pendapat lain ada yang mengatakan bahwa kata sakeco telah ada sebelum masuknya Islam ke tana Samawa dan tidak mungkin istilah tersebut bentukan dari nama dua orang tersebut. Kata sakeco dalam tuturan sehari-hari bahasa Sumbawa tidak ada selain digunakan untuk istilah tersebut, karena itu kata sakeco perlu ditelusuri lebih jauh keberadaannya. Seni pertunjukan ini mendapat pengaruh Melayu dan Arab yang merupakan konfigurasi budaya Nusantara. Seni tabuh berupa rebana dapat kita jumpai hampir di semua daerah di Indonesia dan sejenis sakeco dapat juga kita temui dalam seni Kentrung di Jawa Timur. Sakeco dapat dikategorikan sebagai seni pertunjukan rakyat yang berkembang di tengah-tengah masyarakat wong cilik. Kehidupan pertunjukan sakeco ditunjang oleh penanggapnya, tidak ada penjualan tiket dan jauh dari seni komersial. Dalam pertunjukan lawas sakeco antara pemain dengan penonton seakan tidak ada jarak, ikatan emosional pemain dan penonton begitu dekat. Sakeco dalam pertunjukannya menampilkan cerita rakyat berupa legenda, peristiwa sejarah atau kejadian-kejadian dalam kehidupan masyarakat yang digubah ke dalam lawas tutir cerita. Tutir yang berupa lawas disampaikan menggunakan temung yang disesuaikan dengan isi tutir itu sendiri sedih, gembira mereka sampaikan dengan penuh ekspresi. Selain itu dalam masyarakat ... Konfigurasi Budaya NusantaraMade Suyasa Samawa juga dikenal seni bakelong, bentuk penyampaian elong Bugis yang juga dipadukan dengan lawas Samawa. Seni petunjukan ini juga cukup diminati oleh masyarakat Sumbawa. Seni pertunjukan di Nusantara telah mampu tumbuh dan beralkulturasi di daerah baru sebagai wujud keindonesian. 3. Penutup Lawas sebagai salah satu bentuk sastra lisan dalam masyarakat Sumbawa Samawa merupakan fenomena kebudayaan yang akan tetap hadir di tengah-tengah masyarakatnya. Sebagai hasil budaya lawas merupakan cerminan dari nilai-nilai yang hidup di zamannya, karena itu nilai budaya tersebut bersifat universal dan kontekstual. Lawas sebagai ekspresi masyarakat Samawa telah menyajikan sebuah konfigurasi budaya. Disadari atau tidak oleh masyarakat pemiliknya ternyata dalam perkembangannya lawas telah melahirkan berbagai konfigurasi sebagai gambaran keterbukaan masyarakat dalam menerima budaya orang lain yang dianggap masih sejalan dengan budaya Samawa. Konfigurasi ditunjukkan dalam bentuk struktur, isi, dan penyajian lawas. Pewarisan lawas sebagai puisi lisan dilakukan dari mulut ke mulut sejak zaman dahulu, pengaruh dan kemajuan zaman menyebabkan pewarisan disampaikan melalui seni pertunjukan. Pewarisan puisi lisan dalam masyarakat Sumbawa kini dilakukan dalam salah satu bentuk seni pertunjukan yaitu sakeco. Mabasan – Vol. 3 No. 1 Januari—Juni 2009 86-106 Daftar Pustaka Amin, Usman. 2007. Kukokat Lawas Siya Kumpulan Lawas Sumbawa. Sumbawa Kantor Arsip dan Perpustakaan Daerah. Bahri, Syaiful. 2008. Distribusi dan Pemetaan Bentuk/Jenis Karya Sastra yang Tumbuh dan Berkembang pada Masyarakat Tutur Bahasa Bugis di Kabupaten Sumbawa. Mataram Departemen Pendidikan Nasional, Pusat Bahasa, Kantor Bahasa Provinsi NTB. Danandjaja, James. 1991. Folklor Indonesia Ilmu Gosip, Dongeng dan lain-lain. Jakarta Grafiti. Depdikbud, NTB. 1988. Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat. Mataram Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudyaan Daerah. Hutomo, Suripan Sadi. 1991. Mutiara yang Terlupakan. Malang Mitra Alam Sejati. Lord, Albert B. 1976. The Singer of Tales. New York Atheneum. Manca, Lalu. 1984. Sumbawa pada Masa Lalu Suatu Tinjauan Sejarah. Surabaya Rinta. Noorduyn, J. terjemahan Muslimin Jasin. 2007. Sejarah Sumbawa. Yogyakarta RIAK Riset Informasi dan Arsip Kenegaraan. Rayes, Dinullah. 1991. Makalah, Lawas Puisi Lisan Tradisional Salah Satu Pilar Kesenian Daerah Sumbawa. Sabriah. 1994/1995. Makalah, Nilai Relegi dalam Elong Ugi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Balai Penelitian Bahasa di Ujung Pandang. Syamsuddin, Helius. 1982. Makalah, Hubungan Antar Pulau dan Interaksi Antar Suku Bangsa. Suyasa, Made. 2002. Tesis, Wacana Seni Balawas dalam Masyarakat Samawa. Denpasar Program Pascasarjana Univ. Udayana. Heni MawarniNFN UbaidullahPenelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan nilai-nilai pendidikan dalam sastra lisan lawas puisi rakyat masyarakat Sumbawa. Lawas telah menjadi bagian dari tonggak kehidupan masyarakat sehingga perlu diungkapkan nilai-nilai yang terdapat di dalamnya. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Data dikumpulkan dengan teknik wawancara dan analisis dokumen. Data dianalisis dengan teknik ketekunan pengamatan dengan pemusatan pada hal-hal yang dicari secara rinci sehingga data-data yang ditemukan peneliti akan semakin benar. Dengan begitu data-data yang ditemukan benar-benar mengandung nilai pendidikan. Berdasarkan hasil analisis data ditemukan nilai pendidikan yang terkandung dalam lawas puisi rakyat masyarakat Sumbawa Nusa Tenggara Barat 1 nilai sosial, 2 nilai moral, 3 nilai religius, dan 4 nilai budaya. Nilai pendidikan yang terkandung dalam lawas tidak terlepas dari nilai-nilai luhur yang selalu menjadi pedoman dalam kehidupan masyarakat Sumbawa. Syaiful BahriTulisan ini akan menggambarkan dua hal, yaitu 1 deskripsi bentuk dan jenis karya sastra yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat tutur bahasa Bugis di KabupatenSumbawa; 2 distribusi dan penyebaran karya sastra hasil analisis data ditemukan dua ragam karya sastra, yaitu prosa dan puisi. Dari ragam prosa ditemukan dua jenis karya sastra, yaitu dongeng dan legenda yang kesemuanya ditemukan di kedua daerah pengamatan. Pengelompokan lebih khusus menunjukkan, di Teluk Santong hanya ditemukan jenis dongeng lelucon, sedangkan di Labuan Mapin ditemukan tiga jenis dongeng, yaitu lelucon, fabel, dan dongeng biasa. Jenis legenda di Teluk Santong hanya legenda setempat, sedangkan di Labuan Mapin ditemukan legenda perorangan, keagamaan, dan alam puisi ditemukan jenis pantun kélong dan mantra jappi. Jenis pantun ditemukan di kedua daerah pengamatan, sedangkan jenis Mantra hanya ditemukan di Labuan Lawas Siya Kumpulan Lawas Sumbawa. Sumbawa Kantor Arsip dan Perpustakaan DaerahUsman AminAmin, Usman. 2007. Kukokat Lawas Siya Kumpulan Lawas Sumbawa. Sumbawa Kantor Arsip dan Perpustakaan Indonesia Ilmu Gosip, Dongeng dan lain-lainJames DanandjajaDanandjaja, James. 1991. Folklor Indonesia Ilmu Gosip, Dongeng dan lain-lain. Jakarta Muslimin JasinJ NoorduynNoorduyn, J. terjemahan Muslimin Jasin. 2007. Sejarah Sumbawa. Yogyakarta RIAK Riset Informasi dan Arsip Kenegaraan.Makalah, Lawas Puisi Lisan Tradisional Salah Satu Pilar Kesenian Daerah SumbawaDinullah RayesRayes, Dinullah. 1991. Makalah, Lawas Puisi Lisan Tradisional Salah Satu Pilar Kesenian Daerah Daerah Nusa Tenggara BaratNtb DepdikbudDepdikbud, NTB. 1988. Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat. Mataram Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudyaan Daerah.
Lawas Taruna Dedara Saling Ejek; Dalam Loka Sumbawa (Istana Tua) kumpulan lawas sumbawa; Jangan Asal-asalan memilih pasangan hidup; Nasehat terhadap orang playboy Kearifan lokal berarti hubungan yang baik antara manusia, alam dan lingkungan di suatu daerah yang juga dipengari oleh budayanya. Fenomena globalisasi dan modernisasi saat ini membuat kebudayaan pada suatu daerah mulai dilupakan sehingga budaya-budaya tersebut perlu untuk diperhatikan dan dilestarikan, salah satu budaya atau tradisi suatu daerah yang ada di Indonesia yaitu Upacara Pesta Ponan. Upacara Pesta Ponan merupakan tradisi tahunan yang dilakukan oleh masyarakat Sumbawa Nusa Tenggara Barat, banyak mengandung nilai-nilai lokal. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menggali kearifan lokal yang ada dalam lawas puisi rakyat Upacara Pessta Ponan masyarakat Sumbawa. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif melalui studi literature yang berkaitan dengan konteks kearifan lokal. Dari penelitian ini, hasilnya menunjukkan bahwa kearifan lokal dalam lawas puisi rakyat Upacara Pesta Ponan yaitu; cinta lingkungan, nilai agama, nilai sosial, tradisi dan hal ini, kearifal lokal perlu untuk dilestarikan untuk mengimbangi perkembangan zaman Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Edukatif Jurnal Ilmu Pendidikan Vol 4 No 2 Tahun 2022 p-ISSN 2656-8063 e-ISSN 2656-8071 Edukatif Jurnal Ilmu Pendidikan Volume 4 Nomor 2 Tahun 2022 Halm 2164 - 2173 EDUKATIF JURNAL ILMU PENDIDIKAN Research & Learning in Education Kearifan Lokal dalam Lawas Puisi Rakyat Upacara Ponan Masyarakat Sumbawa Nusa Tenggara Barat Heni Mawarni Universitas Cordova, Indonesia E-mail Abstrak Kearifan lokal berarti hubungan yang baik antara manusia, alam dan lingkungan di suatu daerah yang juga dipengari oleh budayanya. Fenomena globalisasi dan modernisasi saat ini membuat kebudayaan pada suatu daerah mulai dilupakan sehingga budaya-budaya tersebut perlu untuk diperhatikan dan dilestarikan, salah satu budaya atau tradisi suatu daerah yang ada di Indonesia yaitu Upacara Pesta Ponan. Upacara Pesta Ponan merupakan tradisi tahunan yang dilakukan oleh masyarakat Sumbawa Nusa Tenggara Barat, banyak mengandung nilai-nilai lokal. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menggali kearifan lokal yang ada dalam lawas puisi rakyat Upacara Pessta Ponan masyarakat Sumbawa. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif melalui studi literature yang berkaitan dengan konteks kearifan lokal. Dari penelitian ini, hasilnya menunjukkan bahwa kearifan lokal dalam lawas puisi rakyat Upacara Pesta Ponan yaitu; cinta lingkungan, nilai agama, nilai sosial, tradisi dan hal ini, kearifal lokal perlu untuk dilestarikan untuk mengimbangi perkembangan zaman. .Kata Kunci budaya, Sumbawa, Ponan, lawas. Abstract Local wisdom means a good relationship between humans, nature, and the environment in an area that is also influenced by its culture. The globalization phenomenon and modernization nowadays often leaves cultures rapidly forgotten, therefore they need to be preserved, one of them is the Ponan Party Ceremony. Ponan Party Ceremony is an annual tradition carried out by the Sumbawa people of West Nusa Tenggara, which contains many of the local values. This study aims to explore the local wisdom embedded in the lawas poetry of Ponan Party Ceremony in Sumbawa. The research method used in this research is descriptive qualitative through literature studies in relation of local wisdom. The results of this research show that the lawas poetry of Ponan Party Ceremony are as following love the environment, religious values, social values, tradition, and culture. Local wisdom needs to be preserved in order to keep up and balance with modern times. Keywords culture, Sumbawa Village, Ponan, lawas poetry. Copyright c 2022 Heni Mawarni  Corresponding author Email ISSN 2656-8063 Media Cetak DOI ISSN 2656-8071 Media Online 2165 Kearifan Lokal dalam Lawas Puisi Rakyat Upacara Ponan Masyarakat Sumbawa Nusa Tenggara Barat – Heni Mawarni DOI Edukatif Jurnal Ilmu Pendidikan Vol 4 No 2 Tahun 2022 p-ISSN 2656-8063 e-ISSN 2656-8071 PENDAHULUAN Alam, manusia dan lingkungan memiliki hubungan yang erat. Di masa lalu, bahasa alam dipahami oleh manusia. Komunitas tradisional mengumpulkan bahasa-bahasa alam menjadi satu sistem pengetahuan yang kemudian digunakan untuk itu berinteraksi dengan sesama. Sistem pengetahuan yang berorientasi pada bahasa di wilayah tertentu disebut kearifan lokal. Indonesia dikenal sangat kaya dengan bahasa dan budaya daerah, penyatuan keanekaragaman bahasa daerah tersebut menggunakan bahasa Indonesia selain itu bahasa Indonesia juga berkembang sebagai bahasa Negara, bahasa resmi, dan bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi. Salah satu bahasa daerah yang hingga saat ini masih terus berkembang adalah bahasa Sumbawa atau bahasa Samawa’. Bahasa Sumbawa adalah bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi dan berinteraksi warga setempat yang digunakan secara kolektiv Zulkarnaen, 2015 39. Perkembangan zaman pada era globalisasi ini semakin menurunnya kecintaan dan kembanggaan masyarakat untuk menggunakan bahasa daerah terutama di Sumbawa. Oleh karena itu bahasa Sumbawa perlu untuk diperhatikan agar tidak punah, untuk melestarikan bahasa Sumbawa yaitu dengan memperkenalkan budaya-budaya yang ada di Sumbawa, misalnya maen jaran, barapan kebo, upacara pesta ponan, prosesi pernikahan dan lain sebagainya kepada masyarakat Indonesia maupun warga asing. Setiap budaya yang ada dalam mayarakat Sumbawa memiliki kearifan lokal yang perlu untuk dipertahankan. Kearifan lokal adalah identitas atau kepribadian budaya sebuah bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap, bahkan mengolah kebudayaan yang berasal dari luar/bangsa lai menjadi watak dan kemampuan sendiri Wibowo, 201517. Identitas dan Kepribadian tersebut tentunya menyesuaikan dengan pandangan hidup masyarakat sekitar agar tidak terjadi pergesaran nilai-nilai. Kearifan lokal adalah salah satu sarana dalam mengolah kebudayaan dan mempertahankan diri dari kebudayaan asing yang tidak baik. Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Dalam bahasa asing sering juga dikonsepsikan sebagai kebijakan setempat local wisdom atau pengetahuan setempat “local knowledge” atau kecerdasan setempat local genious Fajarini 2014123. Berbagai strategi dilakukan oleh masyarakat setempat untuk menjaga kebudayaannya. Di sisi lain Elllen, Parker & Bicker 2005 menamainya pengetahuan lokal kearifan lokal. Pengetahuan lokal didefinisikan sebagai berikut 1 pengetahuan yang dikaitkan dengansebuah tempat, dan serangkaian pengalaman, dan dikembangkan oleh masyarakat setempat; 2 pengetahuan yang diperoleh melalui mimikri, imitasidan bereksperimen; 3 pengetahuan praktis sehari-hari yang diperoleh dari coba-coba; 4 pengetahuan empiris yangtidak teoretis; 5 pengetahuan yang komprehensif dan terintegrasi dalam bidang tradisi dan senada juga diungkapkan oleh Alfian 2013 428 Kearifan lokal diartikan sebagai pandangan hidup dan pengetahuan serta sebagai strategi kehidupan yang berwujud aktifitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam memenuhi kebutuhan mereka. Selanjutnya Istiawati 20165 menyatakan bahwa kearifan lokal merupakan cara orang bersikap dan bertindak dalam menanggapi perubahan dalam lingkungan fisik dan budaya. Suatu gagasan konseptual yang hidup dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang secara terus-menerus dalam kesadaran masyarakat dari yang sifatnya berkaitan dengan kehidupan yang sakral sampai dengan yang profan bagian keseharian dari hidup dan sifatnya biasa-biasa saja.Kearifan lokal atau local wisdom dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat local yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Kearifan lokal menurut Ratna 201194 adalah semen pengikat dalam bentuk kebudayaan yang sudah ada sehingga didasari keberadaan. Kearifan lokal dapat didefinisikan sebagai suatu budaya yang diciptakan oleh aktor-aktor lokal melalui proses yang berulang-ulang, melalui internalisasi dan interpretasi ajaran agama 2166 Kearifan Lokal dalam Lawas Puisi Rakyat Upacara Ponan Masyarakat Sumbawa Nusa Tenggara Barat – Heni Mawarni DOI Edukatif Jurnal Ilmu Pendidikan Vol 4 No 2 Tahun 2022 p-ISSN 2656-8063 e-ISSN 2656-8071 dan budaya yang disosialisasikan dalam bentuk norma-norma dan dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat di artikan bahwa local wisdom kearifan lokal merupakan kebiasaan sekelompok masyarakat yang diwariskan secara turun temurun penuh kearifan dan bernilai baik yang tertanam dan diikuti olehh anggota masyarakat lainnya berupa, adat istiadat, budaya, bahasa, kepercayaa, aturan-aturan dan kebiasaan sehari-hari. Haryanto 2014212 menyatakan bentuk-bentuk kearifan lokal adalah kerukunan beragaman dalam wujud praktik sosial yang dilandasi suatu kearifan dari budaya. Bentuk-bentuk kearifan lokal dalam masyarakat dapat berupa budaya nilai, norma, etika, kepercayaan, adat istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus. Nilai-nilai luhur terkait kearifan lokal meliputi cinta kepada Tuhan, alam semester beserta isinya,Tanggung jawab, disiplin, dan mandiri, Jujur, Hormat dan santun, Kasih sayang dan peduli, Percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, Keadilan dan kepemimpinan, Baik dan rendah hati,Toleransi,cinta damai, dan persatuan. Hal hampir serupa dikemukakan oleh Wahyudi 2014 13 kearifan lokal merupakan tata aturan tak tertulis yang menjadi acuan masyarakat yang meliputi seluruh aspek kehidupan, berupa Tata aturan yang menyangkut hubungan antar sesama manusia, misalnya dalam interaksi sosial baik antar individu maupun kelompok, yang berkaitan dengan hirarkhi dalam kepemerintahan dan adat, aturan perkawinan antar klan, tata karma dalam kehidupan sehari-hari. Tata aturan menyangkut hubungan manusia dengan alam, binatang, tumbuh-tumbuhan yang lebih bertujuan pada upaya konservasi aturan yang menyangkut hubungan manusia dengan yang gaib, misalnya Tuhan dan roh-roh gaib. Kearifan lokal dapat berupa adat istiadat, institusi, kata-kata bijak, pepatah Jawa parian, paribasan, bebasan dan saloka, Dalam karya sastra kearifan lokal jelas merupakan bahasa, baik lisan maupun tulisan Ratna 201195. Dalam masyarakat, kearifan-kearifan lokal dapat ditemui dalam cerita rakyat, nyayian, pepatah, sasanti, petuah, semboyan, dan kitab-kitab kuno yang melekat dalam perilaku sehari-hari. Kearifan lokal ini akan mewujud menjadi budaya tradisi, kearifan lokal akan tercermin dalam nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok masyarakat tertentu. Kearifan lokal diungkapkan dalam bentuk kata-kata bijak falsafah berupa nasehat, pepatah, pantun, syair, folklore cerita lisan dan sebagainya; aturan, prinsip, norma dan tata aturan sosial dan moral yang menjadi sistem sosial; ritus, seremonial atau upacara tradisi dan ritual; serta kebiasaan yang terlihat dalam perilaku sehari-hari dalam pergaulan sosial Haryanto, 2013 368. Sukarismanti 2021;41 Tradisi lisan merupakan wujud kebudayaan yang diwariskan dari generasi ke generasi melaui mulut ke telinga. Sementara tradisi budaya merupakan wujud kebudayaan dalam bentuk tindakan atau aktivitas, diciptakan dan dikomunikasikan. Oleh karena itu tradisi lisan atau tradisi budaya merupakan wujud kebudayaan yang diajarkan dari generasi ke generasi baik dalam bentuk lisan maupun dalam non verbal. Sumbawa merupakan salah satu daerah yang masih kental dengan nilai kearifan lokalnya. Hal ini dapat dibuktikan dengan masih tingginya antusias masyarakat terhadap Nusa Tenggara Barat harus tetap adadilestarikan sebagai kekayaan dan kebanggaan daerah Irfan &Suryani, 201778. Budaya yang dimiliki oleh suatu bangsa merupakan suatu cara hidup masyarakat yang mendiami suatu wilayah secara berkelompok, diasumsikan bukan untuk menjadi milik manusia, melainkan berfungsi sebagai tanda atau identitas dari kelompok itu sendiri Sunday &Namani, 20194. Masih banyak lagi daerah yang mempunyai kearifan lokal untuk menunjang perekonomiannya seperti masyarakat Bali yang terkenal dengan kesenian dan masih melekat dengan ritual-ritual keagamaannya, Garut yang terkenal dengan dodolnya. Hal tersebut merupakan bagian dari budaya kita yang berbentuk kearifan lokal. Masyarakat Sumbawa contoh implementasi kearifan lokal rasa syukur kepada tuhan adalah dengan mengadakan ritual tahunan yang dilakukan untuk bisa melakukan perintah Allah SWT dengan berdoa, bersedekah, berziarah, bersilaturrahmi dengan sesama dan mempelajari dengan sungguh-sungguh ajaran-ajaran mengenai perintah-Nya, mengamalkan serta menuruti dengan teliti segala ajaran-ajaran kerohanian atau 2167 Kearifan Lokal dalam Lawas Puisi Rakyat Upacara Ponan Masyarakat Sumbawa Nusa Tenggara Barat – Heni Mawarni DOI Edukatif Jurnal Ilmu Pendidikan Vol 4 No 2 Tahun 2022 p-ISSN 2656-8063 e-ISSN 2656-8071 pendidikan mental spiritual. Selain itu Sumbawa juga banyak menyimpan kearifal lokal dalam satu adat istiadat yang sering dilakukan oleh masyarakat Sumbawa yaitu Upacara Pesta Ponan. Upacara Pesta Ponan sebagai salah satu tradisi budaya masyarakat Sumbawa yang dikeramatkan karena mengandung mitos, masyarakat Sumbawa mempercayai bahwa dengan bekas bungkus makanan dan kue yag dimakan oleh masyarakat pada saat Upacara Pesta Ponan dapat membuat tanaman padi warga terhindar dari hama dan hasil panennya akan berlimpah. Penyelenggaraan Upacara Pesta Ponandilakukan pada masyarakat Desa Poto, bukan semata-mata mengajarkan tentang agama-spiritual, melainkan juga membentuk pengembangan sumber daya manusia yang berjiwa sosial didasari oleh hidup selaras dengan rasa saling, seperti rasa saling prihatin, saling sayang, cinta, kasihan, dan saling percaya, serta saling mengingatkan. Setiap masyarakat di suatu daerah mempunyai keunikan untuk mengekspresikan ekspresi tersebut bisa berwujud arsitektur, seni dan karya sastra Fokkema, 1998; Masindan, dkk., 1986; Pudentia, 2015, seperti puisi, prosa, dan drama. Dalam puisi banyak mengandung pesan secara lisan yang di sampaikan dengan musikalbunyi, ritme, dan teknik, secara spontan dapat menarik perhatian audiens Marwan, 2019.82. Begitu pula dengan masyarakat Sumbawa juga mempunyai keunikan untuk mengekspresikan dirinya, seperti melalui sakeco, panan, tutir, dan lawas. Masyarakat Samawa yang mendiami Pulau Sumbawa memiliki berbagai macam kesenian dan puisi rakyat yang diwariskan secara berkelanjutan dari nenek moyangnya Musbiawan, 2016. Pulau Sumbawa merupakan wilayah Indonesia dan pulau terbesar di Provinsi Nusa Tenggara Barat yang dihuni oleh dua etnis besar, yaitu etnis Mbojo di wilayah timur dan etnis Samawa di bagian barat Mantja, 2011. Dalam Upacara Pesta Ponan biasanya diisi dengan pertunjukan budaya dan seni sastra baik lisan maupun tulisan masyarakat Sumbawa salah satunya yaitu lawas puisi rakyat. Kata lawas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya luas, melawas luas, lapang, lega.Jika dikaitkan dengan ber-lawas dalam masyarakat Samawa balawas yang menunjukkan tentang kegiatan menyampaikan lawas yang terkait dengan suasana hati yang lapang dan lega. Dengan ungkapan lain, lawas adalah the human creation that created and expressed by language; by writing or oral that risen the happiness and sadness in the human seul ciptaan manusia yang dilahirkan dan dinyatakan dengan bahasa, baik lisan maupun tulisan yang menimbulkan rasa keindahan dan keharuan dalam lubuk jiwa manusia Government, 199712. Dinullah Rayes menjelaskan, bahwa lawas pada mulanya berinduk pada bahasa Sumbawa yang tidak bisa dideteksi kapan mulai tumbuh/hadir ditengah masyarakat. Namun, kehadirannya dalam kehidupan masyarakat Samawa, berawal sebagai alat ekspresi batin manusia yang diliputi oleh rasa haru, sendu gunda-gulana, mungkin disebabkan oleh musiba atau datangnya marabahaya yang mengancam hidupnya. Untuk menanggulangi/menghibur, dicurahkan perasaan dalam bentuk kata-kata. Ucapan-ucapan itu tampak menjadi sebuah kekuatan dalam upacara untuk mengusir unsur-unsur yang menimbulkan rasa marabahaya Saleh, 2007120. Lawas adalah salah satu seni lisan yang ada dan berkembang di dalam masyarakat Samawa berupa puisi tradisional. Kata lawas tidak ubahnya dengan puisi lisan yang sudah melekat pada masyarakat Sumbawa merupakan warisan yang dikembangkan secara lisan baik di kota-kota maupun di pedesaan Hamim, 2010 5 & Biawan, 2006120. Lawas sebagai puisi rakyat Sumbawa dikatakan sebagai ciptaan manusia yang dilahirkan dan dinyatakan dengan bahasa lisan maupun tulisan yang menimbulkan rasa keindahan dan keharusan dalam lubuk jiwa manusia Suyasa, 2011 . Lawas adalah sastra yang digunakan untuk mengungkapkan suasana dan isi hati untuk disampaikan kepada lawan bicara penikmat/pendengar atau pembaca Juanda, 2016. Lawas dilantunkan dengan temung irama dan itulah yang disebut balawas sangat digemari oleh masyarakat Sumbawa, bisa berupa sakeco, melangko, badede, ngumang saketa dalam suatu upacara pertunjukan. Lawas adalah puisi berbahasa Sumbawa tanpa ditulis nama pencipta atau 2168 Kearifan Lokal dalam Lawas Puisi Rakyat Upacara Ponan Masyarakat Sumbawa Nusa Tenggara Barat – Heni Mawarni DOI Edukatif Jurnal Ilmu Pendidikan Vol 4 No 2 Tahun 2022 p-ISSN 2656-8063 e-ISSN 2656-8071 anonim dalam bahasa sastra, baik lisan maupun tulisan untuk mengekspresikan atau mengungkapkan perasaan hati dalam berbagai peristiwa Dinas Pariwisata Sumbawa, 1997 9. Lawas Samawa termasuk dalam bidang seni sastra yang ada di tengah masyarakat Sumbawa berupa sastra lisan yang bisa berbentuk prosa, cerita, kisah, sejarah tuter, dan juga ada dalam bentuk puisi yang dinamakan lawas, dan di tengah masyarakat etnis Sumbawa lawas selalu digunakan dalam berbagai kegiatan, misalnya pada kegiatan gotong royong, pernikahan, pementasan acara budaya,dan barapan kebo karapan kerbau sehingga lawas puisi masih terus berkembang sampai sekarang ini. Lawas puisi dikenal keberadaannya dari sejak dulu sehingga menjadi milik masyarakat bersama-sama, dikembangkan secara turun temurun dengan cara lisan dalam berbagai kegiatan atau aktifitas yang melibatkan orang banyak, dengan cara mengingat atau menghafalnya. Lawas puisi rakyat masih berkembang hingga saat ini yaitu sastra lisan Sumbawa. Sastra lisan Sumbawa disampaikan dengan cara menuturkannya atau disampaikan dari mulut ke mulut turun-temurun regenerasi Usman Amin, 2012. Lawas puisi adalah syair-syair yang ditembangkan sebagai bentuk pengungkapan perasaan hati dalam bentuk cinta, sedih, kritik, nasehat, dan sebagainya Maswarang dalam Saleh, 2007120. Lebih lanjut, Lawas puisi adalah syair yang terdiri atas tiga baris dengan syarat tiap baris terjalin, merupakan tiga seuntai dan tiap-tiap baris terdiri atas delapan suku rakyat mengandung pengertian yang dalam, keluar dari perasaan yang halus, mengundang pendengar untuk meneliti dan memikirkan sungguh-sungguh, seperti keluhan rakyat jelata terhadap pembesar negeri yang bersenang ria di tengah-tengah rakyat yang tidak mempunyai papan, sandang, dan pangan, sehingga dinyatakan lewat lawaspuisi rakyat. Dari beberapa pendapat di atas dapat disintesiskan bahwa lawas puisi rakyat adalah sastra lisan puisi rakyat masyarakat Sumbawa hingga saat ini masih terus berkembang yang digunakan untuk mengungkapkan isi hati kepada lawan bicaranya yang disampaikan pada saat tertentu baik secara individu maupun secara kelompok Secara khusus lawas puisi rakyat memiliki ciri-ciri tertentu yang sudah baku atau dikonversikan oleh masyarakat Sumbawa. Ciri-ciri yang dimaksud i tiap bait terdiri atas tiga baris; ii tiap baris terdiri atas delapan suku kata; iii tidak terdapat pengulangan kata bermakna sama dalam satu bait; iv antara ketiga baris dalam satu bait merupakan satu kesatuan yang utuh. Contoh, i tiap bait terdiri atas tiga baris, /lamin sia dunung notang/sowe santek banga bintang/pang bulan batemung mata/. Contoh ii tiap baris terdiri atas delapan suku kata, /la-min-si-a-du-nung-no-tang/ 8 suku kata. Contoh iii tidak terdapat pengulangan kata bermakna sama dalam satu bait, /pang bulan batemung mata/. Dalam Lawas puisi rakyat banyak mengandung nilai-nilai dan amanat-amanat kepada pendengarnyadan mengandung nilai kearifan lokal. Berdasarkan pembahasan di atas maka tujuan dari penelitian ini yaitu mengungkapkan tentang kearifan lokal yang terkandung dalam lawas puisi rakyat Upacara Pesta Ponan dalam masyarakat Sumbawa Nusa Tenggara Barat. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Moleong 2010 6 menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah. Pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu menggunakan metode observasi, menyimak, wawancara, dan analisis Lofland dalam Moleong 2010 157 sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata, tindakan dan data data pada penelitian ini adalah berupa dokumen dan masyarakat Kabupaten Sumbawa Nusa Tenggara Barat. 2169 Kearifan Lokal dalam Lawas Puisi Rakyat Upacara Ponan Masyarakat Sumbawa Nusa Tenggara Barat – Heni Mawarni DOI Edukatif Jurnal Ilmu Pendidikan Vol 4 No 2 Tahun 2022 p-ISSN 2656-8063 e-ISSN 2656-8071 HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN Berdasarkan pengumpulan data dan analisi data, maka hasil penelitian ini adalah sebagai berikut; 1. Cinta Lingkungan Lingkungan hidup merupakan tempat berlangsung proses kehidupan manusia. Nasution 1999 10 menyatakan lingkungan hidup secara garis besar dibagi menjadi dua antara lain; a lingkungan fisik diartikan sebagai sesuatu yang berada di luar dari diri seseorang yang tidak berhubungan dengan manusia, seperti; alam, cuaca, iklim, bangunan. Lingkungan non fisik merupakan lingkungan yang berhubungan langsung dengan manusia, seperti pergaulan Upacara Pesta Ponan juga memberikan pelajaran kepada kita tentang pengelolaan alam dan lingkungan sekitar agar tetap lestari. Seperti yang terdapat dalam lawas Sumbawa; Kle tu sablong desa, na sarusak tani tana, sanuman nanta tu mudi Walaupun kita membangun desa/tanah , jangan merusak alam dan lingkungan tersebut, masih ada anak cucu kita di masa mendatang. kita Pada kutipan lawas puisi rakyat di atas mengungkapkan bahwa kita harus mencintai dan melestarikan lingkungan sekitar kita, dengan cara mengelola dan menjaga kebersihan lingkungan, melestarikan apa yang sudah ada dan tidak merusaknya, karena di masa yang akan datang masih ada anak cucu kita yang akan menempati tempat kita tinggal. Karoro sesa sadeka Karampo kokat kabala Kareng ola pang panungkas Dipungut rame-rame Kemudian diletakkan dipetak sawah Leng dadimo medo bura Subur balong mole pade Kenapa diletakkan di petak-petak Karena bisa jadi obat hama Supaya padi selalu subur Pada kutipan 2 dan 3 menjelaskan untuk menjaga kebersihan lingkungan pada saat Upacara Pesta Ponan makanan dan kue yang disajikan dibungkus harus menggunakan daun pisang atau daun kelapa maupun daun bambu, dan tidak boleh sembarangan dibuang setelah dimakan. Pada saat acara sudah selesai semua masyarakat yang mengikuti acara terbut rame-rame memungut sampah bekas makanan mereka untuk menjaga kepersihan lingkungan selain itu, bagi warga yang mengikutih Upacara Pesta Ponan, daun-daun tadi harus dibuang di dalam sawah atau disekitar pematang sawah, karena dapat menjauhkan hama dan penyakit. Dipercaya juga bahwa hal semacam ini sebagai bentuk menjaga kebersihan dan keseimbangan antara alam dengan tanaman padi. 2. Nilai Agama Nilai agama merupakan suatu sikap atau perilaku yang didasarkan pada aturan atau kaidah agama yang dianut, nilai agama mencerminkan sikap ataupun perilaku manusia terhadap Tuhan. Zakiyah, 2014 143-144 menyatakan bahwa nilai agama adalah nilai yang ingin ditanamkan melalui proses pendidikan ajaran agama islam, yaitu nilai tentang ketaatan kepada Allah SWT, dan nilai yang mengatur hubungan sesama manusia. Lawas puisi rakyat yang mengandung nilai agama dalam Upacara Pesta Ponan sebagai berikut; Tusam ulamo tutir ta Kewa singin Nene kita Dengan menyebut nama tuhan kita 2170 Kearifan Lokal dalam Lawas Puisi Rakyat Upacara Ponan Masyarakat Sumbawa Nusa Tenggara Barat – Heni Mawarni DOI Edukatif Jurnal Ilmu Pendidikan Vol 4 No 2 Tahun 2022 p-ISSN 2656-8063 e-ISSN 2656-8071 Kusamula ke bismillah Kusasuda ke wassalam Nan ke salamat parana Kumulai dengan bismillah Ku akhiri dengan salam Agar diri jadi selamat Baliukmo silapangkan Ode-rea, loka-tua Rembang seda sikir-tahlil Duduk reme saling berbaur Kecil, mudah maupun tua Rame-rame mengucapkan sikir dan tahlil Sikir-tahlil-basadeka Runtung tin pang untir ponan Waya suda tanam pade Zikir, tahlil dan bersedekah Setiap tahun di pesta Ponan Sehabis menanam padi Data lawas puisi rakyat di atas merupakan penjelasan tentang pesta ponan yang dilaksanakan di bukit Ponan, dilaksanakan oleh Dusun Poto, Lengas dan Malili di Kecamatan Moyo Hilir, Sumbawa, dulu berasal dari satu rumpun yaitu Desa Bekat. Rangkaian proses ritual ponan dimulai dari persiapan masyarakat untuk menghadapi perayaan ponan. Pada kutipan 4 dan 5 menjelaskan bahwa sebagai umat Islam yang percaya akan Allah untuk itu harus selalu di ingat dan sebut dalam setiap saat dengan mengawali sesuatu dengan mengucapkan “bismillah” dan menutup dengan salam, agar kita selamat. Pada kutipan 5 dan 6 berbaurlah baik kecil maupun muda, muda maupun tua untuk berzikir, tahlil, bersedekah sebagai tanda syukut kita kepada Allah SWT atas segala nikmat yang selalu di berikan kepada kita. 3. Nilai Sosial Nilai sosial merupakan suatu nilai yang dianggap baik dalam diri manusia. Okechukwu & Stella 201579 nilai sosial adalah nilai yang yang harus ditanamkan pada manusia dari tingkat sekolah dasar agar mampu menjadi warga Negara yang memiliki perilaku atau nilai moral yang baik dalam kehidupan bermasyarakat agar hidup damai. Lawas puisi rakyat yang mengandung nilai sosial sebagai berikut; Pang tengatan onrong rea Desa poto- Moyo Hilir kita berada disatu tempat Di tengah-tengah persawahan Desa Poto-Moyo Hilir Dusun Lengas Desa Poto nansi Dusun Bekat Beru Asal kalis Bekat Loka Itulah Dusun Bekan Beru Asalnya dari Bekat Loka Pang masa Dam Batu Bulan Manasi kakurang ujan Tusatentu mole pade Pada masa bendungan Batu Bulan Meskipun curah hujan kurang Menentukan saat bercocok tanam Nanok puin kayu jawa Pang baserip tusiara Ramemo tokal baliuk Tempat bertedu orang yang datang Duduk rame-rame Rungan rame boat sia Bagentar tana Samawa Khabarnya meriah pesta tuan Bergetar tanah Samawa 2171 Kearifan Lokal dalam Lawas Puisi Rakyat Upacara Ponan Masyarakat Sumbawa Nusa Tenggara Barat – Heni Mawarni DOI Edukatif Jurnal Ilmu Pendidikan Vol 4 No 2 Tahun 2022 p-ISSN 2656-8063 e-ISSN 2656-8071 Pelaksanaan ritual adat ponan dimulai dari berkumpulnya masyarakat di pintu desa sebelum menuju ke bukit seluruh masyarakat berkumpul, secara bersama-sama seluruh masyarakat berjalan beriringan dengan membawa makanan dan minuman untuk disajikan kepada seluruh masyarakat yang mengikuti pesta masyarakat tiba di bukit ponan, maka acara selanjutnya adalah berdoa bersama yang dipimpin oleh tetuah adat. Doa ini berisi harapan agar hasil pertanian masyarakat di ketiga desa memperoleh hasil pertanian yang melimpah ruah. Selain itu, pada kesempatan itu juga warga saling memaafkan, jika selama proses pengolahan sawah terdapat kesalahan pembagian air irigasi maupun hal lainnya yang menyinggung perasaan tetangga sawah, dengan begitu tidak ada dendam dan beban di hati yang akan merusak persatuan dan persaudaraan yang nantinya bisa berakibat pula pada hasil pertanian. Menurut masyarakat Sumbawa sangat erat kaitannya antara hasil pertanian dengan silaturrahmi antar sesama warga adat ponan. Jika sesama warga adat ponan tetap rukun, maka hasil pertanian akan baik dan begitu juga sebaliknya. karena sesungguhnnya Allah akan memberikan rizki yang tidak disangka-sangka kepada hambanya yang selalu menjaga silaturrahmi. Nilai kearifan lokal yang dapat di ambil dalam lawas puisi rakyat Upacara Pesta Ponan di atas yaitu; nilai saling menghormati, saling tolong menolong, kebersamaan, peduli, kasih sayang, belas kasih. Saling percaya dan saling menolong. 4. Nilai Tradisi atau Budaya Menurut Nababan 198653, kebudayaan dapat dipandang sebagai sistem komunikasi dengan tindak laku manusia, dan bahasa adalah salah satu bagian atau subsistem kebudayaan. Sebagai subsistem kebudayaan, maka tindak laku berbahasa pun, mengikuti norma-norma kebudayaan induknya. Sistem tindak laku berbahasa ini disebut tata cara berbahasa’ linguistic etiquete. Altman dan Chemers 1984 menyatakan ada lima faktor penting tentang hubungan antarabudaya dan lingkungan; yaitu 1 lingkungan alam meliputi suhu, curah hujan, geografi, flora dan faunafauna; 2 orientasi lingkungan dan pandangan hidup, termasuk kosmologi, agama, nilai-nilai dan norma; 3kognisi lingkungan meliputi persepsi, kepercayaan, dan penilaian; 4 perilaku lingkungan, termasuk privasi,ruang pribadi, wilayah dan kepadatan; 5 lingkungan sebagai produk akhir dalam bentuk lingkungan terbangun, rumah, pertanian,dan kota-kota. Kelima faktor ini saling terkait satu sama lain, ini menunjukkan hubungan antara budaya dan lingkungan lebih memahami budaya lingkungan binaan. Nilai budaya Upacara Ponan terdapat dalam lawas puisi rakyat berikut; Tepung kalis loto pade Buras, lepat ke petikal Topat srapat. Tepung batas Buras, lepat, dan petikal Topat, dan jajan basa Tepung kiping, Onde-onde Jadi Kebo, Ai Aning Sadeka terap ke Timung Susu kerbau, madu Bersedekah juga pakai timung Pada kutipan 13 dan 14 menjelaskan tentang makanan atau kue khas Sumbawa yang disajikan pada saat acara adat ponan terbuat harus dari daun pisang atau daun kelapa maupun daun bambu, dan tidak boleh sembarangan dibuang setelah dimakan. Bagi warga adat ponan, daun-daun tadi harus dibuang didalam sawah atau disekitar pematang sawah, karena dapat menjauhkan hama dan penyakit. Dipercaya juga bahwa hal semacam ini sebagai bentuk menjaga kebersihan dan keseimbangan antara alam dengan tanaman padi. 2172 Kearifan Lokal dalam Lawas Puisi Rakyat Upacara Ponan Masyarakat Sumbawa Nusa Tenggara Barat – Heni Mawarni DOI Edukatif Jurnal Ilmu Pendidikan Vol 4 No 2 Tahun 2022 p-ISSN 2656-8063 e-ISSN 2656-8071 Persiapan selanjutnya adalah menyiapkan masakan atau makanan yang menjadi unsur perayaan adat ponan makanan khas yang harus ada yaitu, Buras, lepat, petikal, Topat, Tepung batas, Tepung kiping, Onde-onde, Jadi Kebo, Ai Aning dan Timung. Semua makanan yang disajikan harus berbahan baku beras, tidak boleh digoreng atau dimasak menggunakan minyak dan dimasak harus menggunakan bahan bakar dari kayu. Masyarakat Sumbawa berpikir bahwa jika makanan tersebut menggunakan bahan bakar dari minyak, maka cita rasa dari masakan itu kurang ini dimaksudkan sebagai bentuk rasa syukur dan kearifan lokal dalam menjaga kelestarian budaya karena tetap mempertahankan tatacara seperti yang dilakukan nenek moyang mereka. Masyarakat percaya bahwa asap dari tungku kayu maupun uap masakan yang harus terbuat dari beras dan di masak menggunakan kayu merupakan bentuk doa yang dipanjatkan kelangit dan diharapkan uapan tadi menjadi gumpalan awan yang akan mendatangkan hujan sehingga tanaman padi tidak akan kekurangan air karena hujan yang selalu kearifan lokal budaya atau tradisi yang dapat di ambil dalam lawas puisi rakyat Upacara Pesta Ponan di atas yaitu, tradisi-tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Sumbawa dalam menyajikan makanan dan kue khas Sumbawa pada saat Upacara Pesta Ponan. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data di atas dapat di tarik kesimpulan bahwa kebudayaan atau tradisi di suatu wilayah merupakan identitas yang dimiliki oleh masyarakat yang mendiami wilayah tersebut. Salah satu tradisi tahunan yang dilakukan oleh masyarakat yaitu Upacara Pesta Ponan yang sudah melekat pada masyarakat Sumbawa Nusa Tenggara Barat, dalam tradisi ini masyarakat selain melakukan Upacara Pesta Ponan juga menampilkan berbagai macam seni dan budaya Sumbawa yang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat setempat yaitu lawas puisi rakyat. Lawas puisi rakyat selalu ditampilkan dalam setiap pertunjukan budaya masyarakat Sumbawa karena selain memiliki irama yang menarik lawas puisi rakyat juga memiliki pesan dan nilai kearifan lokal di dalamnya misalnya, a cinta lingkungan, sebagai manusia yang bergantung dan beraktifitas dimuka bumi manusia harus mencintai alamdengan menjaga kebersihan. b nilai agama, sebagai umat beragama manusia harus menjunjung tinggi agama yang sudah dianut dengan mensyukuri segala sesuatu yang sudah diberikan oleh Tuhan. c nilai sosial, selain kita menjaga hubungan kita dengan sang pencipta dan lingkungan maka kita sebagai manusia harus memiliki hubungan yang baik dengan sesama dalam bersosialisasi. d nilai tradisi dan budaya, dengan menjalin hubungan yang baik dengan sesama maka terlahirlah suatu budaya dan tradisi yang harus kita lestarikan. Penulis berharap hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi dan acuan untuk penelitian selanjutnya mengenai sastra lisan lawas puisi.Saran penulis untuk penelitian selanjutnya agar meneliti lebih mendalam tentang lawas puisi dan foklor yang ada dalam masyarakat Sumbawa. DAFTAR PUSTAKA Alfian, M. 2013. Potensi Kearifan Lokal Dalam Pembentukan Jadi Diri Dan Karakter Bangsa. Prosiding The 5th International Conference On Indonesia Studies Ethnicity And Globalization. Jakarta Altman Dan Chemers. 1984. Culture And Environment. Brook/Cole Publishing Company. California Ellen, R. P. P. And Bicker, A. 2005. Indigeneous Environmental Knowledge And Its Academic Publishers. Singapore Fajarini,U. 2014. “Peranan Kearifan Lokal Dalam Pendidikan Karakter”. Jurnal Sosio Didaktika. 1 2 123-130 Fokkema, 1998. Teori Sastra Abad Kedua PT Gramedia Pustakan Utama, Government, Tourism Service Of Sumbawa. 1997. The Regional Art Of The Principal Tourism Object Of Sumbawa. Sumbawa. 2173 Kearifan Lokal dalam Lawas Puisi Rakyat Upacara Ponan Masyarakat Sumbawa Nusa Tenggara Barat – Heni Mawarni DOI Edukatif Jurnal Ilmu Pendidikan Vol 4 No 2 Tahun 2022 p-ISSN 2656-8063 e-ISSN 2656-8071 Haryanto, J. T. 2014. Local Wisdom Supporting Religious Harmonyin Tengger Community, Malang, East Java, Analisa. 21 02 201-213 Irfan, M. & Suryani, A. Wisdom Based Tourist Village Organizationin Lombok Tourist Area. International Journal Of English Literature And Social Sciences IJELS, 2 5 73-82. Istiawati, 2016. Pendidikan Karakter Berbasis Nilai-Nilai Kearifan Lokal Adat Ammatoa Dalam Menumbuhkan Karakter 10 1 1-18. Mantja, L, 2011. Sumbawa Pada Masa Dulu; Suatu Tinjauan CV Samratulangi, Marwan & Hamdan. 2019. Jazz Aesthetics Speak Loud In Allen Ginsberg'sHowl A Thematic Cultural Sketch. International Journal Of English Literature And Social Sciences IJELS.Vol 4, Issue 1, Hal 81-88 Masindan, Dkk. 1986. Sastra Lisan Melayu Langkat Jakarta Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Musbiawan, H. 2016. Ragam Alat Musik Tradisional Kantor Arsip Dan Perpustakaan Daerah Sumbawa. Moleong, L. J. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bamdung Remaja Rosda Karya. Nababan, 1988. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta Gramedia. Nasution. H. 1996. Islam Rasional Pemikiran Dan Gagasan. Bandung Mizan. Cet. IV. Okechukwu, N. & Stella, O. 2015. Assessing The Moral Relevance Of Peace Education Contents In Thebasic Education Social Studies Curricula For Effective Citizenshipparticipation In Nigeria. Journal Of Education And Practice, 6, 13 79-87 Pudentia, 2015. Metodologi Kajian Tradisi Lisan Jakarta Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Ratna, I. N. K. 2011. Antropologi Sastra Peranan Unsur-Unsur Kebudayaan Dalam Proses Kreatif. Yogyakarta Pustaka Pelajar Saleh, M. 2007. Sastra Lisan Lawas Etnis Samawa Dan Muatan Nilai Keagamaannya.. Jurnal Penelitian Keislaman, 4 1 109-120. Sukarismanti & Samsudin. 2021. “Integrasi Kearifan Lokal Dalam Bahan Ajar Antropolinguistik Sebagai Upaya Penguatan Pemahaman Dan Karakter Mahasiswa.” Edukatif Jurnal Ilmu Pendidikan 35 3339–49. Sunday & The Importance Of Music In The Cultural Policy Of Nigeria A Focus On Selected Igbo Folk Songs. International Journal Of English Literature And Social Sciences IJELS. 4 1 1-11 Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia.1989. Kamus Besar Bahasa Balai Pustaka. Wahyudi, A. 2014 . Pesona Kearifan Jawa. Yogyakarta Dipta Wibowo, A. 2012. Pendidikan Karakter Strategi Membangun Karakter Bangsa Berperadaban. Yogyakarta Pustaka Pelajar. Zakiyah, Q. Y. & Rusdiana. 2014. Pendidikan Nilai Kajian Teori Dan Praktik Di Sekolah. Bandung CV Pustaka Setia. Zulkarnain, A. 2015. Tradisi Dan Adat Istiadat Ombak ResearchGate has not been able to resolve any citations for this publication. Ulfah FajariniThis article aims to examine on a wealth of local wisdom in Indonesia that plays a role in shaping the character education. Local wisdom will only be lasting if local knowledge implemented in concrete everyday life so that they can respond and answer the current times have changed. Local wisdom should also be implemented in state policy, for example by applying economic policy based on mutual cooperation and kinship as one manifestation of our local wisdom. To achieve that, state ideology Pancasila should be implemented in a variety of state policy. Thus, local knowledge will effectively function as a weapon-not just heritage-that equip people to respond and answer the current era. Preserving various elements of local wisdom, traditions and local institutions, including the norms and customs that are beneficial, can function effectively in character education, while doing study and enrichment with new IrfanAny SuryaniThe development of tourist villages has created tourism-based economic activities, reducing the number of people who intend to move from the rural area to the urban area urbanization’. The local potentials which a village has can grow and develop if the sources it has are effectively used to support the economic and socio-cultural growth and development. If the villagers feel that the tourist attractions they have in their village can improve their prosperity, they will be indirectly made to love their culture; as a result, attempts will be made to conserve and empower the uniqueness and local values they have. Therefore, they should be involved. In this present study, the Tourist Villages used as the object of the study is Sade Traditional Village, Pujut District, and Segenter Traditional Village, Bayan District, North Lombok Regency. Based on the empirical methodology and the qualitative approach used, several conclusions could be drawn. They are the traditional village should be involved in the management of the tourist assets, meaning that the local villagers, for example, should be actively involved in the parking management; the tourists’ interests should be synergized with the local people’s; proactive actions should be taken by all the stakeholders. The traditional law awig-awigadat’ should be improved to support tourism; a good atmosphere of traditional tourism should be created; accesses should be made for the local entrepreneurs to developing whatever is needed by the traditional Kearifan Lokal Dalam Pembentukan Jadi Diri Dan Karakter BangsaM AlfianAlfian, M. 2013. Potensi Kearifan Lokal Dalam Pembentukan Jadi Diri Dan Karakter Bangsa. Prosiding The 5 th International Conference On Indonesia Studies Ethnicity And Globalization. JakartaIndigeneous Environmental Knowledge And Its TransformationsChemers Altman DanAltman Dan Chemers. 1984. Culture And Environment. Brook/Cole Publishing Company. California Ellen, R. P. P. And Bicker, A. 2005. Indigeneous Environmental Knowledge And Its Academic Publishers. SingaporeTeori Sastra Abad Kedua PT Gramedia Pustakan Utama, Government, Tourism Service Of Sumbawa. 1997. The Regional Art Of The Principal Tourism Object Of SumbawaD W FokkemaFokkema, 1998. Teori Sastra Abad Kedua PT Gramedia Pustakan Utama, Government, Tourism Service Of Sumbawa. 1997. The Regional Art Of The Principal Tourism Object Of Sumbawa. Wisdom Supporting Religious Harmonyin Tengger CommunityJ T HaryantoHaryanto, J. T. 2014. Local Wisdom Supporting Religious Harmonyin Tengger Community, Malang, East Java, Analisa. 21 02 201-213Ragam Alat Musik Tradisional Kantor Arsip Dan Perpustakaan Daerah SumbawaH MusbiawanMusbiawan, H. 2016. Ragam Alat Musik Tradisional Kantor Arsip Dan Perpustakaan Daerah Penelitian Kualitatif. Bamdung Remaja Rosda KaryaL J MoleongMoleong, L. J. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bamdung Remaja Rosda W J NababanNababan, 1988. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta Rasional Pemikiran Dan GagasanNasution. H. 1996. Islam Rasional Pemikiran Dan Gagasan. Bandung Mizan. Cet. IV.
Sumbawabiasa dikenal karena lawas atau juga peribahasanya. Ada banyak sekali peribahasa Sumbawa yang memiliki makna beragam. Ungkapan-ungkapan tersebut menjadi nasihat atau petuah orang-orang Sumbawa. Peribahasa ini bermakna tentang seseorang yang pandai berargumen, mengkritik atau membicarakan sesuatu yang ia lihat, namun tak mampu
============ By..Vivin Aura Chantika Belo masa tu badengan Laba telas dalam ipi Nonda nyata the tu arap Ku tulang gambar sia Pameang sia sanak e Jadi medo we panotang Me tana tokal mu sanak Sopo masa tu batemung Siyer lawas saling pendi Terjemahan =========== LawasSahabat Dumay Sepanjang waktu kita brsahabat Lebih dari hidup dalam mimpi Tak ada kepastian yg diharapkn Masih kulihat fotretmu Pemberianmu saudaraku Buat obat hati merindu Dimana pun tempatmu Adakah suatu saat qt berjumpa Melantunkan lawas saling mengiba LawasTau Loka, lawas yang isinya tentang nasehat atau pesan bersifat dedaktis yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya atau kepada yang lebih muda. Lawas ini biasanya berisikan ajaran moral, agama dan lawas ini sering dipakai untuk menasehati pasangan pengantin. Pati pelajar we ate Patuhi ajaran wahai sukma
Jumat, 17 Agustus 2012 Lawas Sambut Tamu ByAndra Shate TaubatBelo ola sia turetjango sanak bawa rungansia datang ba-tamueTamu datang bawa runganketok lawang ucap salamku alu, waalaikum salamalu sia dadi tamusles kawa tepung pangansila sanak na kangilaLAWAS LUCUNYA===========Sila sanak na kangilabale kaku bale siana sia jual baemowkwkwkwkwkwksles kawa tepung pangansia pamit lalo moleku pakeke eneng bayarwkwkwkwkwkwkSia datang bawa sopanku terima kewa senangkurang sopan ku salasikwkwkwkwkwkwkwk
Lawassebagai salah satu bentuk sastra lisan dalam masyarakat Sumbawa (Samawa) merupakan fenomena kebudayaan yang akan tetap hadir di tengah-tengah masyarakatnya. Cerminan nilai budaya daerah telah digunakan dalam mengembangkan budaya nasional, sehingga menempatkan sastra lisan sebagai bagian dari kebudayaan nasional yang
Karya Andra Shate Taubat lamen tama ucap salamna tama mara malingnyoro nyangko nonda ila'qnongka balong pang agamanan si luk leng dunialamen nonda rasa ila'qsai rajin sholat petangbalong caya idung matamengas mara caya bulansaling tulung dalam susahALLAH beang tu balasanbalong palangan katelastotang dosa leng duniajangka nitik ai matatangis bawa bahagiaTERJEMAHAN KE BAHASA INDONESIA=========================kalau datang ucap salamjangan masuk seperti malingmencuri merampas tanpa malutak baik dalam agamabegitu pula di duniakalau tak punya rasa malusiapa rajin sholat malambagus bercahayalah wajahnyaterang bagai cahaya bulansaling tolong dalam susahALLAH memberi kita balasanindah perjalanan kehidupaningat dosa di duniahingga menetes air matatangis membawa bahagia Lawasialah ungkapan ekspresi sejenis puisi atau pantun yang berisi tiga baris biasanya dihadirkan pada momen upacara adat, penikahan, dan peristiwa-peristiwa lainnya. Syair bakelong biasanya memiliki pesan moral tentang cinta, nasehat, dan motivasi dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

LAWAS DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT SUMBAWA Fathi Al-Qadri LAWAS Seni sastra yang sangat menonjol di Sumbawa adalah seni sastra “Lawas.” Lawas bagi masyarakat Sumbawa bukan sekadar seni sastra, namun Lawas juga sebagai media hiburan yang dapat dipertunjukkan dan atau dipertontonkan. Lawas menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Sumbawa. Lawas diwariskan dan diturunkan dalam bentuk lisan. Lawas bagi masyarakat Sumbawa menjadi sumber dari segala sumber seni. Lawas akan dilantunkan kedalam berbagai bentuk seni, meliputi Seni Balawas, Rabalas Lawas, Malangko, Badede, Badiya, Bagandang, Bagesong, Sakeco, bahkan tutur atau cerita pun disampaikan dalam bentuk Lawas. Dalam Kamus Bahasa Sumbawa-Indonesia dikatakan bahwa Lawas adalah sejenis puisi tradisi khas Sumbawa, umumnya terdiri atas tiga baris, biasa dilisankan pada upacara-upacara tertentu. Pengertian Lawas pada Kamus Bahasa Sumbawa-Indonesia belum dapat dikatakan lengkap, karena Lawas juga ada yang terdiri atas empat baris, enam baris, dan ada juga yang delapan baris dalam tiap bait. Lawas sebagai puisi lisan tradisional masyarakat etnis Sumbawa dapat kita nikmati dalam berbagai bentuk pertunjukkan. Lawas dipertunjukkan dalam dua bentuk, meliputi 1 dipanggung dan 2 pada saat orang bekerja di sawah, di ladang, saat gotong royong membangun rumah, mengasuh anak, saat upacara adat, saat Karapan Kerbau, Barampok sebagai sebuah tradisi. Lawas yang dilantunkan pada saat beraktivitas biasanya untuk mengurangi rasa sepi, sebagai hiburan, mengalihkan perhatian dari pekerjaan yang dilakukan, dan sebagainya. Kehadiran Lawas di Sumbawa tidak diketahui secara pasti. Kehadiran Lawas bagi masyarakat Sumbawa pada awalnya berperan sebagai media ekspresi batin manusia dan sebagai perekam peristiwa yang terjadi di seputarnya. Apa yang tampak atau yang dipikirkan oleh masyarakat Sumbawa tempo dulu biasanya akan disampaikan melalui Lawas. LAWAS ULAN Lawas Ulan adalah Lawas yang disampaikan berdasarkan konsep kewaktuan. Lawas Ulan tidak boleh diucapkan sembarangan, sebab untuk memulai Lawas Ulan menggunakan penanda waktu. Penanda waktu dapat diperhatikan pada saat Lawas mulai tembangkan. Penanda waktu itu bukan berdasarkan jam, sebab jam pada saat itu di Sumbawa. Penanda waktu yang digunakan adalah berupa keadaan, waktu pagi hari, siang, sore, dan malam hari. Penanda waktu yang dimaksud adalah sebagai berikut Ta Pola Adal Nenrang Jong. Kata yang bergaris bawah di samping adalah penanda waktu. Adal dalam bahasa Indonesia adalah embun atau kabut. Lawas Ulan ano Siup dan ano rawi memiliki perbedaan. Perbedaan antara Lawas ulan ano Siup dan ano rawi terletak pada irama dan tempo lagunya. Lawas ulan di ano Siup iramanya agak mengalun dengan tempo yang lambat, sedangkan Lawas ulan di ano rawi irama alunannya tinggi dengan tempo yang dinamis. LAWAS ULAN SIUP Lawas ulan Siup adalah Lawas yang disampaikan pada pagi hari dengan menggunakan irama dan tempo lagu yang lembut. Lawas ini biasanya disampaikan saat para petani akan berangkat ke sawah/lading atau saat orang-orang sedang menanam padi atau menuai padi secara beramai-ramai di pagi hari sekitar pukul Wita. Berikut ini Lawas ulan Siup. Permulaan Lawas Ulan Siup selalu menggunakan Lawas berikut dan Lawas berikut selalu dimulai oleh laki-laki, contoh Yamubuya Ijo Godong Puin Palemar Parai Ta Pola Adal Nenrang Jong Kau cari si hijau daun. Pohon yang penuh dengan air. Ini karena embun yang menetes Akusi Datang Nenrang Jong Lamin Tenrang Baeng Desa Pitu Ten Nosi Kumole Aku yang datang menetes. Bila ramah seisi kampung. Tujuh tahun tak kupulang. Setelah dua bait Lawas di atas, maka Lawas selanjutnya bisa apa saja tergantung situasi dan kondisi emosi dan perasaan si pelantun Lawas. Perhatikan sair Lawas ulan berikut Kakendung Ling Kuandi E Kupina Pangasa Kau No Tutu Sai Yabola Terlanjur kuucapkan adinda. Kau yang kuharapkan. Tak tahu siapa yang berdusta. LAWAS ULAN PANAS ANO Lawas Ulan Panas Ano adalah Lawas yang disampaikan pada saat siang hari, saat matahari sedang terik/ panas-panasnya. Lawas Ulan Panas Ano berirama dan bertempo tinggi sebagai gambaran semangat. Lawas Ulan Panas Ano disampaikan pada siang hari sekitar pukul Wita. Berikut adalah Lawas Ulan Panas Ano. Kakendung Ling Kuandi E Kupina Pangasa Kau Sipak Lalo Gandeng Jangi Terlanjur ucapku wahai adinda. Menaruh harapan kepadamu. Tak tahunya kamu setengah hati. Kasijangi Ku Ke Kau Mikir Ate Totang Rara Leng To Diri Melasakan Kuberharap berjodoh denganmu. Hatiku mikir aku miskin. Tahu diri tak punya apa-apa Melasakan Nanta Rara Ngining Buya Tuyapendi Kamina Tingi Konang Mal Merana karena miskin. Mencari orang yang mengasihan. Pamanda mulia tapi malu. LAWAS ULAN RAWI ANO Lawas Ulan Rawi Ano adalah Lawas yang disampaikan sore hari, selepas shalat Asar. Lawas Ulan Rawi Ano berirama sendu dan tempo mulai turun dibandingkan dengan Lawas Ulan Panas Ano. Lawas Ulan Rawi Ano biasanya menggambarkan sebuah kesedihan atau pun kebahagiaan. Kondisi sedih dan bahagia bisa terjadi, jika sipelantun Lawas laki-laki diterima oleh pelantun Lawas wanita. Lawas Ulan Rawi Ano adalah Lawas penutup untuk pekerjaan Mataq Rame panen raya pada hari itu. Berikut adalah petikan Lawas Ulan Rawi Ano. Pina ne Anak tungining Tili ano gama mega Lema rep sakiki rara Melangkahlah si Anak merana. Tutuplah mentari wahai awan. Agar teduh si miskin bernaung. Rara inaqku sapuan Nosoda dengan kamikir Pang aku dua ke leno Miskin ibuku dahulu. Tiada teman berpikir. Padaku hanya bersama bayangan. Muto beling gama leno Lema tulung aku mikir Kau baesi kuasa Bicaralah wahai bayangan. Tolonglah aku berpikir. Hanya engkau yang kuharapkan. GANDANG Gandang adalah Lawas yang dilantunkan oleh sekelompok orang dengan diiringi Serunai seruling atau pukulan alu pada lesung Nunya Rame. Gandang dilantunkan oleh sekelompok perjaka dan gadis, apabila sekelompok perjaka dan gadis melantunkan Gandang dengan iringan serunai maka disebut Gandang Suling, jika diiringi dengan pukulan alu pada lesung disebut Gandang nunya/nunya rame. Gandang suling biasanya dilantunkan dalam suasana gembira karena hasil panen berlimpah, karena itu, Lawas-Lawas yang dilantunkan biasanya merupakan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Mahaesa. Gandang suling juga dilantunkan pada malam hari oleh dua orang pemuda yang salah satunya sedang jatuh cinta dan biasanya dilantunkan di tengah sawah saat menjelang padi menguning atau di tempat yang dekat dengan rumah si gadis yang diincar oleh pemuda itu. Lawas yang diungkapkan merupakan ungkapan kasih sayang, cinta, dan janji-janji sang pemuda kepada sang gadis. Gandang selain diiringi oleh Serunai juga ada yang diiringi oleh pukulan alu pada lesung, ini yang disebut dengan Gandang nuja/Nunya Rame. Gandang nuja biasanya dilakukan oleh sekelompok pemudi yang sedang menumbuk padi. Gandang Nuja/Nunya Rame hanya dilakukan pada saat para wanita sedang bergotong royong menumbuk padi di halaman rumah kala bulan terang benderang. Pekerjaan ini dilakukan oleh para wanita untuk membantu tetangga menyiapkan beras ketan yang akan digunakan untuk hajatan. Pada saat seperti ini, biasanya para jejaka datang menyaksikan sambil memperhatikan siapa yang bakal dijadikan pasangan hidupnya mencari jodoh. Lawas-Lawas yang dilantunkan biasanya Lawas muda-mudi yang berisi sindiran, ejekan, dan ungkapan-ungkapan rasa cinta. Berikut petikan Lawas Gandang. Ajan sampama kulalo Kutarepa bale andi Beling ke rua e nanta Seandainya aku bertandang. Mampir di rumah adinda. Adakah gerangan belas kasihan. Dijawab oleh si gadis Lamin tetapmo pang sia Bose sangangkang let rea Naq beang bilu lako len Kalau tetap pendirian. Kayuhlah dayung ke samudra. Jangan berpaling pada yang lain. SAKETA Saketa adalah Lawas yang dikumandangkan oleh sekelompok orang sebagai pernyataan kegirangan atau pembangkit semangat saat mengadakan permainan rakyat atau bergotong-royong membangun rumah, mengangkut kayu besar. Di tengah-tengah orang yang baSaketa, biasanya muncul salah seorang yang mengumandngkan Lawas Saketa yang kemudian disambut serempak oleh anggota kelompok/rombongan dengan suara “ho… bam… baho… bam….” dan seterusnya. Suara-suara pemberi semangat ini disebut dengan Gero/Bagero. Lawas Saketa yang di rangkaikan dengan Gero dilakukan untuk menyelesaikan pekerjaan berat, Barapan Kebo karapan Kerbau, permainan rakyat Barampok/Barempuk tinju ala Sumbawa. Saketa dan Bagero digunakan juga untuk upacara mengiring pengantin Iring Pangantan dari rumah pihak laki-laki ke rumah calon pengantin wanita. Adapun Lawas yang disampaikan saat itu adalah Pangantan ntek Rawi Ano Iring leng mayung satupang Lamin no buta batempang Tuk tak ne mayung Jontal satetak jadi payung Suara rombongan “ho… bam… baho… bam….” Pengantin berangkat sore hari—diiringi serombongan kijang—kalau tidak buta ya pincang—tuk tak wahai kijang—lontar sepotong jadi payung Tradisi Saketa di Sumbawa saat ini sulit ditemukan lagi. Ini disebabkan oleh karena pembangunan rumah di Sumbawa sudah tidak bergotong-royong lagi dan kalaupun ada sudah tidak lagi diadakan BaSaketa. Lawas-Lawas yang disampaikan pun biasanya adalah Lawas yang bersifat menggalang persatuan dan kebersamaan dengan penuh semangat. Ngumang Seorang pria yang menembangkan Lawas dengan lantang sambil mengacungkan dan atau merentangkan kedua tangannya, di salah satu tangannya memegang Mangkar cambuk khas Sumbawa yang khusus digunakan untuk menghalau kerbau pada saat “Barapan Kebo” karapan kerbau sambil menari mengelilingi arena. Ngumang hanya dilakukan pada saat Barapan Kebo, Maen Jaran dan Barampok. Ngumang dilakukan dengan tujuan untuk mengungkapkan kegembiraan karena telah menang, baik pada saat Barapan Kebo maupun pada saat Barampok. Ngumang juga bertujuan untuk memberikan semangat kepada peserta Barapan Kebo dan Barampok sekaligus juga berfungsi untuk memperkenalkan diri kepada penonton. Peserta yang menang biasanya akan Ngumang dan menyampaikan Lawas. Lawas Ngumang bisa seperti petikan Lawas berikut. Ala e sai nongka tan Makatoan lako aku Sa nya baing Gila Roda Siapakah yang belum mengenal—tanyalah padaku—inilah pemilik Gila Roda nama kerbau’ BADEDE Badede adalah menembangkan Lawas yang ditujukan untuk Anak menjelang tidur atau saat pangantin sedang Barodak luluran’. Lawas yang biasa dinyanyikan oleh seorang ibu atau kakak yang sedang menina-bobokan atau mengasuh bayi disebut Badede Anak. Lawas yang dilantunkan pada saat Badede Anak bertemakan permohonan kepada Tuhan Yang Mahaesa agar Anak yang diasuh dapat panjang umur, berguna bagi orang tua, masyarakat, nusa dan bangsa serta agama. Badede Anak disebut juga Lawas Kembang-Kembong. Lawas yang digunakan pada saat Badede Anak tidak sama, tergantung pada umur dan pada tempat dimana Anak ditidurkan. Perbedaan itu terlihat pada irama dan kata-kata dari Lawas yang digunakan. Berikut ini contoh Lawas yang biasa digunakan pada kegiatan Badede Anak. Matunung adi matunung Meleng tunung kubeang me Jangan jadi kembo kopang mari tidur adik mari tidur—bangun tidur kuberi nasi—ikan susu kerbau sehat Adi ode dalam bilik Nyentik ima poyong mama Sadua kita gamandi Adik Mungil dalam kamar—lentik indah jemarimu—kita ini hanya berdua wahai adinda Badede Adat hanya berkembang di kalangan bangsawan Samawa Sumbawa. Badede Adat dilaksAnakan pada saat upacara perkawinan dan Sunat Rasul khitanan. Badede Adat ditembangkan oleh beberapa wanita sambil membunyikan Kosok Kancing sejenis marakas. Badede Adat dilantunkan dalam suasana yang relegius dan dihajatkan agar mereka yang menerima acara ini dalam keadaan selamat serta tidak mudah diganggu makhluk halus. Salah satu upacara yang diiringi Badede Adat adalah pada saat kegiatan Barodak luluran pengantin, baik pria maupun wanita keluarga bangsawan. Pengantin pada saat mau di-Odak dilulur, maka sekelompok wanita melantunkan Lawas Badede Adat. Lawas yang dilantunkan pada saat Barodak adalah sebagai berikut. Dede Intan Mua Dewa Mua Bulaeng Do Nanta Penangmo Intan Manmo Nanges Duhai sayang duhai para Dewa—wahai permata duhai sayang—tenanglah sayang jangan menangis Lamin Leq Tawar Ate Dome No Mane Parana Siong Untung Sama Rela Untung Tusaling Sasakit Bila lama kau menangis—andaikan tidak merusak tubuh—bukanlah jodoh sama rela—jadinya jodoh pangkal sengsara Penangmo Intan Manmo Nangis Beang Boe Ling Tutingi Kita Tupasodo Rara Pasodo Apa Pasodo Tenanglah sayang jangan menangis—biarkan habis oleh yang mulia—kita hanya mendekap dalam kemiskinan—milikilah apa yang kau miliki BASUAL Kata basual berasal dari kata sual yang mendapat awalan ba-, sual berarti soal, sedangkan ba- berarti menjadi. Jadi, basual artinya menyampaikan soal. Seseorang yang mengajukan soal yakni dengan menyampaikan sampiran dari sebuah Lawas. Bagi yang hadir dalam kesempatan tersebut dan mengetahui jawabannya, maka akan segera menjawabnya. Jawaban yang disampaikan adalah isi dari sampiran yang dikemukakan. Kegiatan Basual dapat dijumpai pada saat orang sedang membuat atap rumah Nyantek, panen Mataq Rame, di rumah orang yang mau kawin Montok Basai, dan lain-lain. Contoh petikan Lawas Sual. Ayam Buri Desa Utan Parak Ke Desa Samamung Ana Badi Kuring Rate Meporiri Ku Ta Intan Jarang Kubau Batemung Rosa Dadi Rusak Ate Ayam burik desa Utan—dekat dengan desa Samamung—ada badikku di rate. Betapalah caraku duhai kekasih—sangat jarang kita bertemu—hancul luluh hatiku Lalo Mancing Ko Pamulung Entek Lako Desa Pungka Kupandang Desa Malili Lalo Kau Manjeng Urung Kukelek No Balik Bungkak Mumandang Adasi Lili pergi memancing ke Pamulung—naik ke desa pungka—kupandang desa Malili. Pergilah engkau kekasih urung—kupanggil menoleh pun tidak—kau kawin ada juga penggantimu LANGKO Langko merupakan penyampaian Lawas yang dilakukan oleh sekelompok pemuda dan kelompok pemudi yang saling beradu Lawas cinta. Lawas-Lawas yang disampaikan dalam Langko berbeda dengan Lawas Sual. pada saat Malangko, Lawas yang disampaikan harus dijawab dengan Lawas, yang perlu diperhatikan dalam Malangko adalah langgam lagu Lawas yang dibawakan. Langgam lagu Langko ini yang sangat diperhatikan oleh si pelantun, selain juga Lawasnya. Jika tidak mampu mengikuti langgam lagu Langko, maka dianggap kalah, ditertawakan, dan juga malu. Mereka yang akan ikut Malangko harus orang-orang yang pandai baLawas dan juga pandai menembangkan langgam Langko. Kegiatan Malangko biasanya dimanfaatkan oleh para muda-mudi untuk mencari jodoh, oleh karena itu muda-mudi di Sumbawa pada waktu itu berusaha semaksimal mungkin untuk bisa BaLawas. Mereka yang bisa BaLawas di Sumbawa akan mempunyai pergaulan yang luas. Di Sumbawa ada dikenal tiga jenis orang, yakni Nyir Tamat Telu bisa membaca Al-Quran; bisa Ratob; dan bisa BaLawas. Lawas Langko. Putra Kusamula Ke Bismillah Kusasuda Ke Wassalam Nan Ke Salamat Parana kumulai dengan bismillah-kuakhiri dengan wassalam-agar diri jadi selamat Putri Rungan Rame Boat Sia Bagentar Tana Samawa Batomo Nyata Kugita kabarnya meriah pesta Tuan—bergetar tanah Sumbawa—kini nyatalah sudah Putra Tugitaq Nyata Ke Mata Riam Mara Den Baringin No Bola Ne Bawa Rungan nyata terlihat mata—lebat bagai daun beringin—tidak bohong pembawa berita Putri Rungan Balongmu Andi E Kaleng Empang Ko Sakongkang Nomonda Dengan Kubaning tersiar kecantikanmu duhai dinda—dari empang ke Sekongkang—tiada tanding tiada banding SAKECO Sakeco merupakan salah satu bentuk seni yang bersumber dari Lawas. Sakeco banyak digemari oleh masyarakat Tau Samawa Sumbawa. Sakeco dimainkan oleh dua orang pria yang merupakan pasangannya dan masing-masing memegang satu rabana rebana. Rebana yang digunakan adalah bisa Rabana Ode atau Rabana Rango/Rabana Kebo Rebana Besar. Penggunaan dua jenis rebana ini didasarkan pada temung yang akan digunakan. Hanya saja, pada saat Sakeco, rabana yang digunakan harus sejenis. Perbedaan penggunaan dua jenis rabana ini karena perbedaan Temung nada lagu, dan isi Sakeco. Rabana Ode lebih lincah, agresif, lebih variatif, dan jika ditabuh maka akan lebih cepat. Rabana Ode biasa dipakai untuk memainkan temung Sakeco Ano Rawi, sedangkan Rabana Kebo selain mengeluarkan suara lebih besar, temponya lambat, dan juga lebih monoton dari segi nada. Rabana Kebo biasanya digunakan oleh sebagian besar orang Sumbawa Ano Siup. Sakeco merupakan seni yang sangat luwes dan dinamis dibandingkan dengan yang lain. Sakeco dapat dimuati oleh Lawas Nasihat pamuji; Lawas Tau Loka, Lawas Muda-mudi, Lawas tode yang dibuat dalam bentuk tutur cerita naratif.

ly5K.
  • ztq843f6hn.pages.dev/213
  • ztq843f6hn.pages.dev/205
  • ztq843f6hn.pages.dev/143
  • ztq843f6hn.pages.dev/208
  • ztq843f6hn.pages.dev/375
  • ztq843f6hn.pages.dev/294
  • ztq843f6hn.pages.dev/217
  • ztq843f6hn.pages.dev/282
  • ztq843f6hn.pages.dev/47
  • lawas sumbawa tentang nasehat